Aceh Institute Bahas Sengketa Pilkada, Perselisihan Hasil Dan Inklusifitas Pemilih

0
131

Banda Aceh, 5 April 2017 – Sepekan berlalu, The Aceh Institute kembali menggelar Multi-Stakeholders Meeting yang ketiga paska Pilkada 2017. Tujuannya adalah mengevaluasi Pilkada 2017 dan memetakan isu-isu strategis yang memberikan pengaruh kepada pelaksanaan pesta demokrasi ini ke depannya. Dengan bertempat di Hermes Hotel, kegiatan ini mengangkat tema “Sengketa Hasil dan Inklusifitas Pemilih.” Pertemuan ini menghadirkan Sudirman (Forum LSM) dan Dr. M. Jafar (Akademisi FH Unsyiah) selaku narasumber serta difasilitasi oleh Dr. Saiful Akmal (Aceh Institute). Kegiatan yang dibuka oleh M. Syuib (Aceh Institute) ini menghadirkan berbagai pakar lintas disiplin yang concern terhadap Pilkada.

Dalam pemaparan pertama, Sudirman menegaskan bahwa memang sepatutnya Negara harus menempatkan prinsip inklusifitas dalam pelaksanaan Pilkada. Namun terdapat kerancuan terkait data partisipasi pemilih difabel. Setidaknya terdapat 27.516 penyandang disabilitas yang menggunakan hak pilihnya, padahal jumlah penyandang disabilitas yang layak berpartisipasi dalam Pilkada 2017 hanya 7.138 orang. Persisnya hal ini terjadi di wilayah Aceh Utara dan Aceh Tenggara. Kerancuan tersebut berdasarkan data yang dirilis oleh KIP Aceh seminggu menjelang pencoblosan dibandingkan dengan data yang diterima oleh KPU Pusat. Kecurigaan adanya ‘pemilih hantu’ semakin kuat, apalagi KPU Pusat juga mempertanyakan hal ini. Di lain hal, M. Jafar menjelaskan bahwa MK menolak gugatan para pemohon sengketa hasil Pilkada Aceh 2017 karena semua gugatan tidak memenuhi syarat formal, yaitu kedudukan hukum (legal standing), kecuali gugaatan sengketa hasil Pikada Gayo Lues yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan pasal 158. Hal ini dikarenakan dalam UUPA tidak diatur batas selisih suara sebagai syarat untuk mengajukan gugatan ke MK, dan MA juga sudah mempertegas juka penyelesaian sengketa Pilkada Aceh menggunakan UU Pilkada.

Diskusi kemudian berlangsung dengan berbagai pernyataan dan pertanyaan dari para partisipan. Ifwan Sahara yang mewakili kelompok difabel melihat bahwa terdapat permainan angka yang menggunakan penyandang disabilitas objek untuk meningkatkan perolehan suara. Selain itu, penambahan anggaran Rp. 1.000.000,- per TPS juga tidak dirasa cukup ramah bagi para penyandang disabilitas. Yang pada akhirnya, banyak dari mereka yang semakin apatis terhadap pelaksanaan Pilkada itu sendiri. Di lain hal, Saiful Mahdi mengusulkan untuk mendorong fungsi pengawasan yang dilakukan oleh warga dan pihak asing agar lebih di depan dibandingkan panwaslih. Hal ini merujuk kepada lemahnya fungsi pengawasan dalam setiap pelaksanaan pemilu dan pilkada di Indonesia, terutama di Aceh. Demikian pula terkait penggelembungan suara yang kerap terjadi, e-voting bisa jad solusi murah dibandingkan pemilu yang sudah-sudah. Hal berbeda disampaikan oleh Raihal Fajri dari Katahati Institute, ia menganggap bahwa tidak semua pemilih hantu dikonotasikan kepada hal-hal yang negative. Ada pula mereka yang sebenarnya bekerja atau kuliah diluar Aceh kemudian kembali pada masa pilkada. Mereka masih bisa memilih, namun belum ada survey terkait hal ini.

Di akhir diskusi, Mawardi Ismail selaku pakar Hukum menyampaikan kesimpulan diskusi bahwa ditolaknya gugatan oleh para pemohon sengketa Pilkada Aceh 2017 disebabkan alasan procedural. Kemudian Negara perlu hadir untuk memastikan berjalannya Pilkada yang aman serta nyaman. Menurutnya, intimidasi menjadi variable yang kurang berpengaruh dalam menentukan pilihan masyarakat Aceh dalam Pilkada. Hal tersebut dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan pada 2010 yang lalu. Selain itu, keefektifan penyelenggara Pilkada bisa jadi dipengaruhi oleh keadaan terkawal, hal ini dapat dilihat apabila membandingkan antara KIP dan Panwaslih. Oleh karena itu, partisipasi seluruh komponen masyarakat menjadis penting dalam mengawal berjalannya Pilkada Aceh nantinya

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.