Cambuk dalam Perspektif Psikologi

0
393

Senja menjemput malam, kabut menyapa petang, dan rintik-rintik hujan pun turun membasahi bumi ini. Ada goresan senyum bahagia memiliki kampung yang bernuansa Islami, kota Madani berserambi Mekah, penduduknya berakhlak mulia dan kental ilmu agamanya. Walau tidak seperti Arab Saudi, Aceh telah memberlakukan hukum Islam semampunya, hingga ia dijuluki Serambi Mekkah.

Kesan ini menguat dengan hadirnya Mesjid Raya Baiturrahman yang megah dengan payung-payung raksasa menyerupai Masjid Nabawi. Di Indonesia, hanya Aceh yang menjalankan hukuman cambuk kepada perbuatan asusila oleh non-muhrim. Mengikut pada amaran Allah dalam An-Nur ayat 2 yang artinya “Pezina perempuan dan laki-laki hendaklah dicambuk seratus kali dan janganlah merasa kasihan kepada pelakunya sehingga mencegah kamu dalam  menjalankan hukum Allah ini. Dan hendaklah penghukuman ini disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Berdasarkan dalil di atas jelaslah bahwa hukuman cambuk tidak melanggar aturan. Hanya saja, jauh sebelum mereka berdua dihukum cambuk, pelakunya sudah dihukum sepihak oleh warga dengan berendam di comberan lumpur atau diarak keliling kampung dengan menggunakan pakaian yang minim dengan niatan menimbulkan efek jera.  Hukuman seperti ini lebih merupakan praktik kriminal yang seringkali disertai dengan aksi mempertontonkan aurat mereka kepada publik, dan hal ini tidak patut kita apresiasi. Karena Islam pun tidak membenarkan aksi-aksi mempermalukan atau mempertontonkan aib di depan publik.

Dalam beberapa kasus, prosesi cambuk juga tidak terjadi secara langsung, tetapi dimulai dengan aksi mempermalukan terlebih dahulu. Menurut Skinner (behaviorist) hukuman publik tidaklah boleh bersifat menunda, karena hal ini selain pada satu sisi memiliki dampak malu, juga akan menimbulkan dendam yang berpotensi menjerumuskan orang lain agar bernasip sama. Pelaku berfantasi dan memproyeksikan perasaan mereka pada orang lain, merasionalisasi perilaku agresif, atau melakukan displacement terhadap orang lain.

Prosesi cambuk boleh disaksikan publik seperti muatan Firman Allah diatas, namun publisitas ini juga berpotensi menyebarluaskan aib karena penonton merekamnya dan menyebarluaskan foto atau video tersebut ke banyak media sosial. Jadi menurut saya hukuman cambuk harus langsung diberikan tanpa menundanya, serta tanpa mempermalukan pelaku, karena semangat ayat diatas pun tidak untuk mempermalukan pelaku. Karena Aceh telah menjalankan hukuman cambuk maka laksanakanlah seperti yang telah dianjurkan syariat tanpa menambah hukuman lain karena mungkin saja dapat menggangu kondisi psikis dari pelaku.

Bahan bacaan

Feist, J., Feist, G. J. (2016). Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.

Elda Oviyani [Mahasiswa Jurusan Psikologi, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh)

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.