Mewaspadai Benalu Politik

0
146

Keputusan dismissal Mahkamah Konstisusi (MK) terhadap usulan pilkada ulang oleh kubu Muzakkir Manaf menandakan Irwandi Yusuf – Nova Iriansyah telah resmi memenangkan kontestasi Pilkada Aceh. Tiga hari setelah itu, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh pun, dalam Rapat Pleno di Hermes Hotel Banda Aceh, telah menetapkan Irwandi Yusuf – Nova Iriansyah sebagai gubernur/wakil gubernur terpilih dengan dengan jumlah suara tertinggi yaitu sebesar 898.710.

Terkait hal ini penulis terlebih dahulu mengucapkan selamat kepada pasangan Gubernur Aceh terpilih tersebut. Irwandi adalah salah satu tokoh Aceh yang sudah pernah menjabat menjadi Gubernur aceh pada satu periode silam atau periode sebelum kepemimpinan Zaini- Muzakkir.

Kemenangan ini tentu tidak lantas disambut positif oleh semua masyarakat Aceh. Namun dalam sebuah kompetisi hal ini dianggap wajar. Hanya saja perlu diantisipasi agar kekecewaan ini tidak berketerusan. Karena seperti kita ketahui dalam sebagian masyarakat kita terdapat satu kualitas negatif yaitu tidak mau dianggap atau mengaku kalah, walaupun sudah ada penetapan, masih saja timbul ketidakpuasan. Dalam istilah Aceh, “Bek keu ‘an taloe, seeri pih han lon tem, jangankan kalah, seri pun tidak mau.” Pemimpin baru harus bisa mengantisipasi fenomena ini, agar dalam era kepemimpinannya tidak terdapat kendala-kendala sosial atau politis yang saya istilahkan dengan benalu politik.

Terkait dengan itu, berhembus juga sinyal bahwa Partai Aceh (PA) akan berada bersama pemerintahan terpilih. Walau hanya sebatas pernyataan Ketua Fraksi PA di parlemen propinsi, tak ayal, statemen ini sempat membuat kegaduhan dalam peta poliitk Aceh terkini. Maka pertanyaannya akankankah dengan mencairnya hubungan PA dengan pemerintah terpilih bisa membawa Aceh ke arah yang lebih baik? Atau hal ini hanya manuver politik yang sifatnya membenalu pada kekuasaan?

Seperti yang kita tahu, dimana ada kekuasaan yang tumbuh maka disitu juga politik akan lahir. Di Aceh pola hubungan inilah yang sedang terjadi, karena ada unsur kekecewaan yang berlebihan usai pilkada maka kekhawatiran terbesar adalah lahirnya politik yang kurang etis semisal Politik Benalu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), benalu adalah tumbuhan yang menumpang pada tanaman lain dan menghisap makanan dari tanaman yang di tumpanginya. Dari defenisi itu, hemat penulis, politik benalu adalah kegiatan mempengaruhi dengan menumpang atau memanfaatkan kekuatan kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan politik tertentu yang kemudian menimbulkan permasalahan baru bahkan bisa berdampak negatif pada kekuasaan.

Benalu politik ini sepertinya sedang tumbuh di Aceh. Jika dibiarkan maka akan semakin mewabah. Politik benalu ini adalah penyakit karena ia menghisap kepentingan sehingga sewaktu-waktu bisa menggoyangkan bahkan menumbangkan kekuasaan yang ditumpanginya. Pemegang kekuasaan harus bersifat kritis dan tegas akan suatu pilihan, supaya pengoperasian kebijakan politik, dan dalam hal menanggapi permitaan kerja sama dari PA tersebut tidak menjadi bumerang yang berdampak pada kekuasaannya tersendiri.

Politik tidak mengenal kawan dan lawan yang abadi, melainkan kepentingan. Pengambilan keputusan politik ini juga harus menjadi fokus utama dari semua elemen masyarakat di Aceh sebagai pengontrol kebijakan. Jika isu sinkronnya PA dengan Gubernur terpilih bisa menciptakan kerja berkualitas tinggi, maka silahkan menjalin. Namun bila sebaliknya, maka tidak menutup kemungkinan politik benalu ini akan berpotensi memicu konflik kepentingan dalam internal pemerintahan nantinya, misalnya soal distribusi jabatan publik.

Irwandi pernah menjadi Gubernur Aceh pada periode silam dengan rekam jejak yang sangat positif. Banyak sekali pengalaman politik yang sudah dijalaninya. Namun jika beliau masih terjebak pada politik benalu yang hanya menumpang pada kekuasaan untuk memperoleh posisi tertentu di Aceh, maka sungguh pengalaman masa lalu beliau hanya sia-sia saja dan kesejahteraan pembangunan sulit tercapai. Maka pemimpin terpilih perlu  menyusun langkah-langkah antisipasi terhadap hal ini, karena kekuasaan yang kokoh merupakan landasan yang mempengaruhi perwujudan implementasi kebijakan berkualitas tinggi.

Aceh saat ini sedang sekarat dengan rendahnya mutu pendidikan dan rakyat apatis terhadap perkembangan sosial-politik di masyarakat sekitar tempat ia tinggal sehingga mudah dimanipulasi oleh politisi yang berkepentingan dengan menjelmakan dirinya seperti benalu. Kita berharap masyarakat senantiasa mendukung pemerintahan yang baru terpilih dan mampu melepaskan semua ego kontestasi paska penetapan hasil oleh KIP Propinsi, agar terwujud persaingan politik yang sehat untuk mensejahterakan rakyat. Semoga.

Amar Fuadi [Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry, Banda Aceh]

 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.