Membangun Paradigma Akhlak Ditengah Ikhtilaf Fiqh

0
326

Di samping pengertian di atas, beberapa pakar mengungkapkan berkenaan dengan pengertian akhlak antara lain: Imam Al-Ghazali mengatakan: Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam di dalam jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Sementara Ahmad Amin mengungkapkan bahwa: akhlak adalah kehendak yang dibiasakan artinya kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak.

Akhlak menjadi kunci keberhasilan beliau membangun bangsa dari kenistaan kearah keniscayaan. Nabi Muhammad SAW menjanjikan bahwa akhlaq yang luhurlah yang menandakan kebaikan seseorang seperti sabdanya:sesungguhnya orang yang terbaik diantara kalian adalah orang yang paling baik akhlaqnya diantara kalian (HR. Bukhari-Muslem).

Membangun Paradigma Akhlak

Secara keseluruhan ajaran agama Islam bermuara pada satu tujuan yaitu melahirkan akhlak yang mulia pada diri para pelakunya. Nabi Saw. sendiri menyimpulkan keseluruhan risalah yang dibawanya dalam sebuah term: makrim al-akhlq, akhlak yang mulia. Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Yang menjadi ukuran keberagamaan dan kesalehan seseorang sesungguhnya adalah akhlak. Kesalehan, dengan demikian, dinilai dengan sejauh mana keberagamaan seseorang melahirkan tindak, ucap, sikap serta perilaku mulia. Dalam al-Qur`an dan Sunnah akan ditemukan pernyataan bahwa keimanan ditunjukkan dengan akhlak yang baik. Di bagian awal surat al-Mu`minn terlihat bahwa kekafiran ditandai dengan akhlak yang buruk. Kata kafir sering didampingakn dengan kata-kata sifat berikut: tidak setia (QS.31: 32), pengkhianat (QS.22: 38), pendusta (QS.39: 3), kepala batu (QS.50: 24), dan bermaksiat (QS.71: 27).

Dalam beberapa Hadits Nabi Saw. menggunakan kata l yu`minu untuk menunjukkan ketidak sempurnaan iman. Orang yang l yu`minu adalah orang yang berakhlak buruk: suka mengganggu tetangganya, tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya, tidak memegang amanah dan sebagainya. Hadis-Hadis yang menunjukkan keimanan selalu dengan ciri-ciri akhlak: Hendaknya memuliakan tamu, menghormati tetangganya, berbicara yang benar atau diam dan sebaginya. Seperti dalam Hadits Nabi:Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, maka hendaklah ia memuliakan tetangga, dan hendaklah ia memuliakan tamunya.(HR. Bukhari- Muslem)

Pengamalan Fiqh Untuk Menuju Kemuliaan Akhlak

Yang paling menarik kita perhatikan adalah kenyataan bahwa ayat-ayat tentang fikih (ibadah ritual-formal) selalu dihubungkan dengan akhlak. Shalat dalam definisi al-Qur`an adalah sesuatu yang dapat mencegah kekejian dan kemungkaran (QS.29: 45). Puasa diwajibkan untuk melatih orang agar menjadi orang yang takwa (QS.2: 183), dan orang-orang yang takwa adalah: orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang (QS. 3: 134). Haji harus dilakukan dengan memelihara akhlak: Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji (QS. 2: 197).

Disampaikan kepada Rasulullah Saw. bahwa seorang perempuan berpuasa pada siang hari dan salat malam di malam hari tetapi ia berakhlak buruk. Ia menyakiti tetangganya dengan lidahnya. Rasulullah Saw. bersabda: Tidak ada kebaikan padanya. Ia termasuk penghuni neraka.(HR.Bukhari) Dalam pandangan Rasulullah Saw. orang yang kurang beribadat tetapi berakhlak baik adalah lebih baik daripada orang yang taat beribadat tetapi berakhlak buruk.

Karakteristik Paradigma Akhlak

Ada beberapa pendapat para imam mazhab dan fuqaha sepanjang sejarah yang mendukung paradigma akhlak. Diantaranya adalah ungkapan imam Ahmad ketika beliau berbeda dengan Ishaq bin Rahuyat. Imam Ahmad berkata: tidak pernah ada orang yang melewati jembatan Khurasan lebih utama dari pada Ishaq, walaupun ia banyak berbeda dengan kita. Bukankah orang biasa berbeda satu dengan lainnya. Imam Abu Hanifah juga mengungkapkan kalimat yang sama yaitu: Ucapan kami ini hanya pendapat. Inilah yang terbaik yang dapat kami capai. Jika ada orang yang datang dengan pendapat yang lebih baik dari pada kami, ia akan lebih dekat dengan kebenaran dari pada kami.

Ada beberapa ciri dari orang yang menganut paradigma akhlak. Antara lain adalah: kebenaran jama (beragam), ikhtilaf sebagai peluang untuk kemudahan, dan kesalehan diukur dari akhlaknya.

1. Kebenaran Beragam

Kadang kala Rasul menjawab sebuah pertanyaan yang sama dari para sahabat dengan jawaban yang berbeda. Karena memang ada variasi dalam pengamalan ibadah. Ini dapat kita lihat ketika Rasulullah sampai di Mina dan memasuki hari penyembelihan. Para sahabat menemui beliau dengan mengajukan beberapa pertanyaan tentang tata cara haji.

Pada kesempatan yang lain juga ketika Nabi menyuruh para shahabat ke kampung Bani Quraidhah dan beliau berpesan Janganlah salah seorang melakukan shalat Ashar kecuali dikampung bani Quraidhah(Ilam al-muwaqiin 1:244). Sebagian dari para shahabat berijtihad dan melakukan shalatnya diperjalanan dan berkata: Nabi menyuruh kita agar mempercepat shalat dan tidak mentakhirkan shalat kita. Shahabat yang lain berijtihad dan mengakhirkan shalatnya sampai ke kampung Bani Quraidhah. Mereka melakukan shalatnya malam hari. Kemudian mereka pulang dan bertanya kepada Rasul, dan beliau membenarkan kedua-duanya.

Demikianlah bahwa perbedaan telah terjadi dimasa para shahabat Nabi walaupun Nabi Muhammad SAW. Masih berada ditengah-tengah mereka tetapi Rasul selalu membenarkan keduanya karena kebenaran itu jamak.

2. Tinggalkan Perbedaan Fiqh Demi Persaudaraan

Karena berbagai mazhab dalam fiqh banyak perbedaan-perbedaan yang terjadi dan itu kita pandang benar. Kita tidak akan sulit untuk meninggalkan fiqh demi untuk menjaga persaudaraan sesama muslim. Sebagaiman dicontohkan oleh shahabat Nabi yang mulia ketika mereka berbeda pendapat dan fatwa mereka mampu untuk menjaga persaudaraan.

Pada zaman pemerintahannya, Utsman berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan haji. Ketika sampai di Mekah ia menikahi seorang perempuan di sana. Selama tinggal di Mina untuk melempar jumrah, ia mengimami shalat dhuhur dan Ashar dengan empat rekat, tidak di-qashar. Ia berijtihad bahwa pernikahannya di Mekkah memberinya status sebagai muqim (orang tempatan). Berita ini langsung menyebar dan menjadi obrolan, ketika sampai kepada Abdullah bin Masud ra., beliau segera berucap, Inn lillhi wa inna ilaihi rjin. Kemudian Abdullah bin Masud berkata, Aku shalat bersama Rasulullah Saw di Mina dua Rekaat (di-qashar). Aku shalat bersama Abu Bakar, begitu juga bersama Umar dua rekaat di Mina pada shalat Zhuhur dan Ashar. Bagi Abdullah bin Masud yang dilakukan Utsman adalah musibah yang menyalahi sunah Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar. Dengan demikian Utsman telah berbuat bidah. Sedangkan bagi Utsman perbutannya sudah benar karena ia berstatus muqim, sedangkan Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar berstatus safar (sedang dalam perjalanan). Menurut Al-Amasy, Abdullah bin Masud ternyata shalat di Mina empat rekaat juga (tidak di-qashar) mengikuti Utsman bin Affan. Menyaksikan hal tersebut orang bertanya kepada Abdullah bin Masud. Katanya engkau menolak shalatnya Utsman tetapi mengapa engkau bermakmum mengikuti Utsman. Abdullah bin Masud manjawab, memang benar, berdasarkan hadisnya aku tidak setuju dengan Utsman, tetapi beliau saat ini adalah khalifah (pemimpin umat) dan imam. Jadi aku tidak akan menentangnya. Karena, Wal khilfu syarr (semua pertentangan atau perselisihan itu buruk).

Peristiwa ini menunjukkan perbedaan fikih diantara dua sahabat besar. Mereka mempunyai alasan dan dalil masing-masing. Utsman berpendapat statusnya adalah muqim. Setiap muqim shalatnya tidak di-qashar. Sebagaimana disepakati oleh seluruh ulama, bahwa seorang musafir apabila menjadi makmum seorang muqim, maka musafir harus melengkapkan rekaatnya mengikuti imam.

Yang menarik untuk kita Perhatikan adalah sikap Abdullah bin Ma`sud. Ia memang berpendapat salat dhuhur dan Ashar harus di-qashar saat di Mina; tetapi ia tidak mempratekkan pendapatnya itu karena menghormati Utsman sebagai imam dan karena ia ingin menghindari pertengkaran. Inilah contoh ketika sahabat yang mulia mendahulukan ukhuwah di atas khilafiyah. Secara sederhana, prinsip mendahulukan ukhuwah ini ditegaskan dengan kalimat perintah: Tinggalkan khilafiyah, jika khilafiyah itu bisa merusak ukhuwah. Ibnu Mas`ud meninggalkan pendapat fikih-nya demi memilihara akhlak yang mulia. Fikih ditinggalkan demi menghindari pertengkaran.

3. Ikhtilaf Sebagai peluang untuk Kemudahan

Jika paradigm fiqh memandang ikhtilaf sebagai pertentangan antara kebatilan dan kebenaran. Maka paradigm akhlak melihat perbedaan sebahgai peluang untuk memberikan kemudahan dalam beragama. Seperti sebuah ungkapan dari khalifah Umar bin abdul Azis: Aku tidak suka kalau shahabat Rasul itu tidak berikhtilaf. Sekiranya mereka hanya membawa satu pendapat saja, manusia pasti berada dalam kesulitan. Karena mereka adalah para imam yang harus diikuti. Terbuka kemudahan bagi setiap orang untuk memilih salah satu diantara pendapat mereka.

4. Keshalehan Diukur Dengan Akhlak

Jika perbedaan dalam fiqh dimaksudkan untuk memberikan kemudahan, maka keshalehan merupakan perwujudan dari akhlak yang mulia. Nabi mengukur keshalehan itu bukan dengan banyaknya amalan fiqh. Akan tetapi ukuran keshalehan itu dengan akhlak yang mulia sebagai mana sabdanya:Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kamu sekalian adalah yang paling budi pekertinya.(HR. Bukhari dan Muslim).

Dilain kesempatan juga beliau bersabda:Orang mukmin yang paling sempurna imannya yaitu orang yang paling baik budi pekertinya di antara mereka. Dan orang yang paling baik di antara kamu sekalian yaitu orang yang paling baik terhadap istrinya. (HR. Turmudzi). Di Hadits yang lain juga beliau bersabda:Sesungguhnya orang mukmin itu dengan budi pekertinya yang baik dapat mengungguli derajat orang yang selalu berpuasa dan shalat malam. (HR. Abu Daud).

Ternyata keshalehan itu dapat digapai dengan kebaikan akhlak dan keluhuran pekerti. Rasul mengkhususkan kemulian dan keagungan hanya dalam kemulian akhlak bukan dalam kebanyakan mengamalkan fiqh. Inilah yang menjadi misi agung Rasulullah diutus kedunia ini yang hakekatnya adalah untuk memperbaiki pekerti manusia.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.