Pentingnya ‘Blue Print’ Syariat Islam

0
208

Mereka bertanya, kenapa syariat Islam di Aceh itu heboh, dan dihebohkan. Mereka juga bertanya, bukankah syariat Islam itu melanggar HAM, mereka juga bertanya, kenapa jalannya seperti “terseok-seok”. Bukankah sudah ada dinas Syariat Islam? apa yang mereka kerjakan? kenapa pula syariat Islam berganti nama menjadi dinul Islam? kenapa mereka takut menggunakan istilah syariat Islam?

PENERAPAN syariat Islam di Aceh dalam konteks hukum negara telah diberlakukan sejak 1999, ketika pemerintah Republik Indonesia mengesahkan UU No.44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. UU ini direvisi lagi pasca MoU Helsinki menjadi UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Satu kewenangan yang diberikan Pemerintah Pusat dalam UUPA yaitu penerapan syariat Islam secara kaffah, meliputi; akidah, ibadah, muamalah, syariah, pembelaan Islam dan syiar Islam. Pertanyaannya, bagaimana regulasi itu dapat dilaksanakan secara totalitas dalam segala aspek kehidupan negara dan masyarakat di Aceh?

Merespons hal tersebut, pemerintah daerah telah membentuk satu perangkat pemerintah, yaitu Dinas Syariat Islam (DSI). Peran DSI ini bertujuan untuk menjadi lembaga resmi negara secara teknis yang mempunyai tanggung jawab dalam implementasi syariat Islam di Aceh. Namun, realitas 15 tahun penerapan syariat Islam masih menimbulkan berbagai dilema, diskursus, pro-kontra dan tidak jarang juga mendapat penentangan dalam sebagian kelompok. Bahkan, dunia internasional seperti lembaga HAM menyatakan penerapan syariat Islam di Aceh melanggar HAM, terutama dalam penerapan hukuman cambuk pada pelaku pelanggar syariat Islam.

Sementara dalam konteks internal juga muncul persepsi yang salah tentang realisasi syariat Islam, di mana tanggung jawab syariat Islam hanya dianggap sebagai tanggung jawab DSI, Sebaliknya, dinas/badan teknis pemerintahan Aceh lainnya seperti Bappeda, Dinas Kelautan, Pertambangan, Pariwisata, PU, dan lain-lain menganggap tidak berkewajiban untuk menerapkan syariat Islam dalam merealisasi berbagai agenda, program dan penyusunan anggarannya.

Artinya, pembangunan di Aceh pascadamai dan tsunami belum memunculkan konsep sensitif syariat, seperti halnya sensitif gender. Merespons hal demikian, DSI merangcang sebuah grand design atau blue print arah dan ruang lingkup realisasi syariat Islam secara totalitas yang melihatkan semua pihak dan lintas sektoral untuk memahami dan merealisasikan prinsip-prinsip syariat Islam ke depan menjadi lebih baik.

Melahirkan GBHN Aceh

Syarizal Abbas (2014) menyatakan bahwa pentingnya ada blue print atau grand design syariat Islam di Aceh ini untuk melahirkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Provinsi Aceh dalam penerapan syariat Islam secara totalitas dan berkelanjutan. Grand design ini akan menyokong/urut nadi/referensi dan nilai-nilai dalam pelaksanaan RPJM dan RPJP pemerintahan Aceh, sehingga setiap perencanaan dan program pembangunan di Aceh, baik pembangunan fisik, sosial-agama dan budaya harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

Untuk mewujudkan blue print ini diperlukan kajian mendalam terhadap empat dimensi, yaitu: dimensi normatif yang bersumber dari Alquran-hadis dan ijtihad para ulama; dimensi sejarah; dimensi relasi syariat Islam dengan bangsa dan negara republik; serta dimensi pertumbuhan sosio-kultural masyarakat Aceh hari ini, dan masa lalu.

Dasar kajian terhadap normatif untuk memastikan bahwa penerapan SI mempunyai landasan hukum yang jelas, akademis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, yaitu bersumber kepada Alquran, hadis, dan pendapat para ulama. Begitupun dalam konteks sejarah, perlu ada satu dokumen yang sistematis menjelaskan tentang risalah syariat Islam sejak masa kerasulan, masa sahabat, masa dinasti keislaman sampai abad pertengahan tentang penerapan syariat Islam dalam khilafah Islamiah, kekhalifahan Usmaniyah (Ottoman empire), serta Islam di Aceh pada masa Kerajaan Aceh.

Sedangkan kajian tentang penerapan syariat Islam dalam konteks bangsa negara (nation-state), untuk memberikan gambaran tentang dinamika syariat Islam di Indonesia, termasuk lahirnya Piagam Jakarta yang pernah menjadi dasar negara republik. Hal yang lebih penting juga yang dibutuhkan adanya kajian kontemporer tentang dinamika Islam di Aceh dalam konteks sosio-kultural. Konteks sosio-kultural terkait dengan pertumbungan adat dan kebiasaan masyarakat Aceh, sehingga dapat melahirkan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang lebih menginternalisasi nilai-nilai Islam, khususnya dalam menumbuhkan modal-modal sosial (social capital), seperti sikap tolong-menolong dalam masyarakat yang sudah mulai luntur.

Abbas lebih lanjut menyatakan bahwa pentingnya melahirkan GBHN syariat Islam di Aceh ini untuk melaksanakan kewajiban negara yang diamanatkan oleh konstitusi negara yaitu UUPA, agar prinsip-prinsip Alquran dan hadis dapat ditransformasikan dalam sistem hukum sipil (civil law), yaitu Qanun atau Peraturan Gubernur. DSI sebagai lembaga teknis yang berkewajiban melahirkan berbagai rancangan regulasi ini menyadari pentingnya membentuk berbagai regulasi yang dapat mengikat semua dinas/badan dan instansi serta rakyat agar melahirkan realisasi prinsip-prinsip syariat Islam yang didasarkan pada taat hukum.

Kewajiban bersama

Dengan adanya regulasi, seperti Qanun Pokok-pokok Syariat Islam, maka semua pihak tidak hanya menyalahkan DSI sebagai pihak yang berkewajiban melaksanakan syariat Islam, melainkan menjadi kewajiban bersama. Sehingga syariat Islam ke depan tidak hanya bicara tentang jinayah, melainkan juga masalah ekonomi (muamalah), perdata (akhwal al-syaksiyah), politik (siyasah), pendidikan (tarbiyah), komunikasi (syiar), dan juga pembangunan fisik (inmak). Cita-cita inilah yang kemudian akan melahirkan sistem penerapan syariat Islam yang totalitas, di mana Aceh ke depan akan mewujudkan wajah aslinya, sebagai wajah Serambi Mekkah.

Misalnya, pembangunan jalan yang mempunyai sensitif syariat, yaitu jalan yang dibangun dengan tidak memboroskan anggaran, karena kualitas rendah, merusak lingkungan dan dibangun setiap tahun. Di sisi lain, terdapat daerah tidak pernah mendapatkan akses pembangunan jalan yang nyaman dan aman. Maka pembangunan yang berprinsip syari yaitu pembangunan yang berkualitas, merata dan membuat pengguna nyaman dan aman. Maka dalam hal ini dibutuhkan sebuah regulasi dan perangkat untuk mewujudkan pembangunan jalan yang berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam.

Begitupun dalam konteks hukum keluarga dan waris. Pemerintah perlu merancang untuk melahirkan keluarga yang berbahagia dan berkualitas. Hal ini perlu didukung oleh kemapanan hubungan batin juga kemapanan dalam konteks lahir, termasuk kemapanan ekonomi. Sehingga badan dan instansi yang terkait dalam pengembangan ekonomi masyarakat, termasuk Dinas Tenaga Kerja perlu menumbuhkan program-program yang melahirkan kemapanan bagi manusia Islam di Aceh agar lebih mapan secara ekonomis, khususnya bagi keluarga yang relatif masih muda.

Hal ini sangat penting mengingat indeks kebagian rakyat Aceh masih rendah dibandingkan rata-rata kebagian rakyat di Skandinavia yang bukan merupakan negara Islam. Artinya kampanye keluaga samara (sakinah, mawaddah dan rahmah) yang selalu dikembangkan di Indonesia, tidak akan terwujud jika kemapanan di sisi lain, seperti ekonomi tidak ditopang.

Terakhir, upaya untuk melahirkan blue print atau grand design syariat Islam ini diharapkan akan melahirkan regulasi yang dapat memaksa instansi terkait untuk melahirkan konsep secara menyuluruh, sehingga cita-cita Islam yaitu terbentuknya Islam rahmatan lil alamin akan terwujud dalam segala dimensi kehidupan di Aceh pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Wallahualam

Source : serambinews.com

Opini ini telah dimuat di Harian Serambi Indonesia Jumat, 10 Oktober 2014

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.