Perspektif Qanun Jinayat Dan Qanun Acara Jinayat Dalam Menciptakan Kelestarian Syariat Islam

0
230

Pro dan kontra terhadap kedua qanun tersebut, khususnya menyangkut jenis hukuman bagi pelaku zina dimana terdapat salah satu pasal yang diperdebatkan dan dipertentangkan yaitu masalah hukuman rajam (uqubat). Uqubat yaitu hukuman mati bagi pelanggar syariat islam (dalam hal ini, zina) dengan lemparan batu. Bagi pelaku yang belum menikah maka dihukum dengan hukuman cambuk sebanyak 100 kali cambuk.

Menurut Ifdal Kasim bahwa pemberlakuan hukuman rajam melanggar konvensi internasional tentang anti penyiksaan yang telah diratifikasi dengan UU No. 5 Tahun 1998, juga melanggar hukum positif lainnya yang berlaku di Indonesia.

Sementara bagi yang pro terhadap pemberlakuan kedua qanun ini menyatakan hukuman rajam ini tidak bertentangan dengan hukum positif dengan pertimbangan yaitu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal tersebut menyebutkan bahwa Aceh diberikan wewenang untuk memberlakukan hukum pidana islam dimana pengaturan lebih lanjut ditetapkan melalui qanun.

Permasalahan yang dapat dipahami dalam pengesahan sepihak kedua qanun tersebut adalah kurangnya partisipasi masyarakat di dalam suatu proses perancangan peraturan perundang-undangan sehingga qanun tersebut bersifat kurang atau bahkan dapat dikatakan tidak responsif.

Membangun Qanun Syariat Yang Responsif

Aceh merupakan salah satu daerah dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mendapatan status istimewa dengan pelaksanaan otonomi yang bersifat khusus dan seluas-luasnya. Keistimewaan Aceh salah satunya adalah terkait dengan pelaksanaan syariat islam yang dikukuhkan dengan berlakunya aturan hukum positif yaitu UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua undang-undang ini mengamanatkan pelaksanaan syariat islam di bumi Aceh secara kaffah. Oleh karena itu keberadaan kedua undang-undang ini juga merupakan momen penting dalam rangka menjadikan hukum islam sebagai hukum positif yang hidup dalam masyarakat Aceh secara menyeluruh.

Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa pembentukan Peraturan Perundang undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Selanjutnya dalam angka 10 menyebutkan bahwa program Legislasi Daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.

Secara yuridis formal dapat diketahui bahwa dari ketentuan diatas merupakan langkah atau proses pembentukan suatu aturan hukum yang berlaku yang dirancang secara sistematis. kata sistematis bermakna bahwa dalam membuat suatu aturan telah ada mekanisme dan langkah yang diatur dengan jelas.

Syahrizal Abbas mengungkapkan dalam membuat sebuah qanun syariat islam yang bersifat respnsif maka dibutuhkan beberapa langkah nyata yaitu sebagai berikut: (a) Materi qanun yang dirumuskan bukan hanya memiliki akses terhadap teks eksplisit alquran dan assunnah, namun perlu diselami secara lebih mendalam hakikat keberadaan teks tersebut bagi manusia. Pemahaman terhadap hakikat keberadaan teks akan menemukan ruh syariah (nilai filosofis); (b) Penemuan ruh syariah bukan hanya membutuhkan kajian filsafat hukum islam, tetapi juga membutuhkan kajian sosiologis dimana pemahaman pemahaman terhadap kondisi masyarakat ketika teks lahir akan sangat berarti; (c) Pendekatan tematis bukan hanya bertumpu pada ayat atau hadis yang berbicara tentang tema yang sama, tetapi perlu juga dilihat pemahaman tema tersebut; (d) Semangat sosiologis yang dibangun alquran dalam hukumnya perlu mendapat perenungan. Karena banyak praktek dan tradisi telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan dapat memberikan keadilan bagi masyarakat; (e) kerangka diatas akan bekerja bila tingkat pendidikan masyarakat dan sosialisasi qanun dapat ditingkatkan kearah yang lebih baik sehingga keberadaan qanun syariat islam benar-benar dirasakan oleh semua kalangan masyarakat.

Peran Political Will Pemerintah Aceh Dalam Membangun Syariat Islam Yang Responsif

Political will (keinginan politik) dari pemerintah Aceh sangat menentukan dalam menegakkan syariat islam. Dalam hukum, dikenal dengan jalur struktural-politik yang terdiri dari 2 (dua) macam yaitu jalur top down (dari atas ke bawah) dan jalur bottom up (dari bawah ke atas). Jalur top down cenderung memaksa suatu ketentuan dari aturan hukum sendiri dan jalur bottom up yang biasanya disebut jalur budaya/ kultural yang muncul dari kesadaran masyarakat itu sendiri.

Pasal 238 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 menyebutkan yaitu Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun dan ayat (2) yaitu Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat dilihat bahwa bentuk political will dapat terjadi melalui jalur bottom up, dimana partisipasi masyarakat juga dapat menentukan baik-buruknya sebuah kebijakan pemerintah.

Masyarakat juga dapat menilai sebuah aturan hukum yang sesuai maupun yang bertentangan dengan nilai budaya yang telah hidup dalam masyarakat. Demikian halnya dengan pengesahan sepihak dari legislatif Aceh terhadap qanun jinayah tersebut, dimana masyarakat dapat memberikan masukan sebelum sebuah aturan hukum disahkan, tetapi hal ini kurang ditanggapi oleh legislatif.

Partisipasi masyarakat menjadi tema dalam penyelenggaraan pemerintahan pada saat ini. ketiadaan partisipasi masyarakat akan membuat aparatur negara tidak mampu menghasilkan kebijakan yang tepat dalam program-program pembangunan. Ketidaksiapan aparatur negara dalam mengantisipasi proses demokratisasi ini perlu dicermati agar mampu menghasilkan kebijakan dan pelayanan yang dapat mememenuhi aspek-aspek transparansi, akuntabilitas dan kualitas yang prima dari kinerja kelembagaan-kelembagaan perangkat otonomi Daerah.

Dampak Negatif Pemberlakuan Qanun yang Tidak Responsif

Menarik untuk menyimak kata yang diucapkan oleh Habermas terkait ruang publik bagi masyarakat demokratis yaitu Keputusan politik yang otentik tidak mencerminkan kehendak dari semua, melainkan hasil dari pertimbangan semua pihak. Ini adalah proses dimana kehendak semua orang dibentuk dan dirundingkan untuk menjamin legitimitas dari hasilnya, daripada kumpulan semua kehendak yang sudah ada sebelumnya.

Bila dikaitkan dengan kasus yang terjadi dewasa ini yaitu pengesahan sepihak atas kedua qanun jinayah merupakan sebuah keputusan politik yang tidak mencerminkan nilai-nilai demkokrasi. Tiadanya ruang publik dalam pembahasan rancangan qanun tersebut menyebabkan aturan hukum tersebut seperti mencacati nilai demokratis yang hidup di Indonesia. Tidak adanya partisipasi masyarakat juga membuat political will yang ditentukan oleh pemerintah cenderung memaksa.

Dampak yang dapat dideskripsikan pemberlakuan aturan hukum yang tidak responsif adalah terjadinya perpecahan dalam masyarakat serta pertentangan terhadap pemerintah. Kekacauan dapat terjadi dimana yang mengakibatkan rusaknya tatanan sosiologis masyarakat yang terjaga seperti adat dan budaya. Walaupun aturan yang diberlakukan terkait pelaksanaan syariat islam, akan tetapi dikarenakan kekurangan dalam proses pengesahannya dalam aturan hukum itu sendiri mengakibatkan daya kekuatan hukum lemah.

Menarik juga dilihat pendapat dari Donald Black dalam teori stratifikasi hukum yaitu hukum bagaikan air, yang selalu mencari dan menumpuk pada strata yang paling rendah. Sehingga semakin rendah strata seseorang maka semakin banyak beban hukuman menumpuk padanya. Termasuk juga pada pelanggar syariat islam yang rata-rata berasal dari kalangan strata rendah yang dikenai hukuman cambuk dan mungkin hukuman rajam dengan adanya qanun jinayah tersebut.

Atas dasar inilah maka hendaknya, qanun jinayah dan qanun acara jinayah tersebut dikaji kembali hingga qanun tersebut aspiratif, responsif dan bersifat demokratis. Agar tidak terjadi adanya diskriminasi dalam penerapan hukum sebagaimana teori diatas. Dengan adanya qanun yang aspiratif serta responsif maka pelaksanaan syariah islam secara kaffah-pun dapat dijalankan dengan sendirinya. Tujuan sebenarnya adalah terbukanya ruang yang luas pada masyarakat umumnya, khususnya bagi kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan atau rentan, agar mampu memberikan pengaruh berarti terhadap proses pemerintahan dalam arti mulai proses pengambilan keputusan, pelaksanaan serta evaluasinya

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.