Syariat Itu Damai (Menanggapi Tulisan Teuku Haris Muzani)

0
95

Saya coba kutip sebuah ayat; Al Qur’an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini. (QS.Al-Jaatsiyah:20). Kutipan ayat ini segaja penulis kutip untuk dijadikan sebagai landasan pemikiran khususnya bagi yang menyakini akan kebenaran Al-Quran sebagai sumber syariat, pedoman, petunjuk dan rahmat bagi manusia. Bukan sebuah ketakutan atau sumber kekerasan seperti klaimnya Geert Wilders dan saudara-saudaranya.

Sudan sebagai Negara terbesar di benua Afrika secara kenyakinan terbagi 70 persen Islam, 25 persen animism, dan 5 persen Kristen. Sejak mendeklarasikan kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1956, Negara ini telah melahirkan potensi konflik, terutama bagian utara dengan selatan selama kurun tahun 1956-1972 dan 1983-2005 (ICG, 2003). Pada tahun 1970 pemerintah Sudah menemukan ladang minyak di Sudan Selatan (Darfur) yang mengakibatkan pemberontakan terhadap pemerintah pada tahun 1983, sehingga pemerintah Sudan mengirim tentara dan mesin perangnya ke daerah yang kaya minyak tersebut. Akibatnya, ribuan orang tewas dan kehilangan tempat tinggal. Konflik dan pemberontakan tersebut juga akibat dominasi etnis Arab terhadap etnis Afrika yang menyebabkan eskalasi kekerasan meningkat, akibat dominasi dan ketidakadilan satu etnis terhadap etnis lainnya.

Kondisi seperti itu, mengingat kita pada konflik dan kekerasan yang terjadi di Aceh sejak tahun 1976, ketika pemerintah menemukan ladang gas dan minyak yang akhirnya menimbulkan gerakan perlawanan (pemberontakan) terhadap pemerintah yang dianggap tidak adil terhadap rakyat setempat. Namun perlawanan itu kemudian direspon dengan pengiriman tentara secara besar-besaran yang mengakibatkan kekerasan dan ribuan orang mati, kehilangan rumah dan keluarga.

Jadi kekerasan dan konflik tersebut, tidak terlalu mendasar jika kita menyatakan bahwa hanya diakibatkan oleh syariat. Penulis lebih melihat persoalan kekerasan itu lebih disebabkan oleh persoalan politik, kepentingan ekonomi dan primordialisme suku dan etnik tertentu.

Begitu juga halnya dengan kekerasan dan kematian yang terjadi di Nigeria utara, Negara bagian yang sebelumnya merupakan sebuah kerajaan Islam dibawah kepemimpinan Sultan Sokoto yang mayoritas 95% beragama Islam. Ada 11 negara bagian di utara yang mengesahkan hukum pidana Islam dalam legal system mereka. Gubernur Ahmed Sani dari Negara bagian Zamfara yang pertama memperkenalkan dan menerapkan hukum jinayat di Negara bagiannya, yang didukung secara penuh oleh rakyat dan masyarakat lokal setempat. Upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mendirikan Lembaga Semacam Mahkamah Agung (Supreme Council for Shariah in Nigeria), dan juga mempromosikan sistem dan hukum Shariah di negara bagian lainnya di Nigeria bagi umat Islam. Namun, upaya ini ditentang keras oleh kelompok Kristen, yang menyebabkan terjadinya peperangan dan kekerasan antar agama (Global Security, 2007). Jadi kekerasan dan konflik yang terjadi di Nigeria yang menyebabkan kematian adalah karena adanya pertentangan dari golongan Kristen yang tidak menginginkan hukum Islam diterapkan secara legal-formal bagi umat Islam itu sendiri. Sekali lagi menurut penulis bukanlah karena syariat yang menyebabkan kematian ribuan orang dalam kekerasan di Nigeria seperti yang ditulis oleh THM, tapi lebih kepada ketakutan kelompok Kristen terhadap ajaran Islam yang menyebabkan pertentangan diantara dua kenyakinan yang berbeda itu, sehingga melahirkan kekerasan dan konflik berdarah.

Namun demikian, ada beberapa persepsi yang mengatakan bahwa sering kali syariat melahirkan hukum yang tidak manusiawi atau bertentangan dengan HAM, seperti qishas, potong tangan, dll. Sehingga ia sangat sulit untuk diterapkan dalam kontek Negara demokrasi atau dalam dunia internasional, seperti THM menulis Pengundangan negara atas teori syariat sebagaimana yang dipaparkan diatas, menjadi bukti bahwa syariat hampir mustahil untuk dapat berjalan dengan baik dalam konteks nasional dan internasional saat ini.

Sikap apriori terhadap syariat tersebut, telah menyebabkan hukum syariat sering menjadi terhukum dari persepsi-persepsi seperti ini. Dalam hal ini penulis rasa penting untuk diperjelas antara syariat sebagai sebuah entitas, dengan proses pelaksanaan hukum atau lembaga yang menerapkan hukum tersebut sebagai entitas yang lain. Sehingga jika proses pelaksanaannya tidak mencerminkan terhadap esensi dan tujuan syariat, bukan berarti syariat itu yang menjadi tersalah, sehingga kemudian kita menyimpulkan hukum syariat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian, atau hal-hal lainnya.

Lebih jauh, sebuah hukum baru dapat dilaksanakan secara baik dan berkeadilan, paling tidak dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu; adanya aturan hukum yang baik dan telah diformalkan (legal-formal), lembaga yang melaksanakan hukum dapat berjalan dan menjalankan hukum dengan baik dan berkeadilan (law enforcement), dan terakhir adanya kesadaran masyarakat dalam menjalankan ketentuan hukum tersebut (culture of law).

Jadi betapapun sempurnanya ketentuan hukum (syariat), jika lembaga penegaknya bermental korup maka hukum (syariat) itu juga sangat sulit diterapkan secara baik. begitupun jika kedua elemen itu dapat berjalan dengan baik, tapi jika budaya dan kesadaran masyarakat untuk menjalankan ketentuan hukum tersebut membelakanginya, maka penerapan hukum tersebut juga tidak dapat berjalan dengan sempurna.


Esensi Syariat

Untuk memahami syariat, maka perlu terlebih dahulu memahami arti dari syariat. Secara bahasa syariat diartikan sebagai suatu jalan kesumber (mata) air, atau jalan yang lurus (Muhammad Daud Ali; 1997). Penggunaan kata syariat kemudian dimaknai juga sebagai peraturan, adat kebiasaan, undang-undang dan hukum (Ahmad Warson Munawwir; 1984).

Prof.Dr.Mahmud Salthut mengatakan bahwa Syariah ialah segala peraturan yang telah disyariatkan Allah, agar manusia melaksanakannya, baik untuk dirinya sendiri, dalam hal berkomunikasi dengan Tuhannya, cara berhubungan dengan sesama manusia, alam semesta, dan juga berkomunikasi dengan kehidupan. Jadi syariah Islam secara mutlak diartikan sebagai sebuah ajaran terhadap seluruh persoalan umat manusia, baik yang mengenai aqidah, ibadah, muamalah, maupun yang mengenai akhlak (moral). Sehingga syariat sebuah ajaran yang bersifat universal mencakup segala hal yang sumbernya adalah Al-Quran dan al-Hadis.

Pemahaman mengenai syariat ini penting karena sering kali beberapa pihak terjebak dengan term syariat yang selalu diidentikkan dengan hukum jinayat (pidana). Padahal masalah jinayat adalah hanya salah bagian dari universalitasnya syariat.

Selain itu, kekeliruan lainnya yang sering terjadi adalah pemahaman mengenai syariat dengan fikih. Syariat sebagaimana diuraikan di atas adalah segala hukum yang telah disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya, baik yang berdasarkan Al-Quran maupun As-Sunnah. Sementara fikih adalah pemahaman para fuqaha terhadap hukum syariat. Istilah fikihpun baru dikenal setelah generasai Islam yang pertama berlalu (Muhammdiyah Jafar, 1992). Sehingga pemahaman itu sering kali berbeda antara satu golongan (mazhab) dengan mazhab lainnya, atara satu waktu dengan waktu lainnya, bahkan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.

Beberapa hal yang membedakan antara syariat dengan fikih, yaitu antara lain; (1) Syariat bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari fikih. Sementara fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada apa yang biasanya disebut perbuatan hukum, (2) Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi. Sedangkan fikih adalah pemahaman manusia terhadap ajaran tersebut yang dapat berubah atau diubah dari masa ke masa, dan (3) Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sementara fikih menunjukkan keragamnnya dalam menetapkan suatu ketentuan hukum (H.M.Rasjidi &Muhammad Daud Ali, 1997).

Jika syariat itu dipahami dalam konteks fikih yang sempit dan kaku, maka akan lahirlah pemahaman terhadap sebuah hukum yang juga kaku. Hal ini seperti di tulis oleh THM Keislaman yang semestinya dapat dipahami kepasrahan diri, pembebasan dari penindasan, pemihakan pada kaum lemah, kemudian direduksi dalam syariat rigid dan kaku. Namun penulis lebih melihat bukan direduksi dalam syariat yang rigid dan kaku tapi pemahaman terhadap syariatlah yang rigid dan kaku. Sehingga lahirlah ketentuan hukum yang tidak kontemporer dan mengikuti perkembangan zaman.

Syariat Islam & Keadilan

Penerapan syariat juga sering dikaitkan dengan ketidakadilan, terutama terhadap perempuan. Padahal syariat itu bertujuan untuk mewujudkan keadilan bagi umat manusia. Seperti dalam al-Quran Allah berfirman: Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, sungguh, Allah maha teliti apa yang kamu kerjakan (QS.Al-Maidah:8).

Islam adalah agama demokrasi, agama untuk keadilan dan persamaan. Agama Islam tidak akan memberikan ada perbedaan dalam hukum, terutama Hukum Pidana (jinayat) antara satu Qabilah dengan Qabilah yang lain, antara orang kaya dan miskin, antara bangsawan dan rakyat jelata, antata laki-laki dan perempuan. Semuanya sama kedudukannya dihadapan Allah. Prof.Dr.Ahmad Salabi (1961) menyatakan bahwa Hukum dapat dianggap bersifat demokrasi dan istimewa, apabila memenuhi segala sifat keumuman, baik mengenai isi sebenarnya maupun pelaksanaanya.

Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa ada seorang sahabat berkata; Ketika aku bermohon kepada Nabi agar sudi kiranya mengampuni dosa fitnah Al-Machzumiyah. Kemudian Nabi merespon permintaan tersebut dengan berkata: Inilah yang membinasakan orang-orang dulu, dimana kalau seorang bangsawan yang mencuri dibiarkan tanpa di hukum, sementara kalau orang miskin mencuri dikenakan hukuman.

Begitu juga ketika Umar Ibnu Khattab menyamakan kedudukan antara Djabalah Ibnu Aitham, seorang raja dari suku Ghassan, dengan seorang rakyat biasa dari kaum muslimin serta memerintahkan dikenakan hukuman pembalasan yang sama (qawad) kepada keduanya. Radja itu kemudian berkata: Apakah Tuhan mau menyamakan antara saya, sebagai seorang raja, dengan seorang dari kayat jelata?. Umar menjawab: Islam telah menyamakan kamu berdua.

Inilah keindahan dan kedamaian dalam Islam dan syariatnya, yang selalu mengajarkan keadilan dan persamaan di depan hukum, baik terhadap seorang raja maupun terhadap rakyat jelata. Namun seringkali, keindahan dan kedamaian syariat itu dirusak oleh penguasa dan pelaksana syariat yang tidak adil dan bermental korup serta dhalim. Wallahualam

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.