0
91

Semua perintah dalam Islam adalah kebutuhan fitrah manusia. Sementara, semua larangan dalam Islam adalah berbahaya bagi manusia. Hal ini sesuai dengan qaidah ushul fikih, yaitu Dar u al-Mafasid wa jalbu al-Masalih (menghindari kerusakan dan mencari kemaslahatan). Qaidah ini didasari dari hadits Nabi saw yang berbunyi: tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan tidak boleh memudharatkan orang lain.

Kalau demikian, maka tidak mungkin ada manusia yang menolak syariat Islam, apalagi oleh masyarakat muslim sendiri. Tapi nyatanya syariat Islam kelihatan begitu menakutkan bagi sebagian umat. Bahkan di Aceh sendiri yang masyarakatnya seratus persen beragama Islam, syariat itu bak kebun tak bertuan. Penolakan ini, menurut penulis karena disebabkan oleh bentuk syariat yang lebih mengedepankan sanksi-sanksi, sehingga Islam menjadi beban, bukan penawar.

Pada masa Rasulullah, Islam menjadi rahmat. Hal ini seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah. Saw ketika mengutus Musab bin Umair ke Madinah untuk menyampaikan Islam, penduduk Yasrib berbondong-bondong masuk Islam.

Islam adalah solusi bagi masalah yang mereka hadapi. Sebelum Islam datang, penduduk Yasrib dilanda permusuhan antara dua qabilah Aus dan Khazraj. Aus dan khazraj Adalah dua qabilah Arab yang hidup di Yasrib. Pada awalnya mereka bersatu memerangi orang-orang Yahudi yang lebih dahulu menjadi tuan di Yasrib. Setelah orang-orang Yahudi dikalahkan mereka berkuasa di Yasrib. Orang-orang Yahudi menyimpan demdam kepada qabilah Aus dan Khazraj. Menyadari bahwa mereka tak mampu mengalahkan orang Aus dan Khazraj dengan pertempuran, orang Yahudi menggunakan politik pecah belah. Usaha orang-orang Yahudi ini berhasil, sehingga di antara qabilah Aus dan Khazraj terjadi permusuhan yang hebat. Sangat banyak korban sia-sia tanpa dosa bergelimpangan di antara mereka. Sudah banyak cara yang mereka tempuh untuk meredam permusuhan ini, tapi selalu gagal di tengah jalan, sehingga datanglah Islam mengajarkan Islam bagaikan tubuh yang satu (Hadits).

Penduduk Yasrib menerima Islam dengan suka rela karena Islam merupakan solusi untuk masalah yang mereka hadapi. Hal yang sama ketika Islam masuk ke Mesir pada masa kalifah Umar bin Khattab. Di bawah pimpinan Amru bin Ash, penduduk Mesir dengan suka rela masuk Islam dan membantu pembebasan Mesir dari cengkraman penjajahan Romawi. Rakyat Mesir menyambut Islam dengan senang hati karena Islam yang mengajarkan sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling kuat taqwanya (QS. Al-Hujarat : 13). Bukan karena status keluarga atau ras tertentu.

Belajar dari sejarah masa lalu itu, maka para intelektual Islam (ulama) diharapkan mampu memberikan solusi syariat yang mendamaikan, agar masyarakat menerima Islam dengan lapang dada dan tangan terbuka. Para Intelaktual Islam wajib memberikan solusi syariat kepada umat, karena warasatu (pewaris) yang dimaksud dalam hadits adalah penanggung jawab penyebaran agama sebagaimana para ambiya adalah penanggung jawab dalam penegakan agama.

Sementara jika memaksakan umat untuk meninggalkan maksiat takkan berhasil bila mereka tidak diberikan solusi agar kebutuhan mereka terpenuhi. Karena jangankan manusia yang punya nafsu dan akal pikiran, air saja akan berontak kalau terus di bendung tidak diberikan jalan keluar (dialirkan ke jalur lain).

Misalnya, dalam masalah bunga Bank yang haram menurut syariat Islam, karena adanya unsur riba. Selama ini kaum intelektual hanya mampu memberi fatwa haram untuk bunga Bank, tapi tak mampu memberikan jalan keluar bagaimana cara agar masyarakat bisa melepaskan diri dari ketergantungan kepada Bank.

Tindakan kaum intelek ini kadang menjebak mereka sendiri karena mereka tak mungkin melepaskan diri dengan perbankkan dalam beberapa kasus, seperti ONH dan lain-lain. Ketika umat bertanya bagaimana hukumnya menyimpan uang pada Bank konvensional jawabannya adalah haram. Namun kemudian, ketika umat bertanya di mana juga kita simpan biar tidak haram?. Jawabannya pasoe lam plouk trieng (simpan dalam tabung bambu). Bagaimana mungkin uang miliyaran rupiah di pasoe lam plouk trieng?

Agar masyarakat meninggalkan praktek haram pada perbankkan konvensional maka kaum intelek Islam harus mampu menciptakan sebuah lembaga keuangan yang diakui dunia internasional, memiliki jaminan keamanan dan keuntungan seperti Bank konvensional. Andai kaum intelek kita mampu memberikan solusi ini, tentu dengan sangat mudah mangajak masyarakat untuk tidak menyimpan uang di Bank yang haram tapi beralih ke Bank syariah yang halal dengan jaminan keamanan, kemudahan transaksi, dan keuntungan yang tidak berbeda dengan Bank konvensional.

Demikian pula dalam hal yang lain, andai kaum intelek kita mampu memberikan jalan keluar yang syari dari setiap masalah yang di hadapi umat, pasti masyarakat Islam akan menerima dengan lapang dada bahkan sangat merindukan pemberlakuan syariat Islam. Syariat semacam inilah yang ada dalam benak masyarakat Aceh sebelum diberlakukan syariat Islam di Aceh sehingga mereka mendukung mati-matian pemberlakuan syariaat Islam secara kaffah (komprehensif).

Namun ironis, setelah syariat Islam diberlakukan, ternyata syariat yang dijalankan bukan solusi untuk masalah yang mereka hadapi tapi bencana terhadap ekonomi dan kebebasan mereka. Maka salahkah masyarakat yang menolak syariat? Atau syariat memang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat? Menurut penulis kaum inteleleklah yang bersalah karena tak mampu menyodorkan syariat solutif kepada masyarakat.

Kaum intelektula adalah orang-orang mulia yang dimuliakan dalam agama dan pengetahuannya, sehingga mereka dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat. Kemulian itu bukanlah hadiah cuma-cuma melainkan konsekuensi dari intelektualitas yang mereka miliki. Sebagai intelektual mereka memikul tanggung jawab untuk mengaplikasikan intelektualitas mereka dalam kehidupan nyata. Karena demikian, kata ulama yang terdapat dalam nash untuk memuji dan memuliakan para ulama selalu dimarifahkan dengan alif dan lam, sehingga bermakna ulama yang mengamalkan ilmunya. Ulama yang tidak mengapliksikan ilmunya dalam tindakan nyata justru sangat dikecam dalam Islam.

Semoga para intelektual Islam kita ke depan mampu memberikan solusi syariyah terhadap semua masalah yang dihadapi masyarakat sehingga impian kita untuk pemberlakuan syariat Islam secara kaffah di tanah Serambi Makah terwujud menjadi kenyataan dan kerinduan kita akan Baldatun Taibatun Wa Rabbul Ngafur benar-bnar terlaksana. Amiiin Ya Rabbal Alamin.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.