Ketika Anak-anak Menjadi “Pembunuh”

0
157
ketika anak-anak menjadi pembunuh
ketika anak-anak menjadi pembunuh

Kisah kematian Nurul Fatimah, bocoh berumur 11 Tahun, siswa kelas 3 MIN Keunaloe Kecamatan Seulimum menjadi cerita yang sangat memilukan. Betapa tidak, anak sekecil itu, harus meninggal akibat “pengeroyokan” oleh teman-teman seumurnya. Kisah “pembunuhan” terhadap anak-anak sekecil Nurul Fatimah barangkali sudah sering terjadi di negara ini.

ketika anak-anak menjadi pembunuh
ketika anak-anak menjadi pembunuh

Belum lama kasus pembakaran hidup-hidup “tak sengaja” terhadap gadis kecil di Pandrah, Bireuen yang diduga dilakukan oleh sepasang suami-istri. Begitu juga pembunuhan gadis kecil angeline oleh Ibu Tirinya di Bali, serta banyak kasus kematian gadis kecil lainnya menjadi potret suramnya masa depan anak negeri. Namun kematian akibat “perbuatan” anak-anak seumurnya menjadi sesuatu yang lebih memprihatinkan lagi. Artinya, fenomena ini menunjukkan tidak ada lagi “zona aman” bagi anak-anak, di sekolah sekalipun.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari “kambing hitam”, siapa seharusnya yang paling bertanggung jawab atas kematian anak-anak kecil tanpa dosa, dan menjadi penurus bangsa itu? Orang tuanyakah? Sekolah? Pemerintah, masyarakat adat, atau industri perfilm-an?

Ada hal yang lebih penting untuk dijawab yaitu kenapa anak sekarang menjadi lebih begis, egois dan kejam? Siapa yang membuat mereka menjadi “moster-moster” kecil yang tega mengorbankan jiwa anak-anak lainnya. Barangkali, berbagai pertanyaan ini harus dijawab oleh semua pihak agar tidak muncul lagi “moster-moster” kecil yang akan merengut nyawa nurul-nurul kecil lainnya di masa yang akan datang.

Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa semua pihak mempunyai peran baik langsung maupun tidak langsung terhadap perubahan prilaku anak-anak sekarang ini. Orang tua yang menjadi “individualistic” dengan berbagai gadgetnya, sekolah yang berorientasi pengembangan kognitif ensich, serta lingkungan yang sudah “kering” dengan berbagai kegiatan anak-anak yang meningkatkan relasi emosional sesamanya melalui berbagai permainan “warisan” leluhur. Sebaliknya, anak-anak “terkungkung” dengan pola pikir “individualistic” dengan berbagai game Play Station (PS) di sepanjang pertokoan, kota maupun desa.

Pengaruh Film Kartun dan Games

Diakui oleh tidak, disaat perkembangan otak anak-anak yang responsive dan cenderung suka meniru, pengaruh film-film kartun dan games dengan nuansa kekerasan menjadi pemicu terbentuknya pola pikir dan prilaku anak-anak seusia mereka yang menganiaya Nurul Fatimah.

Ada banyak film-filim kartun yang merusak pola pikir dan prilaku anak – anak, ada Tom and Jerry, Sichan, Bo-boiboy, Naruto, Avatar, Bima Sakti, Little Krisna, Aidit & Sopojarwo, dan berbagai film kartun lainnya yang menampilkan adegan kekerasan. Dalam film Tom and Jerry, kekerasan menjadi pemandangan sepanjang episode, permusuhan, dan saling sering merupakan “modal” bagi anak-anak untuk memperlajari serta mempraktekkan prilaku tersebut. Hal juga ditonjolkan dalam film Bo-Boiboy, di mana pertentangan dan perkelahian antara Bo boiboy dengan adu-du, ataupun dengan fenk menjadi “ide pokok” dari cerita kartun yang menjadi favorit anak-anak saat ini.

Hal sama dengan berbagai CD games play station, semua pilihan permainan anak-anak tersebut berkaitan dengan adegan perang, perkelahian, kekerasan fisik dan visual. Hal ini menjadi “racun” yang terus meracuni pola pikir dan prilaku anak-anak diera globalisasi ini.

Pengaruh film kartun dan games PS terhadap pola prilaku kekerasan anak-anak dibenarkan oleh Prof. Mark Singer dari Northern Ohio University, ia mengatakan: “Anak laki-laki atau perempuan yang memilih program TV dengan banyak aksi dan perkelahian – atau program kekerasan tinggi, memiliki nilai kemarahan yang tinggi dibandingkan anak lainnya. Mereka juga dilaporkan lebih banyak menyerang anak lain,

Upaya Preventif dan Progresif

Melihat hal tersebut, maka sepatutnya pemerintah lebih pro-aktif melakukan berbagai filterisasi terhadap berbagai acara televisi sebagai bagian dari upaya preventif. Hal ini untuk meminimalisir pengaruh dari berbagai program televisi yang dapat merusak mentalitas dan prilaku anak-anak negeri.

Saya secara pribadi, sepakat jika pemerintah Aceh mengeluarkan larangan bagi bisnis “play station” (PS). Bukan bermaksud untuk menghilangkan pencaharian orang, namun secara “maqashid syar’iyah“, berbagai usaha PS lebih banyak membawa kemudharatan daripada kemanfaatan. Kemudharatan, karena prilaku anak-anak lebih individualistic, dan egoistic, melemahkan daya penglihatan, membuang-buang uang untuk hal yang kurang bermanfaat, melemahkan fisik serta mengurangi relasi sosial sesama anak-anak, karena kurangnya interaksi secara langsung.

Pun begitu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk menguji, apakah film-film kartun yang ditanyangkan diberbagai televisi, baik milik pemerintah maupun swasta berdampak buruk bagi pertumbuhan prilaku anak-anak atau tidak. Jika berpengaruh negatif, maka perlu diambil langkah-langkah kongkrit agar pengaruh tersebut dapat diminimalisir.

Hal ini juga bagian dari upaya mencengah apa yang dikatakan oleh Aletha Huston, Ph.D. dari University of Kansas, bahwa “Anak-anak yang menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya, tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di TV.

Tumbuhkan Permainan Adat

Salah satu pengaruh negative lainnya dalam perkembangan IT dan globalisasi informasi yaitu “punahnya” berbagai permainan adat yang dimainkan oleh anak-anak, dan menjadi bagian dari sistem edukasi untuk melahirkan relasi – emosional dalam kebersamaan.

Ada banyak permainan anak anak kecil seperti, meuén ché, pét-pét dai, tak galah, geunteut, pét-pét som, meuén layang, meuén beudé trieng, beudé boh jambe, beudé cicak, meuén guli, dsb yang umumnya permaian tersebut dimainkan oleh anak laki-laki secara kolektif, tidak individualis. Sementara anak perempuan, juga mempunyai “space” nya sendiri dengan berbagai model permainan yang meningkatkan daya motorik, psikomotorik, psikis, dan kognitif, seperti meuén karet, meuén cato aneuk geutueu, meuén bola kasti dan keong, dsb.

Semua tipologi permaianan yang diciptakan oleh leluhur masa dulu tidak ada yang “mengajari” kekerasan terhadap anak-anak lain. Sebaliknya, berbagai permainan tersebut mengajarkan kerjasama tim, menghilangkan egoism pribadi/individu, melatih berpikir cepat, tangkas dan akurat, serta berbagai pendidikan lainnya dilahirkan dari interaksi permainan anak-anak yang hari ini sudah menjadi “barang langka”.

Terakhir, saya ingin menyampaikan bahwa, prilaku kekerasan yang dilahirkan oleh seorang anak, dan menyebabkan korban jiwa terhadap anak yang lain bukanlah terjadi secara spontanitas. Sebaliknya ada proses dan mekanisme yang membentuk pola pikir dan prilaku anak-anak yang kemudian rela dan merasa tak berdosa untuk “menghilangkan” nyawa anak-anak yang lain. Kasus Nurul Fatimah, adalah satu dari seribu potensi “kekerasan” pada anak-anak yang lain yang kapan saja bisa menjadi energy mekanis, dan kemudian menimbulkan korban lainnya. Peran semua pihak, menjadi penting untuk melakukan evaluasi dalam upaya menyelamatkan generasi Aceh masa depan yang lebih baik. Menghukum pelaku secara fisik “penting” untuk memenuhi keadilan formalistic, namun ada hal yang lebih penting lagi, agar ini tidak terjadi lagi dan tidak melahirkan moster-moster kecil yang tega membunuh kawannya sendiri. Semoga jiwa gadis kecil Nurul Fatimah damai dalam surga firdaus dan keluarga diberikan ketabahan atas cobaan berat ini. Wallahu’alam

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.