Jangan Mudah Menuding Jari

0
108

Sikap yang pertama sangat mudah dilakukan karena sifat dasar manusia memang susah untuk menerima kesalahan diri. Oleh sebab itu, mereka yang berani memilih untuk menunjukkan bahwa karena faktor ngeut lah maka Aceh terus ditipu merupakan sikap yang lebih otokritik. Sikap ini bermakna kita berani menjemur celana dalam di depan pagar kita dan menyampaikan pesan kepada orang lain tentang lingkar dalam kita. Ini adalah pilihan yang sulit dan membutuhkan keberanian khusus untuk dilakukan.

Sikap untuk mengakui diri kita ngeut merupakan modal utama dalam rangka melakukan transformasi dan bahkan revolusi. Mahathir Muhammad, pemimpin Malaysia, memulai perombakan Malaysia dengan membongkar kultur Melayu yang kurang mau bekerja keras dan tidak berpikiran terbuka. Dalam bukunya Dilema Melayu, Mahathir menyerang secara jantan sikap kaumnya yang tidak relevan dengan semangat kemajuan zaman. Tindakan Mahathir ini satu ketika dulu juga dianggap menjemur celana dalam bangsa Melayu di hadapan bangsa-bangsa lain. Tetapi, ia berhasil mentransformasi Malaysia menjadi Negara yang dihormati.

Ketika kecil saya sering mendengar hadih maja komtemporer; takheun bangai ok teukoh, takheun bodoh sikula tinggi. Menurut hadih maja ini, bangai identik dengan penampilan, sementara bodoh identik dengan tingkat pendidikan. Dari segi penampilan, ureung Aceh dan pemimpinnya tidaklah bisa dikategorikan bangai karena penampilan kita sangat beradab untuk ukuran masyarakat beradab. Konon, ada yang menceritakan bahwa pakaian bermerek terkenal lebih banyak laku di Aceh ketimbang di daerah lain karena pemuda-pemuda Aceh sangat mengutamakan penampilan mereka sehingga tidak terkesan bangai.

Konon pula, saya mendengar kenapa Wali Neugara Tgk Hasan di Tiro selalu berpenampilan rapi di manapun beliau berada, dan Wali pernah menegur seorang aktivis NGO dari Aceh yang ikut dalam perundingan di Swiss karena berpenampilan ala kadar ketika hadir dalam proses perundingan. Ini menggambarkan betapa pentingnya penampilan untuk tidak dipandang rendah oleh orang lain, apalagi oleh musuh.

Ketika belajar di dayah, saya juga kerap membaca dan kutipan berbahasa Arab yang menekankan pentingnya penampilan, walaupun penampilan itu bukan segala-segalanya, dalam ungkapan libasukum yukrimukum qabla al-julus, Ilmukum yukrimukum bada al-julus yang maksudnya kurang lebih penampilan akan membuat kita mulia sebelum orang lain melihat kemampuan ilmu kita.

Dari segi pendidikan, Aceh bukanlah bodoh sangat. Terdapat tiga universitas negeri utama di Aceh, politeknik, dan juga puluhan universitas swasta. Terdapat banyak orang Aceh yang mencatatkan dirinya bersekolah jauh hingga ke luar negeri seperti Eropa, Amerika, Australia dan Timur Tengah. Dari segi ini, Aceh tidak bisa dikategorikan bodoh. Jadi, kalau orang Aceh tidak bangai dan tidak bodoh, apa pula istilah yang tepat untuk menggambarkannya? Di sinilah istilah ngeut menemukan relevansinya.

Sebagaimana diulas oleh Hasan Basri M Nur (HB) dan Ayah Panton (AP) dalam Serambi (24/8) faktor ngeut ini menjadi punca kita menjadi bulan-bulanan orang. Malangnya, tidak banyak dari kita yang menghindari ngeut seperti kita menghindari bangai dan bodoh dengan memperbaiki penampilan dan bersekolah tinggi. Kalau bangai bisa ditutup dengan penampilan dan kebodohan bisa disembuhkan dengan pendidikan, apa pula obat untuk penyakit ngeut ini? Sayangnya HB dan AP tidak menawarkan apa obat bagi penyakit ini secara jelas.

Walaupun tidak menawarkan jalan keluar, kedua penulis ini melakukan peneluran semiotika terhadap kata ngeut yang bersaudara dengan kata teungeut dan jipeungeut. Dari persaudaraan ketika kata ini, mungkin obat yang tepat untuk menyembuhkan ngeut bukanlah dengan memperbaiki penampilan dan pendidikan semata, tetapi juga dengan membangun sikap cerdik dan lihai.

Politik Seumeungeut

Selama ini, mungkin karena pengaruh hadih maja kontemporer tadi, kita lebih banyak memperbaiki kualitas penampilan sehingga tidak terlihat bangai dan meningkatkan jenjang pendidikan supaya tidak digolongkan bodoh dalam indeks pembangunan manusia (Human Resources Index) baik di tingkat nasional maupun internasional. Tetapi, di sisi lain, faktanya kita tetap belum mampu mengenyahkan penyakit ngeut terutama dalam masalah politik.

Kalau benar Aceh tertipu karena kurang cerdik dan kurang lihai, diperlukan kesadaran bagaimana supaya menjadi lebih cerdik dan lihai terutama dalam arena politik dan diplomasi. Dari sejak awal proses perdamaian di Aceh, sudah banyak yang member peringatan supaya Aceh tidak lagi tertipu dengan strategi pemerintah pusat. Peringatan tersebut muncul karena adanya kesadaran bahwa pemerintah pusat memiliki kemampuan yang lebih baik dari segi pengetahuan, kekuasaan, komunikasi dan diplomasi dibandingkan dengan aktor-aktor politik di Aceh yang melawan pemerintah.

Politik bukan semata-mata arena pembagian kekuasaan dan otoritas tetapi juga kemampuan para aktor untuk bermanuver supaya kekuasaan dan otoritas yang dinegosiasikan itu berpihak sebesar mungkin untuk dirinya. Demikian juga halnya dengan negosiasi otoritas antara Aceh dan Jakarta yang lebih harus dilihat dari perspektif kontestasi ketimbang kesukarelaan membagian otoritas tersebut. Selama aktor-aktor di Aceh masih ngeut ujong dalam proses kontestasi itu, selama itu akan selalu mengalami nasib jipeungeut bak ujong dalam setiap tahapan kontestasi tersebut.

Politik adalah wilayah yang kita tidak bisa mengharapkan adanya belas kasihan. Jangan karena merasa Aceh sudah bersedia berdamai dengan Jakarta, maka dengan serta merta kita menyimpulkan bahwa di tahapan selanjutnya Jakarta akan mengasihani Aceh dengan membuka sebesar-besarnya kesempatan bagi Aceh untuk memperkuat kewenangannya. Hak-hak Aceh harus diperjuangkan terus secara cerdik dan lihai sehingga kita tidak perlu satu ketika nanti menjemur kembali celana dalam kita di depan orang lain dengan menyebut diri kita ngeut. Wallahualam.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.