Neraka Rumoh Geudong: Catatan Seorang Korban

0
862

Kala itu jarum jam menunjukkan pukul 23.00 WIB, hampir tengah malam. Sebutlah Mak Yah (Rk), ia harus merasakan kenyataan pahit ketika Apa Him (HAb) suaminya diambil paksa oleh aparat militer, pada tanggal 25 Oktober 1990, ketika itu Aceh masih tercatat sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Pada masa DOM konflik berlangsung sengit antara kelompok Gerakan Aceh Merdeka  atau GAM dengan kelompok Tentara Negara Indonesia atau TNI.

Mak Yah adalah warga Cot Tunong, salah satu desa di Kabupaten Pidie. Selain kehilangan suami, dirinya sendiri adalah juga korban dalam keganasan tragedi Rumoh Geudong. Ceritanya, pada hari yang sama, hanya berselang tiga jam setelah suaminya diambil paksa oleh aparat militer, ia juga ikut dibawa ke Rumoh Geudong itu oleh aparat militer.

“Saat itu saya lagi mengandung delapan bulan anak ketiga saya,” ujarnya kepada penulis di Rumoh Geudong, Sigli, Kamis (23/3/2017).

Tidak disangka, hari itu menjadi hari terakhir Mak Yah bersama sang suami. Pasalnya, ketika ia menginjakkan kaki di dalam Rumoh Geudong, arah pandang matanya tertuju kepada sosok tubuh seorang pria yang sudah tak bernyawa lagi tergeletak di atas lantai.

“Ternyata itu suami saya. Dia (suami saya) ditembak oleh tentara (TNI)” ucapnya.

Isak tangis menyelimuti Mak Yah. Selain tak sempat melihat anak ketiga mereka lahir, suaminya juga meninggalkan dua orang buah hati yang masih belum menempuh pendidikan.

“Saya juga disiksa dalam Rumoh Geudong,” sebutnya.

Aparat militer menggantungnya dengan ketinggian selutut anak-anak. Ia juga diperintahkan aparat militer untuk mengepel lantai dalam kondisi tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Tidak hanya itu, aparat militer juga menyiram seluruh tubuhnya dengan minyak bensin dan menodongkan senjata ke dalam mulut dan rahimnya. Semua itu bentuk siksaan yang didapatkan Mak Yah di Rumoh Geudong.

“Selama dua hari satu malam saya disiksa di Rumoh Geudong,” ujarnya.

Ketika diperbolehkan untuk pulang, ia langsung meminta kepada aparat militer untuk melihat dan membawa pulang jasad suaminya tersebut, dan aparat militer pun mengizinkan.

Pasca kejadian itu, sebulan kemudian Mak Yah melahirkan anak ketiganya. Miris ketika itu, selain mengurusi anak seorang diri, Mak Yah juga banyak tersandung hutang piutang sehingga membuatnya menggadaikan sepetak tanah, dan hingga kini tanah tersebut belum ditebusnya.

“Uangnya untuk biaya hidup, kan suami enggak ada lagi, tidak ada yang bawa pulang belanja,” katanya.

Mak Yah berharap, pemerintah benar-benar mempedulikan korban konflik Aceh. Ia sangat ingin melihat anak-anaknya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, namun niat itu kandas lantaran ia tak mempunyai biaya. Ia juga berharap pemerintah memberi lapangan pekerjaan kepada anaknya, agar anak-anaknya bisa merawat dan mengurusinya yang sudah tua.

Mulyana Syahrial [Mahasiswa Ilmu Politik, FISIP UIN Ar-Raniry, Banda Aceh]

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.