Reaksi Politik Atas Suara Rakyat

0
105

Analisa lainnya adalah prestasi pemerintah eksekutif dalam memberantas korupsi, yang juga memiliki kinerja yang tidak efektif. Begitu juga perbandingan tingkat korupsi sebelum maupun sesudah tsunami, ternyata korupsi lebih parah terjadi sesudah tsunami. Disisi lain, dikatakan pula bahwa Qanun tidak berdampak apa-apa terhadap pemberantasan korupsi. Kondisi demikian memberikan gambaran bahwasanya komitmen awal pemerintahan Irwandi-Nazar dengan langkah mereka membentuk TAKPA dan membuka jaringan dengan lembaga anti korupsi belum terlaksana sesuai dengan yang direncanakan.

Hasil survey yang dilakukan oleh TII bersama the Aceh Institute tersebut semestinya menjadi senjata ampuh bagi perbaikan pemerintahan Irwandi-Nazar karena hasil ini dapat menjadi sumber semangat baru bagi pemerintahan sekarang dalam mengorientasikan tata pemerintahannya. Hal ini juga dapat menstabilkan kinerja pemerintahan Irwandi-Nazar menjelang berakhir pada akhir tahun 2011. Selain itu, hasil survey ini juga menjadi salah satu pijakan untuk memperkuat proses pembangunan yang semakin jauh melangkah dari masa transisi.

Oleh karena itu, respon teknis yang mempermasalahkan metode mengakibatkan substansi hasil survey tidak bisa dimanfaatkan menjadi senjata bagi perbaikan citra pemerintahan Aceh, malah memperlihatkan sikap dan tindakan reaksioner. Semestinya pemerintah dapat memberikan apresiasinya terhadap inisiatif seperti yang dilakukan oleh TII dengan Aceh Institute, karena dengan ada inisiatif yang demikian maka pemerintah mendapat gambaran yang lebih objektif untuk menata kinerja pemerintahannya sehingga persepsi publik terhadap rezim yang sedang berkuasa menjadi lebih bagus di masa yang akan datang.

Sebagai salah seorang masyarakat yang sadar atas tanggung jawabnya untuk memperkuat kebijakan pemerintah, maka penulis berpendapat bahwa respon yang dilakukan oleh gubernur, wakil gubernur dan ketua TAKPA sendiri memberikan gambaran bahwa rezim yang sedang berkuasa sekarang kurang memiliki orientasi politik yang bersifat jangka panjang. Tindakan klarifikasi langsung dan reaksioner, dengan cara merespon hal-hal teknis atas hasil survey TII dan Aceh Institute, melalui beberapa media tidaklah menghilangkan substansi dari hasil survey tersebut, bahkan tindakan tersebut cenderung memutarbalikkan fakta, dan merupakan sebuah upaya untuk menutup citra buruk yang merupakan substansi hasil survey dengan merespon permasalahan teknis. Tindakan demikian memberikan gambaran pada publik bahwa rezim yang berkuasa sekarang tidak memiliki orientasi untuk mengkonstruksikan gagasan yang muncul dari publik menjadi basis kebijakan politiknya.

Indikasi tersebut dapat kita lihat kembali dari beberapa komentar yang diberikan oleh gubernur dan wakil gubernur serta ketua TAKPA di Serambi Indonesia pada 23 juni 2010, dimana komentar-komentar mereka bermaksud menutup ruang ekspresi publik dan bahkan berupaya mengintimidasi publik dengan resiko-resiko yang kembali ke masa lalu. Misalnya komentar wagub yang menyatakan bahwa Saya kira tidak dilakukan langsung secara objektif, tapi pasti menggunakan agen lain di lapangan. Selain itu juga Kalau mau survei, jujur sajalah dan jangan main-main, karena merusak Aceh dan merugikan rakyat Aceh (Serambi, 23 Juni 2010). Jika pernyataan demikian keluar dari pemimpin publik dalam merespon suatu inisiatif masyarakat maka perkembangan masa depan Aceh makin suram dan gelap. Para pemimpin publik sudah saatnya melakukan refleksi atas capaian jalannya pembangunan sejauh ini, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa proses pembangunan di Aceh mengalami stagnasi dan belum mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan integrasi sosial-politik. Sehingga setiap permasalahan yang muncul selalu saja disorientatif dari semangat pemerintahan ini dijalankan.

Menjawab realitas terkini, khususnya hasil survey barometer korupsi Aceh maka rakyat Aceh sudah saatnya mengantisipasi tradisi korupsi yang terus menguat. Setiap individu maupun organisasi masyarakat sipil bersikap kritis atas tindakan korup sebagai tanggapan untuk menjawab realitas perilaku korup yang terus menjalar ke sanubari sosial maupun perilaku politik. Organisasi masyarakat sipil sudah saatnya mengorientasikan misinya untuk menciptakan kader-kader baru yang jauh dari orientasi korup, pendidikan-pendidikan yang berorientasi kepemimpinan masa depan mesti dikembangkan demi menciptakan pemimpin-pemimpin baru untuk 10-30 tahun ke depan yang bebas dari tradisi dan budaya korup.

Pemerintahan Aceh, baik eksekutif maupun legislatif yang sadar atas gejala korupsi dil ingkungan institusinya semestinya mengambil langkah-langkah strategis untuk menutup ruang terjadinya korupsi tersebut. Langkah strategis tersebut mesti dimulai dengan kebijakan komprehensif yang berbasis pada perspektif anti korupsi. Ruang ataupun kesempatan yang dapat membuka kemungkinan terjadinya korupsi mesti ditutup rapat-rapat, misalnya dengan kebijakan program dan anggaran. Kebijakan program dan anggaran merupakan titik awal yang membuka celah terjadinya korupsi. Tentunya rakyat dapat melihat ketika RAPBA dibuat, yang kemudian menjadi APBA, sudah memonitor program-program yang membuka celah terjadinya korupsi. Oleh karena itu persepsi publik sudah terbentuk sejak penetapan APBA sampai program-program pembangunan dilaksanakan.

Keberadaan TAKPA atau lembaga anti korupsi lainnya tidak bisa menjawab permasalahan korupsi tanpa didukung oleh kebijakan politik dan cita-cita politik semua pihak. Tentunya pimpinan politik mesti memberikan contoh yang tepat dan benar pada rakyat. Pimpinan publik mesti mempraktekkan tindakan-tindakan yang memiliki tingkat efisiensi anggaran yang tinggi.

Jika komitmen yang ditumbuhkan oleh pemerintah Aceh sesuai dengan semangat perjuangan selama bertahun-tahun sebelum perjanjian Helsinki maka bukan tidak mungkin pemerintahan Irwandi-Nazar justru mendapatkan persepsi publik yang positif, yang sebaliknya daripada temuan survey barometer korupsi yang dilakukan oleh TII dan Aceh Institute. Mudah-mudahan dengan mengubah perilaku politik seperti yang sedang dipraktekkan saat ini ke arah yang tidak korup dan reaksioner maka hal itu menjadi jawaban atas pentingnya membangun orientasi politik jangka panjang dan memperkuat tradisi politik yang jauh dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.