Apa Suh, Otsuh dan Kapitalis

0
197

Apa Suh mungkin tidak akan pernah mau dipanggil demikian jika ia masih mampu mempertahankan kekayaan keluarganya. Sekurang-kurangnya, ia dipanggil Toke Suh atau Haji Suh. Namun apa daya, ia yang dibesarkan dalam keluarga kaya terkena apa yang disebut dalam teori Darwin survival for the fittest. Hanya yang pandai menyesuaikan diri yang mampu bertahan hidup.

Dibesarkan dalam keluarga yang bisa dikatakan berlebihan secara materi dan memiliki ayah ibu yang sangat “apa maumu, nak”, Apa Suh menjadi orang yang bisa dikatakan hampir tak pernah mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia tak pernah mengalami apa yang pernah kami alami sebagai anak kos pada zaman kuliah dulu.

Di saat kami harus berpikir keras apa yang bisa dimakan untuk sekedar mengganjal perut pagi ini, ia sudah pada level menentukan menu apa yang enak dimakan siang. Di saat kami harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk membeli kuah dengan sepeda pinjaman, ia sudah berkali-kali gonta-ganti motor baru–motor pada tahun 90an masih tergolong barang mewah. Tak ada yang namanya pahit getir di masa mudanya. Kiriman orang tuanya tinggal bilang berapa.

Namun zaman perlahan berubah. Orang tua Apa Suh sudah tiada. Kekayaan keluarga besar Apa Suh yang setelah dibagi untuk saudara-saudarinya menjadikannya tak kaya lagi. Persisnya, ia mendadak miskin. Namun lebih parah lagi, ia belum keluar dari kotak hidup lama sehingga tak memiliki kemampuan untuk bertahan hidup ala orang miskin. Pola hidup konsumtif sudah mendarah daging dalam dirinya, walaupun di saat keadaan ekonominya sudah terjun bebas.

Sejak tahun 2005an banyak di antara kami sudah hidup agak mapan, walaupun sekedar punya rumah mungil dan mobil sejuta umat. Rupanya Apa Suh pun tak mau ketinggalan. Demi gengsi, ia menjual tanah pusakanya untuk DP mobil. Bulan-bulan pertama sanggup ia bayar angsurannya, tetapi bulan-bulan selanjutnya ia harus lihai bersembunyi dari kejaran pihak leasing mobilnya yang menagih angsuran bulanan. Singkatnya, hidupnya sangat apoh-apah.

Berkaca dari nasib Apa Suh, saya ingin mengajak memikirkan keadaan Aceh ke depan, khususnya pasca berakhirnya kucuran dana otonomi khusus (Otsus). Namun dalam tulisan ini, izinkan saya menyebut dana Otsus dengan Otsuh, agar sesuai dengan bunyi ucapan Apa Suh saat ia sesekali geram dan menggerutu tentang dana itu. Banyak orang yang kuatir, di saat dana Otsuh sudah tak ada lagi untuk Aceh, sedangkan rakyat atau Pemerintah Aceh mungkin selama ini banyak mengandalkan dana itu, keadaan (rakyat) Aceh bisa apoh-apah seperti kehidupan Apa Suh. Dan saat yang dikuatirkan itu tak lama lagi, 2028. Itu berarti sekitar 11 tahun lagi.

Kemungkinan Aceh apoh-apah bukan hal yang mustahil untuk terjadi. Di saat dana pembangunan berlimpah seperti sekarang saja, Aceh termasuk provinsi miskin dan banyak pengangguran di Indonesia, apalagi ketika dana Otsuh sudah habis. Belum lagi dengan proyek-proyek Otsuh yang ditinggalkan tak mampu terurus nantinya. Semakin bertambah-tambah jumlah rakyat yang menganggur. Semakin bertambah pula tingkat kemiskinan rakyat. Mudah-mudahan ini tak terjadi, bila pemerintah sekarang lihai mencari sumber baru atau memanfaatkan dana otsuh untuk mengembangkan sektor-sektor produktif.

Mungkin yang bisa bergembira pada saat itu adalah kaum pemilik modal. Agaknya bisa juga disebut kaum kapitalis. Entahlah. Pokoknya pemilik modal besar dari kalangan swasta. Entah itu bandar narkoba yang kaya raya dan mempengaruhi pengambilan keputusan di kampung-kampung, atau bos-bos kaya yang sempat bermain di lingkaran dana Otsuh. Di saat modal untuk pembangunan sudah sedikit, tentunya sumbangan modal dari pihak swasta seperti itu terpaksa dilirik.

Seperti biasanya, di saat dana segar mereka digunakan, tentunya akan terjadi tarik-menarik kepentingan. No free lunch, kata orang Amerika. Tak terbayangkan bila para pemilik modal seperti itu mencalonkan diri menjadi wakil rakyat atau pemimpin nanggroe! Bukan mustahil. Soalnya, untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau penguasa di zaman sekarang membutuhkan modal besar. Apalagi bila ada rakyat pemilih yang istilah Acehnya: jok wie, jok uneun. Ada uang, ada barang, istilah bisnisnya mungkin. Ada uang, ada suara.

Sehingga seseorang calon yang tak memiliki modal uang besar, terpaksa ditopang oleh para pemilik modal. Akibatnya, ada pesan-pesan sponsor yang harus dipenuhi oleh seorang penguasa terpilih. Makanya tak heran bila proyek-proyek pembangunan yang dikerjakan berkualitas rendah. Hal ini tak terlepas dari usaha tarik modal yang sudah dikeluarkan.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.