0
128

Mengapa hal itu terjadi dan mewarnai realitas kehidupan berbangsa kita sekarang ini? Bisa jadi, antara lain disebabkan karena ketidakmauan para pihak di semua strata sosial, untuk mengusung amanah perikemanusiaan yang niscaya sudi memikirkan dan mengakomodasi kepentingan orang-orang lain secara seksama. Serta, ketidakmauan menerima secara apresiatif aneka keragaman perbedaan yang niscaya hadir dalam ruang sejarah kehidupan kita.

Kenyataan fenomenal yang mengiris akal-sehat dan melakui peradaban itu, secara mendasar menyangkut soal substansi kandungan dan kondisi tata-pikir, mentalitas, konsep diri dan perilaku anak-anak negeri (Aceh/Indonesia) yang hingga saat ini tampak telah terpola sedemikian rupa dalam karakter yang bersifat anti-sosial, baik secara mikro maupun makro. Lantas, interaksi personal antarsesama yang dihasilkan oleh pola-pikir, mentalitas dan perilaku anti-sosial tersebut, terbentuklah realitas vulture-culture.

Fenomena kebudayaan

Vulture-culture adalah suatu fenomena kebudayaan yang sarat dengan berbagai karakter, mentalitas dan perilaku antagonistik yang bersifat saling-memangsa, yang positioning antara satu sama lainnya selalu dalam perspektif polarisasi binary opposition (kawan-lawan). Inilah lahan subur bagi lahirnya vulture-culture, yang hingga hari ini tampak terus berkembang dan berlangsung, baik secara sesama warga ingroup maupun warga outgroup, dalam varian-varian perilaku yang bersifat menaklukkan, menjatuhkan, menistakan, memangsa, mematikan, dan memusnahkan.

Sementara kehendak antagonistik dan militansi yang dilahirkannya itu, adalah muncul dari adanya dorongan-dorongan libidal-materialistik bersama motif-motif hedonistik. Saat sifat egosentris yang bersifat sangat mementingkan kepentingan diri sendiri itu, melandasi semua interaksi sosial dalam pelaksanaan segala aktivitas kesehariannya, terutama di kalangan elite para pemimpin dan penguasa.

Di sini tampak, bahwa manusia yang sejatinya adalah makhluk sosial, telah mengerutkan dimensi sosialnya (altruisme) sedemikian rupa, menjadi sekadar makhluk individual yang secara ekstrem bersifat nafsi-nafsi, atau elu-elu, gue-gue. Di mana kehadiran orang lain dalam ruang sosial kehidupannya, selalu dipandang sebagai objek eksploitasi, yang satu sama lain saling berlomba untuk siapa lebih dulu mengalahkan siapa.

Kemudian, antara artikulasi aneka ucapan beserta segala motif, teori dan konsep turunannya, bersama segala wujud penerapan pekerjaan dan perilaku di lapangan, tampak setiap orang cenderung bersifat kontradiktif, paradoks, hipokrit, manipulative, parasit, penuh kebohongan dan ketidak-adilan. Selain itu, tampak pula keinginan kuat untuk menyeragamkan aneka pluralitas alam kemanusiaan yang berwatak serba berbeda dan penuh keragaman, dijadikan doktrin mutlak yang menghegemoni kebenaran.

Seolah dengan aksi menyeragamkan itu, manusia merasa dirinya sedang menaikkan derajatnya, untuk kemudian menyamai dirinya dengan Tuhan, ketika dirinya merasa sebagai pemilik otoritas kemutlakan. Yang kemudian merasa berhak untuk menvonis orang-orang yang tak sepaham dengannya sebagai orang-orang sesat atau kafir, yang kemudian dipandang pantas untuk dimusnahkan.

Padahal, tanpa disadari, bahwa semua sikap dan tindakan tersebut dilakukan demi memenuhi segala kehendak dan keinginan politik anti-sosialnya. Meskipun sebenarnya sikap tersebut justru sungguh bertentangan dengan hukum kodrat alamiah dan sunnatullah penciptaan, yang kesemua apapun makhluk Tuhan ini, niscaya berhak untuk hidup dan memiliki otonomi yang mandiri atas dirinya sendiri. Tidak ada orang lain yang boleh merasa berhak untuk menghitam-putihkan orang lain sekehendak hati dirinya.

Jika kemudian terdapat realitas yang tampaknya seolah seragam dan tunggal, hal itu sebenarnya hanya bersifat semu, manipulatif dan merupakan penampakan permukaannya belaka. Ini juga sekaligus menunjuk sesuatu yang paradoks dengan ontologisme kemanusiaan, dengan esensialisme keberagamaan dan dengan integralisme kebangsaan, yang seolah tampak telah berhasil dipersatukan dalam suatu kesatuan yang solid. Sehingga lahirlah berbagai kebijakan kemanusiaan yang didasarkan pada doktrin kesatuan.

Padahal doktrin kesatuan itu hanyalah manifestasi dari keinginan satu pihak belaka bersama barisan penyangga dan pendukungnya, yang seolah memperlihatkan betapa manusiawinya kita dan memiliki tingkat persaudaraan kemanusiaan yang mengasihi, spirit keberagamaan yang tulus dan derajat kadar kebangsaan yang tinggi. Padahal, inilah sebentuk gejala pseudo-humanism (seolah sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan), pseudo-religiositism (seolah menjadi bagian esensial dari keshalihan beragama), dan pseudo-nationalism (seolah menjadikan persaudaraan sebagai esensi kebangsaan).

Semua corak keseolahan tersebut kemudian hanya melahirkan mentalitas yang tak pernah bekerja secara serius, penuh dedikasi dan penuh tanggung jawab. Sehingga kemudian, keseolahan yang dimainkan masing-masing mereka, ternyata justru menjadi sumber konflik yang saling berlomba untuk memusnahkan. Berbagai sektor kehidupan sosial-politik, termasuk juga dalam wilayah keagamaan, baik pada level antar individu maupun antarkelompok yang sejak lama dipaksa untuk menganggap keberagaman dan kemajemukan bangsa itu menjadi sesuatu yang tidak ada, dan bahkan dipandang haram walau untuk sekadar diperbincangkan.

Ada hegemoni atas kebenaran di sini, dari pihak yang berkuasa (kuat) terhadap pihak-pihak yang dikuasai (lemah). Agaknya, doktrin yang penuh kesemuan dan manipulative melalui berbagai kiat pencitraan yang berbiaya mahal, adalah sesuatu yang sungguh bukan hal yang sebenar-benarnya. Tetapi, justru itulah yang secara massif dan intensif berlangsung dalam ruang sejarah politik kebudayaan, khususnya di masa rezim politik kekuasaan Orde Baru berkuasa, yang mewariskan banyak sekali kerusakan nilai-nilai kemanusiaan yang harus dituai pasca-tumbangnya Orba.

Melestarikan kekuasaan

Kekuasaan yang dikelola secara sentralisme-birokratik dan otoritarianisme-militeristik yang penuh manipulasi itu, mensyaratkan perlu adanya berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan politik, intelektual, ekonomikal, verbal, spiritual, mental dan fisikal dalam melestarikan kekuasaan. Kekuasaan direbut, dikuasai dan dipertahankan selama-lamanya dengan berbagai cara demi kekuasaan itu sendiri, di mana dirinya menikmati banyak kenikmatan yang dapat dilipat-gandakan dalam ranah kekuasaan yang dikuasai itu.

Dari sistem yang manipulatif dan penuh kekerasan inilah yang kemudian mempola sistem kehidupan dan kebudayaan masyarakat di semua levelnya menjadi bersifat vulture-culture. Yaitu budaya memangsa, dari kuat terhadap yang lemah. Inilah warisan budaya politik Orde Baru yang agaknya masih terus akan bertahan. Apalagi jika para pemimpinnya, termasuk para pemimpin yang di kampus-kampus, yang hingga kini masih terus resisten atas tuntutan perubahan. Karena perubahan bagi mereka adalah ancaman bagi hilangnya kenikmatan yang sebenarnya bukan haknya.

Perubahan dipandang menjadi ancaman, terhadap akan hilangnya aneka kenikmatan, berbagai fasilitas dan kehormatan feodalistik yang dapat diperolehnya dari merawat tradisi kepemimpinan sosial-politik masa lalu. Walau sesungguhnya tradisi politik masa lalu itu telah menunjukkan kegagalan total untuk menjadi manusia sejati, gagal menjadi pemeluk agama yang benar, baik dan mulia, serta gagal menjadi bangsa yang terhormat. Billahi fi sabiilil-haq.

* Fuad Mardhatillah UY. Tiba, Dosen UIN Ar-Raniry dan pembina Aceh Institute, Darussalam, Banda Aceh. Email: fmardha@gmail.com

Artikel ini telah dimuat di Harian Serambi Indonesia Edisi Senin 16 Desember 2013

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.