Workshop – Short Course – Seminar – Research
Sejarah merupakan sistem persepsi yang dikonstruksikan. Sehingga sistem ini dapat saja diperdebatkan merujuk kepada apa, siapa, kapan, dimana, bagaiamana dan mengapa hal tersebut dikonstruksikan. Sama halnya dengan berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh pada masa konflik. Sejarah tersebut merupakan sebuah sistem, yang sengaja maupun tidak, juga dikonstruksikan oleh persepsi yang lahir dari kenyataan ataupun manipulasi. Untung atau tidak, tentunya sejarah ini memiliki kausalitas terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sejarah Aceh se-abad ini adalah sejarah pelanggaran HAM. Bagaimana tidak, sejak deklarasi Belanda terhadap Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1873 hingga konflik antara GAM dan Pemerintah RI yang diakhiri dengan MoU Helsinki 2005, terjadi berbagai bentuk pelanggaran HAM yang tak terbayangkan dan belum terselesaikan dengan baik (Zain, 2016). Ironisnya, ketika pelanggaran HAM mengkristal menjadi persepsi dan terpatri dalam pikiran masyarakat, maka sejarah senantiasa akan berulang kembali. Bahkan dapat dikatakan bahwa sejarah pelanggaran HAM di Aceh yang belum terselesaikan merupakan salah satu sebab bahwa konflik kekerasan akan lahir kembali. Damai hari ini adalah babak “half time” menuju konflik kekerasan selanjutnya! Sehingga, hadir dan berjalannya mekanisme “keadilan transisional” (Transitional Justice) demi menyelesaikan persoalan ini menjadi salah satu cara demi mencegah keberulangan sejarah yang sama.
Merujuk berbagai literature, Transitional Justice adalah salah satu ikhtiar dalam mencegah terjadinya kembali konflik kekerasan serta pelanggaran HAM (Teitel, 2000; Hayner, 2011; Fischer, 2011). Yang kemudian, mekanisme ini juga diinterpretasikan sebagai bentuk pemenuhan keadilan berbasis korban (victim-oriented), bukan berbasis aktor (actor-oriented) ataupun berbasis pembangunan yang general. Mekanisme ini mulai populer digunakan sejak berakhirnya Perang Dunia kedua di tahun 1945. Secara umum, Transitional justice merupakan implementasi pendekatan peradilan (retributive justice) maupun non-peradilan (restorative justice) dalam kondisi kekerasan maupun paska kekerasan demi tercapainya akuntabilitas, keadilan, serta rekonsiliasi. Kedua elemen tersebut – pendekatan peradilan dan non-peradilan – dijabarkan dalam bentuk pengungkapan kebenaran, peradilan, reparasi, serta mekanisme alternative lainnya demi mencegah keberulangan kekerasan.
Dalam konteks Aceh, perjanjian perdamaian antara GAM dan Pemerintah Indonesia dalam bingkai MoU Helsinki (2005) telah memberikan peluang terhadap implementasi transitional justice.[1] Namun akibat berbagai polemik politik dan hukum, implementasi transitional justice tidak sepenuhnya berjalan lancar. Salah satunya adalah kehadiran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKRA) yang sebenarnya telah diamanatkan oleh Undang-Undang no. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh jelas ditegaskan bahwa “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 berlaku efektif paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Dikarenakan UU ini baru disahkan pada 1 Agustus 2006, maka seharusnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh sudah bekerja sejak 1 Agustus 2007. Namun realitanya, aturan hukum – Qanun Aceh – tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh baru disahkan di tahun 2016 serta mulai bekerja pada 2017 hingga 2022
Di satu sisi, keterlambatan ini disebabkan oleh permasalahan hukum yang akan memayungi komisi ini, setelah dibatalkannya Undang-Undang no. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional dengan keluarnya putusan no. 020/PUU-IV/2006 oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sehingga klausul yang terdapat dalam pasal 229 (2) Undang-Undang no. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai amanat daripada MoU Helsinki menjadi pertimbangan untuk melahirkan Qanun ini sebelumnya.[2] Alhasil, pembahasan antara Pemerintah Aceh dan Pusat demi melahirkan aturan hukum ini terhambat akibat persepsi hukum yang berbeda. Selain itu pula, tampak pula keengganan segelintir pihak untuk mendukung hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Di sisi lain, kehadiran KKRA bisa saja menjadi “pintu masuk” terhadap pengungkapan kebenaran akan pelanggaran HAM di tingkat nasional, seperti kasus Tanjung Priok, kasus Talangsari, kasus Abepura, dan berbagai kasus lainnya. Hal ini akan mengganggu kepentingan penguasa yang kerap kali menjadi pelakunya. Begitupula, sebagian pendapat masyarakat mengungkapkan bahwa hadir dan bekerjanya KKRA akan membuka luka lama dan memicu konflik kembali. Hal ini wajar, karena pengetahuan sebagian besar masyarakat akan konsep KKRA dalam bingkai transitional justice belum terlalu signifikan, bahkan di kalangan Pemerintah sekalipun.
Namun begitu, selain bekerja untuk mengungkapkan kasus-kasus pelanggaran HAM masa konflik antara GAM dan Pemerintahan selama 1976-2005, komisi ini juga diharapkan juga mampu membuka ‘sungkup’ pelanggaran HAM yang terjadi selama peristiwa PKI 1965 di Aceh, pemberontakan DI/TII (1953-1962), bahkan perang cumbok serta revolusi sosial. Karena sejarah ini yang sebenarnya menjadi salah satu penyebab utama terjadinya konflik kekerasan di Aceh yang tiada akhirnya.
Oleh karena itu, sebagai upaya membantu berjalannya kerja-kerja KKRA dalam bingkai transitional justice, The Aceh Institute mendirikan TJ School pada Oktober 2016 sebagai platform pendidikan dan riset bagi masyarakat luas. TJ school beroperasi layaknya sub-institut yang tak dapat dipisahkan dari The Aceh Institute. Selain itu, TJ School juga telah menjadi mitra dalam skema kerja KKRA.