Transitional Justice Movement di Argentina, Brazil dan Jeju (Korea Selatan): lesson learned untuk Aceh

0
493

Transitional Justice Movement adalah gabungan kata yang memiliki konsep berbeda. Transitional Justice (Keadilan Transisional) atau disingkat TJ adalah konsep/mekanisme yang lazim diterapkan pada periode paska konflik maupun rezim represif. Ianya merupakan ‘ikhtiar’ untuk memastikan proses rekonsiliasi – pemenuhan keadilan ataupun penyelesaian pelanggaran HAM masa lampau – berbasis korban (victim-oriented) agar dapat berjalan. Umumnya, mekanisme ini terbagi atas: program reparasi, peradilan, mekanisme alternative untuk mencegah keberulangan kekerasan, serta pengungkapan kebenaran. Sedangkan movement merujuk kepada social movement (gerakan sosial) atau diartikan sebagai jejaring informal yang terdiri atas individu/grup; memiliki elemen “perlawanan” untuk mendobrak batasan-batasan yang dikelola lembaga formal; memiliki target/wacana/lawan yang jelas; serta memiliki identitas yang sama, baik secara sosial, ekonomi, ataupun politik (Diani, 1992; Melucci, 1996; Tilly, 2004; Della porta & Diani, 2006). Memang, perlu ada upaya meng-rekonseptualisasi-kan perkara ini dalam konteks yang lebih spesifik demi keperluan akademik. Namun dalam tulisan ini, TJ movement disepakati sebagai gerakan sosial yang mendorong lahir dan berjalannya mekanisme keadilan transisional dalam menanggapi kekerasan/pelanggaran HAM – yang menimbulkan  dampak fisik dan psikis – serta dilakukan secara massif, terstruktur dan sistematis, terutama dalam masa konflik maupun rezim represif. Umumnya, TJ movement identik dengan Gerakan HAM (Human Rights Movement), namun untuk memfokuskan objek tulisan agar lebih spesifik, maka penggunaan TJ movement lebih digalakkan.

Berkenaan dengan itu, Argentina, Brazil, dan Jeju (Korea Selatan) memiliki pengalaman terkait TJ movement dan implementasi mekanisme keadilan transisional (TJ). Hal ini mungkin saja dapat memberikan bahan diskusi dan perspektif berbeda bagi masyarakat terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu demi mewujudkan rekonsiliasi di Aceh.

Argentina, Brazil dan Jeju (Korea Selatan)

Dalam kurun waktu 1976-1983, Argentina berada dalam kepemimpinan Junta militer yang berkuasa dengan tangan besi. Militer dibawah pimpinan Jendral Jorge Rafael Videla melakukan kudeta terhadap Presiden Isabel Peron pada tahun 1976. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk merubah kondisi sosial politik yang tengah dirundung krisis, hingga melahirkan kelompok-kelompok subversive. Namun bukan hanya kelompok ini saja yang kemudian menjadi target, tetapi juga termasuk mereka yang beraliran kiri, intelektual, jurnalis, mahasiswa, dan siapapun yang mengkritik Junta. Dalam periode tersebut, Junta menerapkan sistem teror dalam bungkusan Process of National Reorganization (El Proceso). 15.000 hingga 30.000 menjadi korban extra-judicial killing atau penghilangan paksa. Tidak ada yang bergeming mendorong dihentikannya segala proses kekerasan tersebut, kecuali sekumpulan kaum ibu. Gerakan ini dikenal sebagai Las Madres de La Plaza de Mayo (The Mothers of Plaza de Mayo). Plaza de Mayo sendiri merupakan sebuah tempat yang berdekatan dengan Kantor Pemerintahan Argentina di Buenos Aires. Para ibu-ibu (Las Madres) ini berkumpul menuntut kebenaran, keberadaan anak-anak mereka yang hilang serta proses hukum terhadap para pelaku. Yang paling fenomenal, tuntutan (protes) ini dilakukan saban minggu di Plaza tersebut sejak 1976 hingga 2016.

Keadaan politik kemudian berubah ketika Junta kehilangan kredibilitasnya setelah kekalahan melawan Inggris di Perang Malvinas (1982). Alhasil pada tahun 1983, kekuatan Junta melemah dan pemilihan umum digelar minus intervensi militer. Berkat upaya Las Madres dan elemen TJ movement lainnya serta dukungan dari Pemerintahan transisi terpilih (Presiden Raul Alfonsin pada tahun 1983), akhirnya melahirkan Comision National Sobre la Desaparacion de Personas (CONADEP). Komisi ini bertugas untuk mengklarifikasi peristiwa terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi selama pemerintahan Junta. Pada tahun 1984, CONADEP melahirkan laporan bertajuk Nunca Mas mengidentifikasi antara 10.000 hingga 30.000 jiwa terbunuh atau dihilangkan selama masa Junta berkuasa. Dari laporan ini, mekanisme TJ yang lain kemudian dilaksanakan melingkupi program reparasi yang telah menghabiskan dana sebesar 3 Milyar US Dollar hinnga, amnesty serta prosekusi terhadap para pelaku. Namun, tidak semua masyarakat korban menganggap hal ini cukup untuk memenuhi tuntutan keadilan bagi mereka, karena aura impunitas masih begitu kentara, para pelaku masih tampak biasa, sehat dan bertenaga. Bahkan berbagai Negara yang warganya menjadi korban dalam periode junta seperti Swedia, Spanyol, Italia, Perancis dan Jerman juga menginisiasi pengadilan in absentia terhadap para pelaku sejak 1990an, walaupun Supreme Court of Argentina menganggapnya illegal.

Dengan tujuan yang sama, Hijoz (Sons) sebagai salah satu elemen TJ movement pun muncul pada tahun 1996. Mereka adalah anak-anak para korban kekerasan dan penghilangan paksa yang dilakukan selama rezim junta. Berbeda dengan Las Madres, Hijoz bergerak dengan lebih radikal. Mereka mencari tahu keberaadan pelaku maupun alamatnya, kemudian mempermalukannya di depan umum. Atau setidaknya, menuliskan tanda nama “saya yang membunuh si fulan binti fulen di tempat … pada hari …” atau lebih simplenya “Warning, killer!”, di depan rumah-rumah mereka. Selain itu, Hijoz dan jaringannya juga membuat database website yang merangkum seluruh data korban.

Berbeda halnya dengan di Argentina, TJ movement tidak dapat bergerak begitu gencar di Brazil. Berbanding di Argentina, pengaruh Junta militer di Brazil masih begitu kuat ketika sistem pemerintahan berubah menjadi demokratik pada tahun 1985. Setelah dikuasai oleh Junta sejak 1964, trend kekerasan terus meningkat hingga 1974 dan kemudian menurun kembali hingga 1985. Pelanggaran HAM dengan pola penyiksaan sebagai shock theraphy begitu gencar dilakukan sejak diaktifkannya Keputusan Presiden Ato Institucional-5 (AI-5) di tahun 1968 ketika faksi hardliner militer (Presiden Artur da Costa e Silva) menguasai Pemerintahan hingga 1974. Regulasi ini memberikan kewenangan kepada Executive untuk membubarkan parlemen, menangkap oposisi, mengaktifkan skema censorship, menutup peluang untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat, meningkatkan pengawasan terhadap masyarakat, termasuk memberikan kewenangan membuat dan mengesahkan Undang-Undang secara sepihak. Tujuannya untuk menekan seluruh elemen masyarakat yang menentang kekuasaan militer termasuk, kelompok subversive bersenjata, kaum intelektual dan mahasiswa kritis, organisasi buruh, dan segala bentuk perlawanan terhadap Pemerintah. Namun semenjak 1974, kelompok moderate mulai membuka ruang politik ke arah liberalisasi. Kemudian, ketika Baptista de Oliveira Figuereido dilantik menjadi Presiden (1979), tingkat kekerasan sudah semakin menurun. Ia berupaya mewujudkan rekonsiliasi dan membangun kembali demokrasi di Brazil. Atas dasar itu, Undang-Undang tentang Amnesty (1979) diberlakukan. Regulasi ini menegaskan imunitas dari berbagai upaya hukum terhadap aparatur Negara maupun para oposisi yang terlibat dalam kekerasan politik sebelumnya. Hal ini menutup berbagai kemungkinan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi pada masa repressive melalui mekanisme hukum (retributive justice) di Brazil hingga saat ini.

Namun demikian, mekanisme restorative justice terus diperjuangkan oleh TJ movement di Brazil. Salah satunya ketika laporan tentang pelanggaran HAM sejak 1964-1979 muncul dalam balutan buku berjudul Brasil: Nunca Mais pada Juli 1985, beberapa bulan setelah penyerahan kekuasaan junta kepada pemerintahan demokratik. Buku yang terdiri dari 7000 halaman dengan 12 volume ini memuat berbagai dokumentasi tentang pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan paksa yang dilakukan oleh aparatur Negara. Berbagai data ini dikumpulkan oleh gerakan HAM yang menyusup dalam Pemerintahan dengan dukungan Geraja-Gereja Katolik. Gereja-gereja ini berafiliasi dengan World Council of Churches yang berbasis di Jenewa, Swiss. Dampaknya, berbagai institusi dihadirkan untuk melakukan upaya rekonsiliasi menyeluruh. Pada tahun 1995, Special Commission on Deaths and Disappearance (SCCD) dibentuk untuk melaksanakan reparasi terhadap keluarga, mencari tahu keberadaan jasad korban, serta mempromosikan tentang pengungkapan kebenaran dan keadilan. Untuk lebih luasnya lagi, Amnesty Commission (AC) dibentuk pada tahun 2001. Tujuannya adalah melakukan reparasi secara umum, baik secara moral maupun materil, serta individual maupun kolektif. Hingga tahun 2012, Pemerintah Brazil telah menghabiskan dana sebesar 1,6 Milyar US Dollar untuk melakukan reparasi.

Di lain hal, ketika Brazil dan Argentina menerapkan mekanisme TJ dalam skema nasional, TJ di Korea Selatan awalnya lahir dari inisiatif pada tataran lokal. Yaitu para akademisi dan mahasiswa Jeju National University yang memulai inisiatif paska demokratisasi 1987, terhadap implementasi mekanisme TJ di Jeju, sebuah Provinsi yang terletak di Pulau Jeju di Selatan Korsel. TJ movement di Jeju mendorong pengungkapan kebenaran, reparasi serta mengembalikan harkat dan martabat para korban Jeju events 4.3. Jeju events 4.3 merupakan peristiwa counter-insurgency oleh Pemerintah dan Tentara Amerika Serikat yang terjadi pada kurun waktu 1947-1953 dalam menghancurkan basis gerilya komunis di Pulau tersebut. Hal ini terjadi setelah 2 tahun terpisahnya Semenanjung Korea yang masing-masing di back-up oleh Amerika Serikat (Korea Selatan) dan Uni Sovyet (Korea Utara). Ironisnya, masyarakat umum juga terkena dampaknya.

Kemudian, inisiatif dari kalangan intelektual ini mendapatkan respon positif dari salah satu media massa lokal Jeju-ilbo. Alhasil, selama sembilan tahun sejak 1987, surat kabar ini telah mem-publish 456 liputan khusus terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa tersebut serta menginterview lebih dari 3.000 responden. Sudut pandang yang menarik dan jangkauan media yang terus meluas memantik kepercayaan diri korban yang dahulunya didiskriminasikan, untuk memberikan kesaksian. Berbagai upaya dari media massa, serta akademisi dan mahasiswa ini kemudian digelorakan oleh kalangan aktifis HAM yang terus meng-sekuritisasi-kan wacana TJ di Korsel secara umum dan Jeju khususnya. Alhasil, Jeju Commission dibentuk pada tahun 2000 untuk mengungkap kebenaran yang terjadi serta melahirkan rekomendasi bagi Pemerintah. Setelah lahirnya rekomendasi pertama pada tahun 2003, Presiden Korsel, Roh Moo-hyun meminta maaf atas nama Negara kepada para korban. Pada tahun 2012, komisi ini telah mengidentifikasi 15.093 korban, baik dibunuh, hilang, maupun terluka dan yang mendapatkan kurungan penjara.. Selain itu, berbagai program reparasi dan memorialisasi juga dilakukan untuk mengenang para korban. Dari kesuksesan Jeju Commission akhirnya melahirkan South Korea’s Truth and Reconciliation Commission di tahun 2005 yang bekerja secara permanen menginvestigasi berbagai bentuk pelanggaran HAM sejak 1910 hingga 1993 dalam skala nasional, serta melahirkan rekomendasi terhadap upaya rekonsiliasi.

Lesson learned

Pengalaman TJ movement di Argentina, Brazil dan Korea Selatan semestinya dapat menjadi bahan diskusi dalam advokasi mekanisme TJ di Aceh. Berbanding cerita-cerita di atas, terdapat perbedaan yang cukup tampak, baik pada landscape keadaan sosial-politik, orientasi TJ, serta pola advokasi TJ movement, dibandingkan dengan konteks Aceh. Sedikit diantaranya yaitu, kondisi konflik yang diselesaikan melalui Memorandum of Understanding antara dua belah pihak yang bertikai (Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka), sedikit sama halnya dengan Brazil dalam konteks dampak daripada amnesty. Artinya aktor konflik masih hadir dan memiliki legacy yang cukup kuat di ranah sosial-politik, baik pada level lokal maupun nasional. Kondisi ini lebih mempersulit implementasi mekanisme TJ, karena harus bergantung pada political will kedua belah pihak. Tak heran, TJ movement di Aceh acapkali apoh-apah dalam mengupayakan pemenuhan keadilan bagi korban konflik.

Kemudian, berbanding pada konteks sense of victimhood (hubungan keterikatan sesama korban), TJ movement di Aceh tidak sekuat yang berlaku di Argentina layaknya Las Madres yang terus menuntut kebenaran dan keadilan terhadap para pelaku sejak 1976 hingga 2016. Bahkan Las Madres sendiri menginspirasi kaum muda yang orang tuanya menjadi korban untuk membentuk Hijoz (1996) dan memiliki advokasi lebih mumpuni. Di Aceh, TJ movement diorganisir oleh sekumpulan LSM lintas basis dan professional yang pernah bersentuhan bahkan menjadi bagian dari korban konflik sendiri. Sedangkan mayoritas para korban tidak menjadi poros pergerakan dalam menuntut keadilan bagi mereka sendiri.

Serta berbanding dengan di Jeju, Korea Selatan, media massa di Aceh juga agaknya enggan mengangkat periode konflik sebagai wacana yang dapat dijual ke khalayak umum. Boleh jadi collective amnesia layaknya di Spanyol telah mengakar begitu hebat dalam kalangan penyedia maupun penikmat informasi di Aceh saat ini. Meskipun begitu, konteks TJ di Jeju merupakan salah satu role model mekanisme TJ di level lokal/provincial/state berbanding Bougainville (Papua New Guinea), Wagga-wagga (Australia), Greensboro (AS), dan juga Aceh. Walaupun tanpa pendekatan retributive justice.

Yang menjadi kesamaan dalam implementasi mekanisme TJ di antara Argentina, Brazil, Jeju (Korsel) dan Aceh, ialah keempatnya telah/sedang menjalankan program reparasi yang bersifat kompensasi dalam bentuk material. Di Aceh, hal ini dijalankan oleh Badan Rentegrasi Aceh (BRA). Konteks reparasi yang dilakukan bersifat menyeluruh menghabiskan dana sekitar 200 juta US Dollar dari 2005-2009. Ianya menggabungkan antara konsep DDR (Disarmament, Demobliziation & Reintegration) yang berbasis aktor (actor-oriented) serta TJ (Transitional justice) yang berbasis korban (victim-oriented). Terdapat permasalahan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan program ini terutama dalam konteks TJ, karena tidak adanya pengungkapan kebenaran terlebih dahulu seperti halnya dalam proses rekonsiliasi di Maroko, 2015 silam. Sehingga kewujudan kohesi sosial dalam rangka rekonsiliasi antara korban dan pelaku, belum dipertimbangkan pada saat itu. Apakah kemudian pekerjaan sosial tersebut akan didapuk oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, juga perlu disinergikan ke depan.

Kemudian lain halnya dengan konteks Argentina, Brazil dan Jeju (Korea Selatan), yang menjadi kelebihan bagi Aceh adalah mekanisme TJ dengan jelas diamanatkan dalam MoU Helsinki sebagai Gentlemen Agreement antara kedua belah pihak bertikai, . Sehingga TJ movement memiliki landasan yang jelas dalam mengupayakan hadir dan berjalannya mekanisme TJ di Aceh. Walaupun, realitanya mekanisme TJ sendiri merupakan poin terakhir yang dipertimbangkan dalam proses penyusunan agreement, serta berbagai batasan dalam pelaksanaan amanat tersebut ketika diturunkan dalam peraturan perundang-undangan. Setidaknya, para pihak yang yang dahulunya bertikai dapat menjadi ‘gentlemen’ bukan hanya saat kesepakatan saja, tapi juga pada pelaksanaannya.

Danil Akbar Taqwadin [Peneliti Aceh Institute & Akademisi FISIP UINAR, email: danylabay@gmail.com]

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.