MENYOAL TENAGA KERJA ASING DI PLTU NAGAN RAYA

0
488

Oleh : Musrafiyan

Penyederhanaan regulasi ketenagakerjaan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendatangkan investasi asing bagi pembiayaan pembangunan nasional. Masuknya investasi asing berdampak pada membludaknya Tenaga Kerja Asing (TKA) ke Indonesia. Karena itu perlu pengawasan yang ketat dari berbagai institusi terkait dengan senantiasa merujuk pada komitmen Indonesia sebagai anggota Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan anggota World Trade Organization (WTO) yang membuka ruang bagi masuknya TKA ke Indonesia (Nurhidayati, 2019).

Pengawasan ketat adalah niscaya mengingat banyaknya TKA yang masuk tetapi mereka tidak memenuhi cukup syarat untuk bekerja di Indonesia. Kajian ini membedah satu diskursus terkait perizinan TKA di PLTU Nagan Raya dan produk-produk regulasi terkait. PLTU Nagan Raya terletak di Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya, Aceh yang terbagi menjadi dua unit. Unit PLTU 1 & 2 yang selesai pada tahun 2013 dan 2014 didanai oleh The Export-Import Bank of China dengan besaran US$ 124 juta; dan unit PLTU 3 & 4 dengan kapasitas 2 x 200 MW yang dikelola oleh PT. Meulaboh Power Generation (MPG) yang dimiliki oleh China Datang Overseas Co. Ltd., sebagai pemilik saham terbesar yaitu 62%, diikuti oleh PT.

Pembangunan Perumahan Energi (34%), dan PT. Sumberdaya Sewatama (4%) (ICW, 2020).
Keberadaaan PLTU ini tertera dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025, adapun perjanjian jual beli atau Power Purchase Agreement (PPA) antara konsorsium PT. MPG dan PLN dilakukan pada bulan Mei 2017.

Kemenaker mencatat jumlah TKA di Indonesia hingga Mei 2021 mencapai angka 92.058 orang dengan rincian China (32.000 TKA), Jepang (13.897 TKA), selanjutnya disusul oleh Korea, India dan Malaysia (cnbcindonesia.com, 2021).
Membludaknya TKA ke Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: Faktor keterbukaan investasi di Indonesia. Dalam rangka percepatan pembangunan pemerintah Indonesia mempunyai program mendatangkan investor dalam satu paket dengan tenaga kerjanya. Faktor kebijakan bebas visa, yang berdampak pada peningkatan pelanggaran keimigrasian, dan Pemberlakuan MEA yang menyebabkan terbukanya sekat antar negara (Ahmad Jazuli, 2018).

Dasar hukum soal TKA diatur dalam Bab VIII Pasal 42 sampai 49 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PP No. 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing, Perpres No. 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing Serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping, Permenakertrans No. 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan PP No. 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang merupakan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 81 dan 185 huruf b UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta beberapa keputusan menteri lainnya.

Berdasarkan analisis diatas, penulis mencoba menganalisis relasi PLTU Nagan dan regulasi terkait TKA berikut dengan fakta setahun terakhir termasuk soal perizinan.
Penggunaan TKA di PLTU Nagan meskipun telah diatur dalam perundang-undangan namun di lapangan sering terjadi pelanggaran. Tim gabungan Disnakermobduk Aceh pernah melakukan inspeksi ke PLTU 3 & 4 Nagan pada tanggal 10 Juni 2020 dan menemukan adanya 29 TKA China yang didatangkan oleh PT. MPG dan PT. Tjianjin yang telah habis masa izin kerja (aceh.tribunnew.com).

Lalu pada tanggal 8 Agustus 2020, terdapat 37 dari 39 TKA China yang akan bekerja di proyek PLTU 3 & 4 masuk melalui Bandara Cut Nyak Dhien, yang hanya mengantongi visa kunjugan, tanpa izin kerja (KITAS). Kemudian pemerintah daerah melalui Disnakertrans Nagan Raya kembali mendatangkan 41 TKA China pada Jumat, 11 September 2020 dengan dalih kebutuhan PLTU (kumparan.com).
Pada 9 September 2020 ditemukan lagi kasus penempatan TKA China bernama Le Xuanying di PLTU 3 & 4 yang tidak melibatkan Disnakermobduk Aceh. PT. MPG ternyata telah berurusan langsung dengan pihak Kemenaker. Ternyata terdapat 100 TKA yang bekerja di PT. MPG mengantongi izin Kemenaker dengan justifikasi yang merujuk pada Perpres No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (acehtrend.com, 2020).

Pengurusan izin langsung ke Menaker bertentangan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh No. 7/2014 tentang Ketenagakerjaan. Qanun Aceh No. 7/2014 Pasal 21 ayat (1) menjelaskan bahwa “TKA dapat bekerja di Aceh setelah memperoleh izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, dan selanjutnya dalam ayat (2) dijabarkan “Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat diberikan setelah pemberi kerja membuat Rancangan Permohonan Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang disahkan oleh SKPA yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan”, kemudian dipertegas pada ayat (3) ayng berbunyi “izin sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), hanya dapat diberikan untuk jabatan tertentu setelah mendapat rekomendasi dari Pemerintah Aceh”. Sehingga dengan berlandaskan beberapa aturan di atas, maka setiap proses perizinan TKA seyogyanya direkomendasikan oleh Disnakermobduk Provinsi Aceh sebagai instansi yang berwenang.
Merujuk pada beberapa kasus diatas yang notabene persoalannya berangkat dari ketidaklengkapan dokumen perizinan, disamping masalah regulasi, penulis turut tertarik mengkajinya dari aspek sosiologis. Kasus perekrutan Li Xuanying untuk posisi Mechanical and Electrical Engineer sungguh mengejutkan karena posisi yang dibuka bukanlah posisi yang langka bagi tenaga lokal Aceh. Cukup banyak lulusan di Aceh yang kompeten dalam bidang tersebut. Artinya rekrutmen TKA China buka soal ketidakcukupan SDM di Aceh, melainkan mengarah pada strategi mendapatkan modal besar dari Investor.

Rekrutmen TKA di PLTU Nagan mestinya menggunakan tiga paradigma, pertama, sebagai penyokong pemerataan kompetensi tenaga kerja lokal di Barat Selatan Aceh, terutama Aceh Barat dan Nagan Raya. Kedua, rekrutmen TKA yang membawa potensi perluasan investasi di Aceh, dan ketiga, TKA yang membawa skill dalam rangka transfer of knowledge dan transfer of technology bagi sumber daya lokal.
Indikator sukses pemerintah dalam pembangunan SDM adalah dengan berdayanya tenaga kerja lokal. Penggunaan TKA adalah langkah kedua setelah pemanfaatan TKI. Artinya dalam proses pemanfaatan sumber daya lokal, perlu dilakukan beberapa langkah konkret, diantaranya peningkatan dan pengembangan kualitas, dan pemanfaatannya dalam berbagai peluang, aktivitas dan usaha.
Guna peningkatan kapasitas SDM lokal, penulis menawarkan pola sederhana, yakni Penyadaran- Pengkapasitasan–Pendayaan. Sejalan dengan itu, demi menjaga kelangsungan investasi, untuk menghindari terjadinya permasalahan hukum pada sektor perizinan, penulis menyarankan, pertama, Pemerintah Nagan Raya harus cermat dalam menentukan policy yang akan diambil guna menjaga keseimbangan antara TKA sebagai bahagian dari modal asing dengan tenaga kerja lokal, dan kedua, memperketat masuknya TKA dengan menerbitkan beleid (kebijakan) penggunaan TKA dengan tetap memberikan prioritas utama pada tenaga kerja dalam negeri, termasuk untuk menjunjung tinggi sumber daya lokalitas Nagan Raya.

Kedua hal tersebut perlu dilakukan mengingat kedatangan TKA dapat menjadi ancaman apabila tidak dikontrol dalam penggunaannya, berikut pula sebaliknya akan menjadi manfaat apabila pemerintah daerah benat-benar bisa mengambil peluang ini

**Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry**

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.