Penistaan Martabat Perempuan Aceh

0
983

Namanya Rumoh Geudong, sebuah rumah khas Aceh yang berada di Desa Bilie Aron, Pidie. Rumah ini terkenal karena pernah menjadi pos pasukan militer TNI saat pemberlakuan Aceh sebagai daerah Operasi Militer tahap pertama oleh Presiden Soeharto. Setelah pencabutan DOM  pada tanggal 17 Agustus 1998 barulah terungkap bahwasannya rumah tersebut bukan saja digunakan sebagai pos militer, tetapi juga sebagai base camp untuk melakukan penyekapan, penyiksaan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan terhadap rakyat Aceh.

Dalam kunjungan ke Rumah Geudong bulan lalu, saya bertemu dengan salah seorang korban penyiksaan di Rumoh Geudong. RK adalah seorang wanita yang masa itu berumur 35 tahun dan ialah wanita pertama korban konflik Rumoh Geudong.

Pada tanggal 25 Oktober 1990, tepatnya pada hari Kamis pukul 02.00 WIB, RK dijemput oleh pihak desa untuk dibawa ke Rumoh Geudong. Disana RK ditanyai mengenai identitas dirinya dan juga tentang keberadaan suaminya, bertepatan pada saat itu juga telah tergeletak seorang mayat dihadapan RK dengan kondisi tertutup daun kelapa dan daun pisang. Setelah ditanyai beberapa pertanyaan tentang keberadaan suaminya, RK pun mulai teriris hati kala melihat mayat yang berada dihadapannya, dia mulai curiga bahwa mayat tersebut adalah mayat suaminya, terlihat sedikit dari bagian ujung kaki mayat yang membuat RK semakin mengenali dan semakin yakin bahwa mayat itu adalah mayat suaminya yang ditembak siang tadi.

Pada saat RK dibawa ke Rumoh Geudong, RK sedang mengandung 8 bulan, dan dia hanya tinggal bersama kedua anak laki laki yang masa itu berumur 5 tahun dan satunya lagi masih berumur 2 tahun, saat RK berada di Rumoh Geudong, kedua anaknya itu dibawa kerumah keluarga suaminya.

Setelah dibawa ke Rumoh Geudong pada hari Kamis itu, RK mulai disiksa, seluruh pakaiannya dilepas, dan sekujur tubuh yang telanjang itu disirami bensin dari ujung rambut hingga ujung kaki, mulut dan bagian rahim RK pun dimasukkan sebuah pistol, sehingga pada saat kejadian itu, RK mulai kehilangan harapan untuk tetap hidup. “Biarlah saya meninggal saja seperti suami saya” kata RK dalam hati. Namun RK tidak dibunuh melainkan terus disiksa sampai datangnya pihak desa untuk mengambil mayat suaminya, disitulah RK baru mengetahui kebenaran bahwa mayat yang berada dihadapan RK  tadi adalah mayat suaminya, bahkan setelah mengetahui itu RK tidak dizinkan untuk ikut serta mengantar jasad suaminya.

Hingga dalam jangka beberapa hari setelah kejadian itu, RK pun dipulangkan kembali kerumah, dan setelah sebulan kemudian RK melahirkan anak ketiganya, dari kejadian tersebut RK berharap kepada pemerintah untuk lebih memerhatikan korban konflik Rumoh Geudong, dan beliau berharap peristiwa kekerasan disaat itu tidak lagi terulang, dengan itu pemerintah Aceh harus lebih memerhatikan kondisi korban di Aceh, dan bersama sama merawat serta mendorong pemenuhan atas hak hak korban pelanggaran HAM di Aceh.

Putri Humaira [Mahasiswa Fakultas Psikologi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh]

 

 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.