Aceh Provinsi Termiskin?

0
350

Oleh : Chairul Iqbal Aziz

Belasan papan bunga terpajang di depan kantor gubernur Aceh pada Rabu (17/2/21) sebagai bentuk ucapan “selamat“ kepada provinsi Aceh setelah Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh merilis jumah penduduk miskin di provinsi serambi mekkah bertambah 19 ribu jiwa pada September 2020 lalu. Secara presentase, angka kemiskinan di provinsi Aceh adalah yang tertinggi di Pulau Sumatera dengan 15,43 %, disusul Bengkulu dengan 15,30% dan Sumatera Selatan pada 12,98%.

Data BPS mencatat pesentase kemiskinan di Aceh sudah menjadi yang paling tinggi di Pulau Sumatera sejak tahun 2002. Pada saat itu presentase penduduk miskin di Aceh adalah 29,83% dan sudah merupakan yang paling tinggi diatara provinsi lain di tanah sumetra, di ikuti sumatera selatan pada 22,32%, Bengkulu 22,7%, dan yang paling sedikit angka kemiskinan adalah Bangka Belitung dengan 11, 62%.

Dari tahun ke tahun memang angka kemiskinan di Aceh menunjukkan penurunan sediki demi sedikit, namun perbedaan dari setiap tahun belum signifikan sehingga hal tersebut belum menggeser Aceh sebagai provinsi dengan presentase kemiskinan tertinggi di Pulau Sumatera. Sebelumnya, angka kemiskinan di Aceh sudah turun sampai 14,99% pada Maret 2020 sebelum akhirnya naik lagi meningkat lagi menjadi 15,43% pada September 2020.

Fakta dibalik Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera

Ada beberapa fakta menarik yang perlu di perhatikan saat menyikapi hasil survey data kemiskinan BPS tersebut. Yang pertama, Aceh masuk kedalam 5 provinsi di tanah Sumatera yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit di bandingkan provinsi lainnya. Berdasarkan hasil sensus penduduk BPS, Jumlah penduduk Provinsi Aceh berurutan pada tahun 2018, 2019, dan 2020 sebanyak 5,243 juta jiwa, 5,316 juta jiwa, dan 5,388 juta jiwa. Hal ini jauh berbeda jika di bandingkan dengan provisi lain seperti misalnya Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah penduduk 14,476 juta jiwa, 14,639 juta jiwa, 14,798 juta jiwa pada tiga tahun yang sama. Daerah dengan jumlah penduduk lebih sedikit cenderung memiliki kegiatan ekonomi yang lebih rendah. Sebaliknya, kegiatan ekonomi terjadi lebih banyak di daerah-daerah dengan jumlah penduduk lebih banyak. Perlu lagi di perhatikan jumlah penduduk usia produktifnya yang mana merupakan kelompok utama penggerak ekonomi daerah tersebut. Lain hal nya dengan Kepulauan Bangka Belitung. Bangka Belitung meiliki jumlah penduduk paling sedikit di Pulau Sumatera dengan 1,469 juta jiwa pada tahun 2020, namun juga memiliki jumlah presentase kemiskinan paling rendah yaitu 11,62%. Hal ini di sebabkan karena Bangka Belitung merupakan provinsi baru yang sebelumnya tergabung dalam Provinsi Sumatera Selatan. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diunggulkan dengan statusnya sebagai provinsi muda yang mana pemerintahannya memiliki target ekonomi yang jelas yang ingin dicapai.

Kedua, kemiskinan di Provinsi Aceh meningkat tajam dari awal tahun 2000-an mengingat saat itu Aceh berada dalam puncak konflik dengan Pemerintah Indonesia dan di ikuti dengan bencana gempa dan tsunami di akhir tahun 2004. Hal tersebut membuat Provinsi Aceh harus bekerja lebih kuat dari provinsi-provinsi lainnya untuk menggulirkar roda perekonomiannya yang memang tidak pernah bergejolak seperti di tanah Aceh. Ini juga merupakan salah satu faktor dimana provinsi Aceh tidak bisa di bandingkan begitu saja dengan provinsi-provinsi lainnya.

Selanjutnya, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota di Aceh memiliki sumber pendapatan daerah salah satunya bersumber dari Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus). Aceh sudah mendapatkan penyaluaran Dana Otsus dari pemerintah pusat sejak tahun 2008 sesuai dengan amanat undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Total Dana Otonomi Khusus Aceh sejak tahun 2008 sampai tahun 2019 sebesar Rp73,326 triliun atau 51,58% terhadap total Anggaran APBA sebesar Rp142,157 triliun. Aceh memiliki 7 bidang prioritas untuk pengalokasian Dana Otsus Aceh. Dari ketujuh bidang tersebut, Pengentasan Kemiskinan bukan lah menjadi prioritas utama Dana Otsus dengan berada pada posisi kedua paling sedikit porsi pengalokasian dana. Bidang infastruktur memperoleh porsi yang paling besar dengan rata-rata tahun 2014-2018 sebesar Rp.3,39 triliun atau 45,34%. Sedangkan Pengentasan Kemiskinan sebesar Rp.278,64 miliar atau 3,53%. Secara tidak langsung pengalokasian dana ini menjelaskan bahwa pengentasan keminkinan belum menjadi prioritas utama Pemerintah Aceh.

Bahan Pertimbangan

Ada beberapa langkah yang baiknya dipertimbangkan Pemerintah Aceh dalam memberantas kemiskinan di Provinsi Aceh. Yang pertama, Pemerintah Aceh harus bisa menambah kemandirian pasar di Aceh. Aceh tidak boleh lagi bergantung kepada pasar dari provinsi lain seperti contohnya Medan. Pemerintah harus bisa mendukung pengusaha-pengusaha baru di Aceh guna meningkatkan produksi di dalam Aceh. Sejauh ini, masih banyak sekali komoditas, barang, dan jasa di Aceh yang bergantung pada Provinsi Sumatera Utara.

Selanjutnya, Pemerintah Aceh baiknya tidak lagi terlalu bergantung pada bantuan pusat melalui Dana Otsus Aceh di masa yang akan datang. Melalui Dana Otsus yang sudah ada, baiknya di alokasikan kepada kebijakan yang bersifat memutar ekonomi dan menambah skill masyarakat Aceh. Strategi memprioritaskan infrastuktur yang lebih effektif dalam menggerakkan perekonomian sangatlah berdampak pada keadaan ekonomi suatu daerah. Pasalnya, keputusan untuk membangun jalan, kantor, jembatan dan lain sebagainya yang tidak tepat sasaran dapat menghabiskan anggaran dan kurang memberi nilai tambah untuk masyarakat dalam menggerakkan ekonomi. Pengadaan hibah barang yang dapat menunjang produksi juga dapat membantu mendongkrak perekonomian.

Hal yang serupa juga berlaku bagi bantuan Dana Desa. Program yang berasal dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan telah dilaksanakan sejak tahun 2015. Berawal dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014, merupakan salah satu bentuk pendekatan pembangunan berbasis masyarakat di pedesaan. Ini diharapkan menjadi sumber utama pembangunan desa dan mengurangi angka pengangguran. Anggaran Dana Desa sendiri cukup besar yakni berkisar Rp.70 triliun di tahun 2019 dan naik menjadi Rp. 72 triliun di tahun 2020. Aceh telah mendapat aliran uang tambahan ini dari pemerintah pusat yang setiap tahun terus meningkat jumlahnya. Pemerintah Aceh dapat mengeluarkan Qanun yang menyerukan agar Dana Desa digunakan untuk meningkatkan keterampilan warga dan infestasi pada usaha-usaha umkm serta menghindari pembangunan yang kurang berdampak pada ekonomi. Contohnya sepeti pelatihan keterampilan berwirausaha. Pelatihan harus terdiri dari pengetahuan umum dan rinci dalam pengembangan ide bisnis, pelaksanaan bisnis, keuangan, pemeliharaan dan perluasan bisnis, tata kelola perusahaan yang baik, pemasaran, dan yang terpenting, inovasi dan kreativitas. Ini akan menyelesaikan masalah dari sifat masalah saat ini, yaitu rendahnya profitabilitas penggunaan dana. Solusi ini juga dapat meningkatkan jumlah umkm di Aceh yang dimana dapat berdampak pada berkurangnya pengangguran dan meningkatkan pergerakan ekonomi.

Pada akhirnya, semuanya kembali lagi kepada pemerintah yang mengambil kebijakan. Sebagai pemegang mandat dari masyarakat, pemerintah harus lebih giat lagi dalam mengkaji dan mencari solusi untuk memberantas kemiskinan yang sudah berkelanjutan. Waalahu´alam.

**Penulis adalah junior research fellow The Aceh Institute, Alumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh juga mahasiswa Master di Willy Brandt School of Public Policy, Erfurt Universität, Germany*.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.