Simalakama Asap Rokok: Membantu Ekonomi, Merusak Kesehatan

0
398

Oleh : Chairul Iqbal Aziz

Kebijakan kawasan tanpa rokok masih menjadi salah satu kampanye yang sering digaungkan berbagai elemen masyarakat mulai dari LSM, komunitas pecinta lingkungan, sampai kepada pemerintah sendiri. Lantas, apa sebenarnya pengertian kawasan tanpa rokok itu dan apa tujuan yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut.

Sesuai dengan frasanya, Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTR) adalah sebuah kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, antara lain mengatur tentang kawasan tanpa rokok. KTR merupakan peraturan yang melarang semua aktivitas yang berkaitan dengan rokok di berbagai area yang telah ditentukan, seperti fasilitas pelayanan kesehatan, tempat belajar mengajar, tempat bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, dan tempat kerja.

Aktivitas yang dimaksud tidak hanya terbatas pada kegiatan merokok saja, namun juga kegiatan lain seperti produksi dan distribusi rokok, baik kegiatan jual-beli rokok maupun mengiklankan/ mempromosikan produk rokok. Kemudian, tujuan dari penerapan KTR adalah untuk melindungi dan menjaga kesehatan masyarakat dari ancaman bahaya asap rokok.

Dari 514 kabupaten/ kota di Indonesia, sudah lebih dari 300 daerah yang mempunyai peraturan khusus mengenai KTR. Salah satunya kota Banda Aceh. Peraturan KTR di Kota Banda Aceh tertuang dalam Qanun Kota Banda Aceh No.5 tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Asap Rokok. Qanun tersebut telah spesifik mengatur sanksi pidana kurungan dan/ atau denda bagi masyarakat yang melanggar KTR. Sanski yang diberikan diharapkan dapat memberi efek jera kepada perokok aktif juga menumbuhkan rasa kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadapa sesama.

Peraturan semacam ini sangatlah penting dan perlu diikuti oleh daerah-daerah lain untuk saling bekerjasama mengurangi ancamanbahaya asap rokok di tengah masyarakat. Asap rokok tidak hanya berbahaya bagi perokok sendiri tetapi juga bagi orang di sekitar perokok. Pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia tahun 2020, Organisasi Kesehatan Dunia(WHO) menyatakan bahwa sekitar 225.700 orang di Indonesia meninggal dunia setiap tahunnya karena merokok atau karena penyakit lainnya yang berhubungan dengan tembakau. Bagi perokok aktif, kandungan kimia dalam rokok dapat menimbulkan berbagai macam penyakit berbahaya, diantaranya gaguan paru-paru, kanker mulut, kanker kulit, gangguan tingkat kesuburan, dan berbagai macam penyakit kronis lainnya. Bagi perokok pasif, seringnya terpapar asap rokok juga membuat tubuh menyerap nikotin dan zat berbahaya lainnya. Asap rokok ini diketahui mengandung lebih dari 4000 senyawa kimia, dan 250 jenis diantaranya dikenal sangat beracun.. Dikarenakan anak-anak masih dalam usia pertumbuhan, hal ini menjadi lebih berbahaya bagi anak-anak yang sering terpapar asap rokok. Ditambah lagi dengan rata-rata anak usia muda bernafas lebih cepat dibandingkan orang dewasa, jumlah perpindahan asap rokok ke anak-anak menjadi lebih banyak dan lebih cepat. Hal ini menyebabkan resiko penyakit lebih besar  terhadap anak-anak, diantaranya sindrom kematian bayi mendadak, infeksi telinga, infeksi pernapasan, batuk kronis, dan lain sebagainya.

Namun, di tengah semua fakta bahaya bagi kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok, rokok seolah menjadi Boh Simalakama di mana cukai rokok merupakan salah satu pemasukan besar negara. Cukai rokok, atau dengan nama formalnya Cukai Hasil Tembakau (CHT), memiliki peran yang penting dalam meningkatkan pendapatan negara.

Ada 3 jenis barang yang terkena cukai di Indonesia, yaitu ethil alkohol atau etanol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Ironinya, hasil tembakau menyumbang kurang lebih 90% pendapatan dari ketiga jenis barang yang terkena cukai. Pada tahun 2018 misalnya, pendapatan negara dari sektor cukai rokok mencapai Rp. 153,3 triliun, yang mana Rp.4,3 triliun lebih besar dari target awal sebanyak Rp.149 triliun (IDN Times, 2019).

Kontribusi cukai rokok terhadap pendapatan negara terus menigkat setiap tahunnya. Pendapatan cukai rokok pernah membantu negara dalam menambal defisit BPJS kesehatan yang saat itu sedang mengalami defisit anggaran yang mencapai Rp. 16,5 triliun. Pemerintah akhirnya memutuskan untuk memberi suntikan dana dari hasil pendapatan cukai rokok dan menambal defisit BPJS hingga Rp. 5 triliun.

Terlepas dari itu semua, pemerintah harus lebih bijak dalam menyikapi bahaya terhadap kesehatan yang disebabkan oleh rokok. Tak dapat dipungkiri, tembakau memang menjadi salah satu sumber terbesar pendapatan negara. Namun, seperti kata peribahasa “sehat pangkal kaya“,  pemerintah harus lebih  bijak dan memprioritaskan kesehatan warga negara dengan lebih serius menerapkan aturan-aturan yang menjaga masyarakat dari bahaya asap rokok seperti contohnya kebijakan KTR.

Wallahua’lam…

**Penulis adalah junior research fellow The Aceh Institute, Alumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh juga mahasiswa Master di Willy Brandt School of Public Policy, Erfurt Universität, Germany*.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.