Kata pelacur sering berkonotasi negatif seperti kemalangan, sial, dan perilaku buruk lainnya yang cenderung dijauhi oleh masyarakat. Dalam Islam istilah pelacur juga berafiliasi kepada perbuatan zina. Namun dalam tulisan ini, istilah pelacur saya lekatkan dengan kata politik yang saya beri makna dengan kegiatan yang melanggar aturan-aturan politik.
Perkins dan Bannet (dalam Koentjoro, 2004) mendefinisikan bahwa pelacuran sebagai transaksi yang disepakati oleh pihak yang terlibat dalam bentuk kontrak jangka pendek yang memungkinkan seseorang bisa mendapatkan kepuasan dengan metode yang beraneka ragam. Sedangkan politik didefenisikan oleh Harold Lasswell sebagai seni, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana (Budiharjo, 2008).
Dari dua penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa pelacur politik adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara untuk tujuan memuaskan syahwat kekuasaannya. Dalam konteks ini, pada masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh beberapa saat lalu kita menemukan beberapa peristiwa politik yang aneh-aneh seperti sikap partisan aparat desa, pemanggilan seluruh elemen birokrat desa ke pondopo pasca selesai masa cuti petahana (klikkabar.com 13/2/17), hingga kasus money politik, seperti yang dilakukan oleh salah satu paslon di Bireuen (mediaaceh.com 1/3/17).
Eksperimentasi pragmatisme politik tersebut sangat merugikan orang lain. Adalah fakta masyarakat sangat antusias untuk berpartisipasi dalam menentukan calon kepala daerah. Akan tetapi antusiasme tersebut telah bercampur dengan adanya intimidasi, pembodohan politik, dan doktrin-doktrin yang menyesatkan sehingga rakyat tidak lagi merdeka dalam menentukan sikap, dan tidak bisa memilih sesuai dengan pemahamannya terhadap visi-misi calon. Politik hanya menjadi alat untuk mencapai kekuasaan. Mereka mirip seperti anak-anak yang sedang bermain dan berebut mainan, tanpa simpati pada kesejahteraan hidup masyarakat di sekitarnya.
Menjelang pilkada lalu penulis melihat banyak sekali para pelacur politik. Mereka ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi hanya untuk kepentingan pribadi dan rela melacurkan idealismenya kepada aktor-aktor perusak demokrasi. Sosok berpendidikan tinggi juga bisa terjerumus ke dalam pelacuran politik. Mereka tidak segan menyebarkan fitnah-fitnah keji terhadap lawan politik demi membenarkan perbuatan yang mereka lakukan. Untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah, para pelacur politik ini tidak malu mendatangi seseorang atau kelompok-kelompok orang untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan tertentu.
Kasus perombakan kabinet (SKPA) yang terakhir kali oleh Gubernur Aceh juga bisa dilihat dalam frame kerakusan politik yang tidak mengindahkan nasip masyarakat awam. Seperti kata Nikita Kruschef (1894) bahwa politisi itu semuanya sama mereka berjanji membangun jembatan di sebuah daerah meskipun tidak ada sungai di daerah tersebut. Para pelacur politik ini mempunyai ide-ide yang sangat bagus untuk pembangunan masyarakat yang lebih baik, tapi ide-ide brillian itu dibuat hanya untuk mengambil hati msyarakat pada umumnya. Lebih jauh, mereka pintar membuat rencana tapi gagal dalam merealisasikannya. Sungguh penulis tidak bisa membayangkan jika suatu daerah dipimpin oleh orang-orang yang rela melacurkan harga diri, martabat dan idealismenya hanya untuk sebuah kekuasaan dan jabatan yang akan diperolehnya.
Jangan pernah memberi kesempatan ataupun ruang gerak sekecil apapun kepada para pelacur politik. Temukanlah pemimpin yang mempunyai harga diri dan yang mempunyai idealisme karena dengan dua bekal itulah seorang pemimipin dapat menjalankan pemerintahan sesuai dengan aturannya.
Munawir Marzuki AR [Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry, Banda Aceh]