Rumoh Geudong; Antara Dilema dan Nyawa

0
144

Dimulai pada tahun 1989 hingga 2005, Aceh mencatat adanya dua kali masa pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM). Pada masa DOM, konflik berlangsung sengit antara Tentara Negara Indonesia (TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Beberapa saat yang lalu, di tengah-tengah acara doa bersama mengenang kekerasan yang terjadi di Rumoh Geudong (Sigli, 23 Maret 2017) saya berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan salah seorang penyintas dari tragedi tersebut. Ia seorang wanita paruh baya warga dari kampung Ulee Glee, sebutlah bernama FM. Ia adalah sosok yang merasakan akibat dari konflik yang berkepanjangan karena konflik yang berlarut-larut oleh kedua belah pihak tersebut.

Ketika ditanya apa yang ia rasakan, FM mengatakan ia kehilangan kata untuk mengungkapkan kejadian tersebut peristiwa yang menimpanya sangat menyedihkan.

“Saya harus kehilangan suami saya. Dan saat itu kami memiliki seorang anak yang masih kecil berumur 8 bulan.”

Malam itu di tahun 1991, FM gelisah dalam tidurnya karena anaknya yang rewel tiada hentinya dan tiada sebab khusus, sementara suami tak kunjung kembali padahal malam sudah melangkah pagi. Keesokan harinya FM mencoba mencari tahu keberadaan suaminya, namun kabar yang diterimanya suaminya tak bernyawa oleh ledakan peluru TNI dan mayatnya juga sudah dibuang entah kemana.

“Saya sedih sekali, saya orang miskin, dan saya memiliki seorang anak yang harus saya besarkan, suami saya meninggal, tidak ada lagi yang akan menafkahi saya, Setelah kejadian itu saya pulang ke rumah orang tua”, ungkapnya.

Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2002, FM menikah lagi dengan laki-laki sekampung dengannya. Rasa sedih sedikit terobati, namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena 3 tahun berikutnya suaminya kembali meregang nyawa dihunus timah cair milik TNI. Kali ini lebih menyedihkan, suaminya pergi bersama anaknya.

“Suami kedua saya pun ditembak mati oleh TNI paleh itu”. ungkapnya dengan nada marah.

Pada masa-masa konflik, kedua kelompok bertikai –TNI dan GAM— sering beristirahat di rumah-rumah warga, termasuk di rumah FM. Dalam singgah itu, mereka meminta makanan dari warga yang cenderung tak kuasa menolak, kecuali menjamu dengan segala keterbatasan makanan yang ada. Seringkali FM membatin, kenapa ia harus menyiapkan makanan untuk pembunuh suaminya.

“Saya masakkan makanan untuk TNI dan GAM. Bila TNI yang minta, punya pemberian GAM saya kasih. Kalau GAM yang meminta punya TNI yang saya kasih. Begitulah perjuangan saya dan anak saya untuk bisa bertahan hidup dengan aman dimasa konflik itu.

FM juga menceritakan bahwa ia tidak pernah tahu dimana makam kedua suaminya. Pada suatu saat anaknya sempat bertanya sambil menangis dimana ayahnya dimakamkan, FM mencoba meredakan tangis anaknya dan berkata “Doakan saja, Nak. Dimanapun makam ayah berada pasti doa kita akan sampai kepadanya asalkan kita berdoa dengan ikhlas.”

FM berharap pemerintah benar-benar mempedulikan korban konflik yang ada di Aceh dengan cara memberikan tunjangan hidup atau lapangan pekerjaan (ZyAd)

Rauzatul Jannah [Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh]

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.