Selasa, 2/5/2017. Aceh Institute (AI) kembali menggelar focus group discussion (FGD) untuk kedua kalinya terkait dengan evaluasi Pilkada 2017 di Aceh. FGD ini merupakan bagian dari rangkaian Multi Stakeholders Meeting (MSM) yang dilaksanakan AI selama bulan April-May tahun ini. Adapun tema yang diangkat pada FGD kali ini yaitu “Pemilihan dan Perhitungan Suara, Tabulasi Hasil dan Pendidikan Pemilih”. FGD ini berlangsung di hotel Hermes Palace Banda Aceh dengan mengundang 2 narasumber yaitu Nurma Manalu dari Prodeelat dan Saifuddin Bantasyam dari Fakultas Hukum Unsyiah. Acara ini diikuti oleh 20 peserta dari berbagai LSM dan institusi di Aceh.
Acara ini dibuka oleh Musyu selaku Research Manager AI dan dilanjutkan dengan presentasi singkat oleh narasumber pertama, Nurma Manalu. Dalam paparannya, Nurma menjabarkan evaluasinya terhadap Pilkada Aceh 2017. Menurutnya, Pilkada tahun ini sangat minim pemantauan dari LSM dalam maupun luar negeri. Padahal masih terdapat suasana mencekam yang dirasakan ketika Pilkada berlangsung ataupun ketika klaim kemenangan dilakukan oleh pasangan calon (paslon). Secara lebih lanjut, Nurma juga mengatakan bahwa Aceh menjadi model Pilkada yang nantinya akan ditiru oleh daerah lain. Hal ini patut kita tanyakan pada kita sendiri, bagaimana model Pilkada yang ingin kita ciptakan. Hal lain yang dikritisi olehnya adalah tentang pendidikan politik yang dirasa masih kurang. Selama ini kita hanya menekankan kepada pendidikan pemilih saja. Masyarakat diajarkan bagaimana menjadi pemilih yang baik namun tidak diajarkan untuk menjadi pemilih yang mengerti politik dengan cerdas. Hal ini menurutnya perlu diubah. Menciptakan masyarakat yang cerdas bukan hanya memberikan pengetahuan tentang mekanisme memilih saja, namun juga menciptakan lingkungan dan situasi yang nyaman secara komprehensif sehingga masyarakat mampu memilih secara cerdas dan independen.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan presentasi singkat dari narasumber kedua yaitu Saifuddin Bantasyam yang merupakan pakar hukum dari Unsyiah. Beliau mengemukakan beberapa poin penting terkait regulasi Pilkada terkait debat kandidat yang menjadi catatan untuk diperbaiki. Menurut UU, debat merupakan bagian dari kegiatan kampanye dan dilaksanakan maksimal 3 kali serta disiarkan melalui lembaga penyiaran publik. Regulasi debat tidak mengatur jika hanya ada dua paslon namun secara tiba-tiba satu paslon tidak hadir. Hal ini pernah menjadi masalah di Pidie. Regulasi lain yang dikritisi oleh Saifuddin adalah menyangkut atribut kampanye yang dilarang di debat. Contoh kasus yang pernah terjadi adalah kasus Kupiah Merah oleh salah satu paslon. Padahal jika melihat dari debat Pilkada Jakarta, kesemuanya pasangan calon menggunakan pakaian yang mencirikan identitas mereka dan itu tidak menjadi masalah. Regulasi tentang rapat teknis juga dinilainya masih lemah. Rapat teknis sebelum debat berlangsung harusnya dihadiri oleh paslon bukan timses seperti yang terjadi di Pilkada yang lalu. Saifuddin juga menjelaskan kasus lain yang pernah terjadi di Abdya terkait debat yang diikuti oleh 10 paslon. Jika disiarkan langsung melalui media televisi tentu akan melebihi 2 jam, dan saat itu disiarkan melalui radio yang menghabiskan waktu hingga 6,5 jam. Akibatnya, kualitas debat menurun. Kedepannya pada Pilkada 2022, Saifuddin menyarankan agar teknis debat diperbaiki. Setiap debat kandidat, berikan batasan 1,5 hingga 2 jam dan hanya mengangkat 3 isu maksimal. Sehingga jika ada 3 kali debat yang diselenggarakan, maka ada 9 isu yang diangkat.
Moderator diskusi, Muazzinah Yacob, kemudian memberikan ruang diskusi untuk para peserta menanggapi pemaparan dari kedua narasumber. Rini dari JPPR menanggapi paparan narasumber yang pertama terkait pengawasan dari LSM. Menurutnya, sudah dilakukan asesmen sebelum Pilkada untuk situasi daerah Aceh. Hasilnya masyarakat tidak mau mengalami intervensi seperti pilkada sebelumnya. Sedangkan di daerah terpencil, lokasi susah diakses dan masyarakatnya sangat irasional terhadap paslon tertentu sehingga hasilnya akan sia-sia. Akhirnya, JPPR hanya melakukan pemantauan partisipatif yang bekerjasama dengan Bawaslih. Jafar, praktisi hukum, mengomentari tentang daftar pemilih yang menurutnya masih bermasalah. Daftar jumlah penduduk Aceh masih bermasalah sehingga berakibat pada daftar jumlah pemilih yang kemudian ikut bermasalah. Data hitungan di pusat jumlah penduduk Aceh tidak sampai 5 juta namun data pemerintah Aceh, jumlah penduduk melebihi 5 juta. Masih tentang DPT, Jafar mengemukakan bahwa Pilkada kali ini memiliki banyak kemudahan, masyarakat yang tidak memiliki undangan memilih boleh memilih dengan KTP elektronik, Suket, atau Kartu Keluarga. Akan tetapi, kemudahan ini menjadi masalah di Gayo Lues sehingga merugikan salah satu paslon. Menurutnya, ada aturan yang tidak sejalan mengenai penggunaan hak pilih.
Zulfahendra dari Perwakilan Kelompok Difabel mengatakan bahwa dari sudut pandang pemilih disabilitas, pilkada kali ini sudah lebih baik terutama di Banda Aceh. Namun, menurut teman-teman disabilitas lain di daerah, Pilkada kali ini belum mengakomodir kebutuhan mereka. Peserta lain yang berasal dari perwakilan media massa, Risman, juga turut mengomentari regulasi pilkada. Ia mengatakan bahwa Pemilu tidak boleh dinilai baik atau tidak baik menurut kacamata kita, karena baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain. Terutama bagi pemenang Pilkada mungkin Pilkada kali ini sudah berlangsung dengan baik namun menurut yang kalah pasti tidak baik. Oleh karena itu ia menyarankan agar indikator yang digunakan harus menurut regulasi, apakah sudah sesuai dengan regulasi yang ditetapkan. JIka sudah, maka baiklah Pilkada Aceh 2017. Peserta lain, Kemal dari akademisi mengungkapkan evaluasinya terhadap Pilkada 2017. Ia mengatakan bahwa secara keseluruhan pemerintah Aceh cukup siap untuk pada Pilkada tahun ini. Pendekatan keamanan yang intensif dan masif yang dilakukan pemerintah tidak memberi ruang untuk pihak manapun untuk mengintervensi hasil pemilihan. Secara lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa Pilkada kali ini lebih baik dalam hal pengawasan hasil pemilihan.