BANDA ACEH – 12 Mei 2017. Statemen tersebut merupakan inti dari evaluasi pilkada yang disampaikan oleh Mawardi Ismail, SH., M.Hum (Akademisi Unsyiah). Mawardi adalah narasumber Focus Group Discussion (FGD) untuk keempat kalinya terkait Evaluasi Pilkada 2017 yang diselenggarakan oleh The Aceh Institute (AI). FGD ini merupakan bagian dari rangkaian Multi Stakeholders Meeting (MSM) yang dilaksanakan AI selama bulan April-Mei 2017. FGD kali diarahkan pada “Perumusan dan Penyusunan Rekomendasi Bersama” dari peserta yang mewakili unsur LSM, akademisi, ulama, tokoh adat, dan institusi di Aceh. FGD ini berlangsung di Hermes Palace, Banda Aceh yang menghadirkan narasumber lainnya yaitu Raihal Fajri (Kata Hati Institute).
Acara ini dibuka oleh Rizkika Lhena Darwin (Survey Manager AI) dan dilanjutkan dengan presentasi oleh Raihal Fajri. Raihal mengkritisi kinerja Panwaslih khususnya tentang kompetensi. Hal lainnya adalah tentang kian cerdasnya pemilih walau banyak warga kehilangan hak pilihnya, karena itu perlu adanya inovasi untuk mengakomodir kebutuhan kelompok marginal dan disable tersebut. Contoh, KIP telah menyediakan surat suara dengan huruf Braille namun karena kurang sosialisasi, kertas suara ini maksimal terpakai.
Sementara itu, Mawardi Ismail mengkritisi terlambatnya pengesahan Qanun yang menjadi dasar penyelenggaran di Aceh. Padahal menurutnya semua peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pilkada sudah dibuat namun tingkat pemahaman para stakeholders Pilkada-berbeda-beda seringkali menimbulkan permasalahan. Kedua, qanun Aceh tentang Pilkada harus benar-benar disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku. Yang terakhir, harus ada ketentuan khusus dalam peraturan perundang-undangan nasional tentang pilkada yang menjamin berlakunya ketentuan tentang pilkada dalam UU no. 11 tahun 2006.
Secara khusus, Mawardi juga memberi catatan terkait dengan keberadaan lembaga pengawas yang idealnya hanya ada pada satu tangan dan bersifat permanen, tidak seperti sekarang dimana ada Bawaslu dan Panwaslih. Proses rektrutmen yang berada pada satu tangan yakni DPRA juga harus diubah.
Yarmen Dinamika (Serambi Indonesia) mengomentari tentang hak suara unsur narapidana di Banda Aceh. LP Banda Aceh dan Aceh Besar yang banyak tidak terserap. Salah satu peserta lain, Adi Warsidi (AJI Aceh) mengungkapkan bahwa indeks kebebasan pers di Aceh cukup tinggi yang berkorelasi dengan indek kebebasan demokrasi. Seringkali media massa dianggap musuh jika tidak memberitakan salah satu paslon tertentu. Sehingga ada wartawan yang diminta untuk melakukan kampanye buruk di media. Oleh karena itu, menurutnya, tanggung jawab tidak hanya terletak pada penyelenggara namun juga kewajiban partai politik untuk memberikan pendidikan politik ke semua lapisan masyarakat.
Marini dari JPPR menambahkan bahwa meskipun dana yang digelontorkan sudah sangat banyak namun permasalahan terkait data pemilih terus terjadi. Ia mengungkapkan perlunya perbaikan yang menyeluruh terkait sistem administrasi kependudukan.
Norma dari Prodeelat, mengomentari tentang partisipasi perempuan baik penyelenggara maupun pemilih. Perempuan masih dianggap sebagai objek, misalnya setiap diseleggarakan program pendidikan politik untuk perempuan maka pesertanya adalah orang yang setiap tahun. Selain itu, Norma juga mencatat tidak adanya mekanisme yang mengatur tentang perlindungan terhadap pelapor kecurangan Pilkada, seperti kasus di Kuala Simpang. Acara yang dipandui oleh Ismar Ramadhani berlangsung dengan lancar dan antusias, di tutup dengan makan siang dan silaturahmi.