Rekomendasi Stakeholders Terhadap Pilkada Aceh 2017

0
123

Jumat, 10/5/2017. Aceh Institute (AI) kembali menggelar focus group discussion (FGD) untuk kelima kalinya terkait evaluasi Pilkada 2017 di Aceh. FGD ini merupakan bagian dari rangkaian Multi Stakeholders Meeting (MSM) yang dilaksanakan AI selama bulan April-May dalam tahun ini. FGD yang dilaksanakan untuk terakhir kalinya ini mengangkat tema “Development of Joint Recommendation” yang berfokus pada perumusan rekomendasi-rekomendasi terkait pelaksanaan Pilkada Aceh dari berbagai peserta yang berasal dari berbagai LSM dan institusi di Aceh. FGD ini berlangsung di hotel Hermes Palace Banda Aceh dengan mengundang 2 narasumber yaitu Raihal Fajri dari Kata Hati Institute dan Mawardi Ismail dari Akademisi.

Acara ini dibuka oleh Rizkika Lhena Darwin dari AI dan dilanjutkan dengan presentasi singkat oleh narasumber pertama, Raihal Fajri. Raihal membuka presentasinya dengan mengatakan bahwa ada banyak hal yang telah kita diskusikan terkait proses Pilkada di Aceh pada 4 FGD sebelumnya. Hal yang kemudian ia komentari adalah adanya permasalahan terkait struktur internal Panwaslih. Sehingge menurutnya, kemampuan intelektualitas penyelenggara masih perlu diuji lagi. Hal berikutnya yang Raihal juga sampaikan adalah tentang pemilih. Secara umum menurutnya, pemilih Aceh sudah sangat cerdas untuk menggunakan hak-hak pilihnya. Akan tetapi, masalah database pemilih telah menyebabkan banyak warga kehilangan hak pilihnya. Contohnya di Lembaga Pemasyarakatan (LP), banyak napi yangkehilangan hak pilihnya karena tidak adanya database terpadu. Masalah terkait kebutuhan pemilih disabilitas juga perlu perbaikan kedepannya. Perlunya inovasi antara berbagai pihak untuk mengakomodir kebutuhan para disabilitas. Kasus yang terjadi pada pemilih tuna netra, KIP telah menyediakan surat suara dengan huruf Braille, namun pada faktanya tidak semua tau menggunakan. Pendidikan mengenai hal ini tentu tidak bisa dilakukan selama pilkada, namun harus diberikan sejak jauh hari. Ini juga melibatkan banyak stakeholders seperti dinas pendidikan, social, dll. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa banyak kebijakan yang telah dibuat untuk mengakomodir semua kebutuhan pemilih, namun tidak ada jembatan yang mampu mendukung implementasinya di lapangan.

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan presentasi singkat dari narasumber kedua yaitu Mawardi Ismail yang merupakan akademisi. Beliau mengemukakan ada beberapa poin penting terkait Pilkada Aceh yang menjadi rekomendasinya. Poin pertama yang diungkapkan adalah masalah kerangka hukum. Kelemahan pertama yang dikritisi yaitu terlambatnya pengesahan Qanun yang menjadi dasar penyelenggaran di Aceh. Padahal menurutnya semua peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pilkada sudah dibuat namun tingkat pemahaman para stakeholders Pilkada-berbeda-beda seringkali menimbulkan permasalahan. Kedepannya, apabila tidak ada perubahan dari UU nasional, maka pengesahan qanun kembali tidak perlu dilakukan. Kedua, qanun Aceh tentang Pilkada harus benar-benar disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku. Yang terkahir, harus ada ketentuan khusus dalam peraturan perundang-undangan nasional tentang pilkada yang menjamin berlakunya ketentuan tentang pilkada dalam UU no. 11 tahun 2006. UUPA Ada pasal dalam UUPA yang mengatakan bahwa berlaku sampai ada yang mengatur hal ini. Hal lain perlu diperbaiki. Poin kedua yang dikritisi adalah penyelenggara. Rekomendasinya terhadap penyelenggara yaitu nantinya lembaga pengawas Pilkada hanya ada pada satu tangan dan bersifat permanen, tidak seperti sekarang dimana ada Bawaslu dan Panwaslih . Proses rektrutmen yang berada pada satu tangan yakni DPRA juga harus diubah. Hal lain yaitu terkait penyelenggaran, ada satu hal yang menjadi poin dasar rekomendasinya terkait dengan daftar pemilih. Banyak orang yang kehilangan hak pilih padahal terdaftar sebagai pemilih. Lebih lanjut sarannya juga terkait pemilih disabilitas yang tidak dapat hadir ke TPS dan membutuhkan pendampingan ketika memilih, sebaiknya mereka didampingi oleh yang dipercaya seperti anggota keluarga, bukan oleh anggota KPU. Rekomendasi yang ia sampaikan terkait form C1 yaitu, harus adanya pengaturan, penegasan, dan sosialisasi yang baik tentang pengumuman hasil C1 dan pengunggahannya di website KPU. Oleh karena itu, qanun seharusnya menjadi susunan dalam satu naskah yang bersumber dari berbagai norma dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dimengerti oleh banyak pihak dengan mudah.
Moderator diskusi, Ismar Ramadhani, kemudian memberikan ruang diskusi untuk para peserta menanggapi pemaparan dari kedua narasumber. Yarmen dari jurnalis mengomentari tentang permasalahan pilkada terkait narapidana (Napi) seperti yang terjadi di Banda Aceh. LP Banda Aceh tidak berlokasi di Aceh Besar. Dasar KIP membuat TPS berdasarkan domisili, akibatnya pada salah satu LP pernah terjadi kasus dimana hanya 47 orang dapat memilih aari 117 yang memiliki hak pilih. Hal ini menurutnya kesalahan terletak bukan pada KIP namun peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ini. Salah satu peserta lain, Adi Warsidi dari AJI mengungkapkan bahwa indeks kebebasan pers kita tinggi berkorelasi dengan indek kebebasan demokrasi. Seringkali media massa dianggap musuh jika tidak memberitakan salah satu paslon tertentu. Sehingga ada wartawan yang diminta untuk melakukan kampanye buruk di media. Oleh karena itu, Menurutnya, tanggung jawab tidak hanya terletak pada penyelenggara namun juga kewajiban partai politik untuk memberikan pendidikan politik ke semua lapisan masyarakat.
Aryos Nivada dari JSI mengungkapkan banyak sekali kasus-kasus pelanggaran pilkada seperti maraknya pemilih ganda, walaupun ada system SIDALI namun tidak memberikan efek terkait penyelenggaran pilkada. Meskipun pihak eksternal telah dilibtakan namun masih ada masalah dalam pendistribusian logistic seperti kasus hologram. Mneurutnya juga kurang harmonisnya komunikasi antara bawaslu dengan KIP selama ini menganggu proses Pilkada sehingga perlu diperbaiki kedepannya. Keberadaan saksi juga masih mendapatakn praktek-praktek intimidasi serta masih maraknya politik uang. Marini dari JPPR menambahkan bahwa meskipun dana yang digelontorkan sudah sangat banyak namun permasalahan terkait data pemilih terus terjadi. Ia mengungkapkan perlunya perbaikan yang menyeluruh terkait sistem administrasi kependudukan. Arman Fauzi dari aktivis mengungkapan sarannya terhadap perubahan regulasi dan pengawalan masyarakat sipil. Ia juga menambahkan bahwa selain tes kesehatan dan baca Quran, calon gubernur/bupati/walikota perlu dilakukan tes kemampuan dasar sehingga kita bisa menerjemahkan visi misi mereka lebih jelas

Norma dari Prodeelat, mengomentari tentang partisipasi perempuan baik penyelenggara maupun pemilih. Perempuan masih dianggap sebagai kelompok objek, misalnya selalu diadakan program pendidikan politik untuk perempuan dengan peserta yang sama dan diadakan setiap tahun. Kedepannya hal ini perlu diperbaiki terkait agar program-program pendidikan yang berikan lebih efektif. Ia juga menambahkan bahwa tidak ada mekanisme yang mengatur tentang perlindungan terhadap mereka yang melaporkan kecurangan-kecurangan Pilkada seperti kasus yang terjadi di Kuala Simpang. Suraiya Kamaruzzaman dari Flower Aceh menuturkan pengalaman pribadinya dimana ia menjumpai adanya pelaksana yang tidak paham tugas dan fungsinya. Ia juga menambahkan sarannya terkait kerahasiaan, diskriminasi, kapasitas, perlindungan saksi yang masih lemah sekali. Saiful Mahdi dari akademisi mengungkapkan bawa CSO Aceh perlu mengawal lebih aktif lagi. Seperti yang sudah diungkapkan, pemilik media di Indonesia hanya 22 orang sehingga media online yang bagus sangat diperlukan sehingga adanya perimbangan berita di media.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.