(TJ School) Enrichment Discussion: Belajar dari Program Rekonsiliasi di Sierra Leone

0
220

Hari pemilihan Kepala Daerah baru saja berlalu, hasil perhitungan suara pun belum rampung benar. Namun, harapannya adalah siapapun yang menjadi kepala daerah nantinya mampu mengakomodir pembangunan perdamaian di Aceh secara komprehensif. Pembangunan perdamaian ini penting untuk mencegah terjadinya konflik kembali.

Dalam diskursus pembangunan perdamaian, rekonsiliasi menjadi salah satu mekanisme krusial demi mengtransformasikan budaya kekerasan kepada budaya damai. Konon lagi, rekonsiliasi juga mampu mencegah impunitas yang menjadi salah satu sebab munculnya kembali konflik kekerasan. Memahami tentang rekonsiliasi, para pakar cenderung menjelaskannya dalam konsep keadilan transisional (Transitional Justice/TJ). Menurut Teitel (2000), mekanisme keadilan transisional terbagi atas: pengungkapan kebenaran, reparasi, peradilan, serta mekanisme alternative untuk mencegah keberulangan kekerasan.

Dalam konteks Aceh, mekanisme pengungkapan kebenaran telah mulai berjalan seiring dengan dilantiknya tujuh komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKRA) pada tahun 2016 yang lalu. KKR Aceh bertugas untuk mengungkap kebenaran, pola dan motif atas pelanggaran HAM dalam konflik bersenjata saat itu, merekomendasikan tindak lanjut, merekomendasikan reparasi, serta melaksanakan rekonsiliasi (Qanun Aceh no. 17/2013). Kehadiran komisi ini cukup penting demi memastikan implementasi amanat MoU Helsinki dan UUPA berjalan sepenuhnya. Namun, kerja-kerja KKRA sendiri nantinya tidaklah mudah. Menurut Zain (2016), tantangan-tantangan yang akan dihadapi ke depan oleh KKRA adalah: Qanun Aceh no. 17/2013 tidak membahas secara khusus tentang Pengadilan HAM, sementara para korban masih menjadikannya sebagai jawaban atas pemenuhan keadilan; selain itu, KKRA tidak memiliki subpoena power untuk memanggil para pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu, walaupun beberapa alternative dapat diantisipasi dengan kerjasama antar lembaga; kemudian, rentang masa peristiwa kekerasan yang telah lama terjadi menyebabkan berkurangnya animo masyarakat untuk turut dalam proses rekonsiliasi; dan yang terakhir, dukungan dari Pemerintah yang minim, payung hukum nasional yang belum selesai, serta perlunya dukungan pihak internasional.

Memahami realita dan tantangan tersebut, maka pengalaman dari berbagai daerah paska konflik menjadi pembelajaran berharga bagi KKR maupun masyarakat Aceh seluruhnya. Dalam hal ini, The Aceh Institute menyelenggarakan diskusi umum dalam bagian TJ School dengan tema “What can we learn from Reconciliation Program of Sierra Leone.” Diskusi ini menghadirkan narasumber Kyoko Cross, PhD. dari Ritsumeikan University, Japan. Kegiatan ini berlangsung di AI Office, Limpok, Darussalam (Belakang FK Unsyiah), pada hari Sabtu/18 Februari 2017 pukul 10.00-12.00 WIB. Untuk reservasi atau contact person dapat menghubungi Ismaramadhani (TJ School Principal), 082276124390.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.