Sabtu, 19/2/2017, Aceh Institute (AI) menggelar diskusi tentang Belajar proses rekonsiliasi di Sierra Leone dengan pembicara Kyoko Cross dari Ritsumeikan University, Jepang. Diskusi ini dibuka oleh Ismaramadhani selaku kepala sekolah Transitional Justice (TJ) school yang sedang diselenggarakan oleh AI selama ini. Dalam sambutannya, Dhani menjelaskan bahwasanya AI memiliki komitmen yang tinggi terhadap keberlangsungan proses perdamaian di Aceh. Komitmen ini ditunjukkan dengan berdirinya TJ sejak tahun lalu di Aceh Institute.
Dalam kesempatan ini, Kyoko menceritakan penelitiannya tentang proses rekonsiliasi di Sierra Leone, salah satu negara kecil di Afrika Barat. Layaknya Aceh, Sierra Leone juga dulunya mengalami konflik yang disebut sebagai state-based conflict, yaitu konflik yang terjadi dimana salah satu pihak yang terlibat adalah pemerintah. Penyebab konflik yang terjadi disana adalah greed dan grievance. Konflik tersebut berkembang menjadi internationalized inter-state konflik setelah terjadi perang antar masyarakat selama 11 tahun. Konflik ini memakan korban sebanyak 50.000 hingga 70.000 korban meninggal dunia dan jutaan pengungsi.
Lima belas tahun telah berlalu sejak deklarasi perdamaian dikumandangakan di tahun 2002. Proses rekonsiliasi terus dilakukan oleh banyak pihak baik dari dalam negeri ataupun masyarakat internasional untuk menjaga perdamaian di Sierra Leone. Pada umumnya proses rekonsiliasi yang terjadi pada masa post-conflict menggunakan dua jenis pendekatan yaitu top-down dan bottom-up. Dalam paparannya, Kyoko menjelaskan tentang proses rekonsiliasi bottom-up yang dilakukan.
Salah satu metode rekonsiliasi yang dilakukan adalah dengan membentuk pengadilan khusus untuk Sierra Leona (SCSL) untuk mengadili para pelaku kriminal di masa lampau. Selain itu, didirikannya juga Truth and Reconciliation Commision (TRC) untuk untuk mengatasi impunitas dan menanggapi kebutuhan para korban serta mempromosikan penyembuhan dan rekonsiliasi. TRC juga bertugas untuk mencegah terulangnya pelanggaran yang pernah diderita oleh korban. Dalam praktiknya TRC diawasi langsung oleh UN agency yaitu OHCHR.
Kyoko juga menjelaskan ada hal yang menarik ketika TRC mencoba melakukan public hearing kepada pelaku dan korban konflik di Sierra Leone. Masyarakat di daerah lebih menyukai jika public hearing dilakukan dengan metode tradisional yang menggunakan magic. Mereka akan lebih lebih percaya jika sebelum memberikan testimoni tentang kesaksian atau perbuatan yang pernah mereka lakukan, para pelaku disumpah dahulu terlebih dengan upacara adat. Hal ini bertentangan dengan prinsip rekonsiliasi TRC yang selama ini menggunakan pendekatan ala Barat yang lebih logis dan empiris. Pada akhirnya, para aktivis yang melakukan proses rekonsiliasi mengakui bahwa pendekatan yang lebih efektif menggunakan cara tradisional.
Ada banyak hal yang dapat dipelajari dari proses rekonsiliasi yang telah terjadi di Sierra Leone. Bagaimana Sierra Leone bisa bangkit dari salah satu negara miskin di Afrika menjadi lebih makmur seperti sekarang. Akan tetapi, Sierra Leone hanyalah salah satu dari banyak negara-negara di dunia yang pernah mengalami konflik antar masyarakatnya sendiri. Diskusi ini kemudain ditutup degnano sharing tentang proses rekonsiliasi yang terjadi di Aceh oleh direktur AI, Fajran Zain.