Politik Transaksional

0
672

Politik transaksional adalah tema yang menarik didiskusikan untuk mengetahui apa saja penyebab terjadinya transaksi-transaksi dalam setiap proses politik, termasuk dampak yang ditimbulkan oleh transaksi-transaksi tersebut, dan lebih jauh untuk mengantisipasi merebaknya politik uang di tengah-tengah masyarakat.

Adalah fakta bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi sejak rezim Orde Baru tumbang pada tahun 1998. Indikatornya adalah adanya Pemilihan Umum (pemilu) yang berlangsung secara damai dan periodik. Dalam pemilu itu rakyat mendapat kesempatan untuk memilih dan dipilih menjadi sosok yang memegang kendali pemerintahan.

Sayangnya, dalam pelaksanaannya pemilu Indonesia masih kurang sehat. Masih terdapat banyak kecurangan yang dilakukan baik oleh para kandidat maupun tim suksesnya. Salah satu bentuk kecurangan itu adalah adanya politik transaksional.

Apa itu politik transaksional? Politik transaksional adalah juga politik uang, dimana seorang politisi, dengan uangnya ia memaksa masyarakat untuk memilih dirinya. Politik uang adalah suatu bentuk pemberian kepada seseorang supaya orang tersebut menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Politik uang jelas sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang bisa berwujud uang atau sembako seperti beras, minyak, gula, dan lain-lain.

Contoh yang paling akrab dengan kita adalah kasus pilkada di beberapa kota dalam pilkada 2017 kemarin. Kasus yang paling marak di bicarakan adalah Pilkada Bireuen. DPRK Bireuen menilai kasus politik uang sudah memasuki tahap darurat demokrasi.

Fakta mencatat, ribuan masyarakat yang didominasi oleh kaum ibu telah mendatangi kantor DPRK menyuarakan agar kasus politik uang oleh salah satu Pasangan Calon (Paslon) bupati segera diungkap. Dugaan politik uang ini telah menimbulkan protes dari berbagai kalangan, temasuk Aliansi Masyarakat dan Pemuda Bireuen, yang meminta pemerintah segera bersikap.  Mereka tidak ingin pemimpin membeli kemenangan dari masyarakat dengan imbalan uang Rp.100.000 .

Solusi Masuk Akal

Mengatasi politik uang tidak cukup dengan pendekatan hukum saja. Setidaknya kita membutuhkan satu gelombang gerakan yang harus muncul dalam masyarakat. Selain itu pendidikan politik (civic education) yang masif juga penting diajarkan kepada masyarakat. Salah satu hal subtansial yang urgen adalah mengajarkan rakyat hak dan kewajiban politiknya sebagai warga negara. Demikian juga dengan kesadaran yang didukung oleh pengetahuan dan informasi yang benar untuk memilih secara bertanggung jawab dalam setiap pemilu. Hal lainnya adalah dengan mendorong penyelenggara dan pengawas pemilu beserta aparat terkait untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara independen dan professional.

Semua orang tahu bahwa politik uang pada gilirannya akan bermuara pada praktik korupsi. Untuk menduduki jabatan tertentu seseorang mengeluarkan modal uang, misalnya untuk mendulang popularitas. Untuk terkenal ia harus memperkenalkan diri, berkampanye dengan berbagai cara yang tentunya melibatkan uang. Jangan berharap hanya pada modal pintar, pengalaman, dan keturunan saja.

Uang dan politik rupanya sedang berjalan bersamaan, sehingga fenomena itu disebut politik transaksional. Dalam transaksi tidak saja barang yang harus dibeli, tetapi juga dukungan atau suara. Tanpa dibeli, suara tidak akan diberikan. Politik transaksional menjadikan suara selalu berharga, apapun jenis dan pemilik suara itu. Suara orang pintar, ilmuwan, tidak bersekolah, orang sakit, dan bahkan suara orang buta pun dihargai sama. Pemilu tidak melihat itu suara siapa, masing-masing dihitung dan diperlakukan secara sama.

Dari sisi masyarakat, paling tidak ada dua faktor yang menjelaskan mengapa rakyat terlibat dalam politik uang yaitu kemiskinan dan rendahnya pemahaman politik. Sebagaimana kita ketahui angka kemiskinan di Indonesia cukup tinggi. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti, tempat berlindung, makanan, pakaian, pendidikan dan kesehatan. Kondisi miskin tersebut seperti memaksa dan menekan sebagian masyarakat untuk segera mendapat uang. Mereka yang menerima uang terkadang tidak berfikir bagaimana konsekuensi yang akan diterima dari tindakan suap dan jual beli suara yang melanggar hukum, yang terpenting adalah mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kedua, rendahnya pengetahuan politik. Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan dari politik, karena tidak adanya pembelajaran tentang politik di tengah-tengah masyarakatnya. Sehingga ketika ada pesta politik, seperti pemilu, masyarakat tersebut tidak mengenal visi partai, atau calon anggota legislatif yang layak dipilih, bahkan tidak berpartisipasi dalam pemilu. Kedua kondisi ini menyebabkan maraknya politik uang.

Para politikus seyogyanya mengedepankan budaya politik toleran, yaitu budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar dan adil yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama secara efektif demi kepentingan rakyat banyak. Bukan hanya mementingkan kekuasaan dan kekayaan semata. Wallaahu ‘alam. (ZyAd)

Serina Yanti [Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry, Banda Aceh]

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.