“Saboh Pakat Ta bangun Banda” menjadi semboyan Banda Aceh. Kota yang masyhur oleh kekokohan syariat Islam-nya. Bagaimana tidak, kota yang berpenduduk 356.983 jiwa (sensus 2009) ini sudah menjadi ibu kota Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-14. Pada masa itu Banda Aceh menjadi pusat peradaban Islam untuk Asia Tenggara dibawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah selama sepuluh tahun, bahkan saat itu Banda Aceh telah berevolusi menjadi salah satu pusat pertahanan yang ikut mengamankan jalur perdangangan dan lalu lintas jamaah haji dari perampokan yang dilakukan oleh armada Portugis. Pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, lagi-lagi kota ini menjadi primadona untuk setiap bangsa, menjadikan Kota Banda Aceh kembali menjadi pusat peradaban yang luar biasa.
Dewasa ini, masyarakat banyak menyuarakan suara hatinya untuk menjadikan Banda Aceh kota yang makmur, adil, dan sejahtera. Indikator kemakmuran suatu daerah sangat bergantung pada situasi dan kondisi serta kebutuhan masyarakatnya. Belakangan ini pemerintah mencanangkan sistem kemakmuran yang disebut dengan masyarakat madani. Hal ini tak terlepas dari kondisi sosial politik dimana pemerintah belum optimal dalam memberikan kesejahteraan kepada warganya. Namun, Banda Aceh belum terlambat untuk menjadikan diri sebagai kota bagi semua warga (our home city), bukan kota yang hanya dimiliki oknum-oknum tertentu saja.
Sebelum membahas lebih jauh tentang kota madani, kita perlu menggarisbawahi bahwa makna madani dapat diartikan secara subjektif tergantung pada konteks sosio-kultural yang ada di wilayah tersebut. Dalam konsep barat, kota madani atau civil society diartikan sebagai masyarakat yang berkarakteristik dengan adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat, demokratis, toleran, pluralisme, dan menjunjung tinggi keadilan. Sedangkan dalam perspektif Islam, konsep madani lebih mengacu kepada peradaban yang berlandaskan agama.
Sejarah menyebutkan bahwa masyarakat madani adalah komunitas muslim pertama di Kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW dan keempat khulafaur rasyidin. Bahkan seorang Sosiolog Barat mengakui bahwa masyarakat yang dipimpin oleh Rasulullah SAW merupakan masyarakat yang modern untuk zaman dan tempatnya, karena masyarakat Islam kala itu telah bergerak jauh ke depan dengan kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya.
Sementara itu Yusuf (1998) memandang masyarakat madani membangun kehidupan beradab yang ditegakkan di atas akhlaqul karimah, masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis dengan landasan ketaqwaan kepada Allah SWT. Kualitas taqwalah yang menjadikan unsur esensial bagaimana manusia memelihara hubungan dengan Allah SWT dan juga hubungan sesama manusia. Dalam bidang ke-Islaman inilah, Banda Aceh dengan segala latar belakang keislamananya digadangkan-gadangkan sebagai kota madani.
Sayangnya, label Madani untuk Banda Aceh, yang hendak mengikuti jejak Kota Madinah yang aman, sejahtera, dan bahagia dinilai belumlah pantas untuk disematkan saat ini. Hasil survey Maarif Institute menempatkan Banda Aceh di posisi 19 sebagai kota Islami di Indonesia. Yang lebih mengejutkan lagi hasil survei tersebut menuding label madani hanyalah cara untuk menutup bobroknya sektor pelayanan publik, yang tentunya tidak sepenuhnya Islami. Meskipun demikian sebahagian warga kota tetap setuju gelar kota madani tetap disematkan kepada Kota Banda Aceh ini.
Syaridin, Kadisdikpora Kota Banda Aceh mengakui masih perlu banyak berbenah, terutam dalam sektor pendidikan Islam. Berita bagusnya adalah adanya peningkatan persentase anak-anak yang mampu membaca Al-Quran, dari 62% menjadi 89%. Dengan dimulainya proses-proses penegakan model kota madani, penulis berharap kita dapat membantu mewujudkan Banda Aceh menjadi kota madani seutuhnya, bukan hanya nama, dan bukan hanya wacana. Menjadi kota madani tentu butuh proses panjang, namun bukan hal yang tidak mungkin jika proses tersebut dilakukan dan didukung bersama.
Ahmad Zaky [Mahasiswa Jurusan Psikologi, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh]