Asap Rokok di Tengah Kampanye Politik

0
467

Bisma Yadhi Putra, Manager Riset The Aceh Institute

Sewaktu sibuk merekrut anggota-anggota baru di Aceh Utara, PKI memakai strategi bagi-bagi rokok. PKI menjadikan rokok sebagai sarana untuk membangun ketertarikan para lelaki di desa-desa. Pembagian rokok dilakukan bersamaan dengan penyerahan bantuan cangkul dan beras.

Di Aceh, sampai sekarang bagi-bagi rokok masih menjadi salah satu cara partai untuk memikat rakyat. Rokok terus dipercaya bisa menghubungkan partai dengan lebih banyak orang dalam kegiatan politik. Para perokok berat, yang jumlahnya cukup banyak di dalam masyarakat, menyambut dengan suka adanya upah meramaikan kampanye berupa “uang rokok”.

Seperti PKI dahulu, kader-kader partai masa kini masih menghadirkan rokok di dalam aktivitas-aktivitas politik mereka. Di tingkat paling dekat, asap rokok senantiasa mengepul dalam rapat-rapat tertutup di kantor partai politik yang tak disiplin dengan gagasan kesehatan.

Di tempat-tempat kampanye terbuka, partai politik juga enggan melarang hadirin (kader maupun simpatisannya) untuk merokok. Padahal di situ hadir perempuan maupun lelaki nonperokok yang berhak atas hak udara segar, sebagaimana mereka berhak menalikan dirinyasecara leluasa dengan organisasi serta ide politik yang disukai. Dapat dikatakan, mereka yang terganggu bahkan tersakiti karena asap rokok di lokasi kampanye terbuka telah mengalami diskriminasi. Dan partai politik membiarkan diskriminasi tersebut.

Ramainya perokok di lokasi kampanye terbuka—yang dibiarkan partai politik—juga bisa merusak kesehatan anak. Negara memang sudah secara resmi melarang anak-anak dilibatkan dalam kampanye politik, akan tetapi larangan tersebut berlandaskan pada alasan-alasan politis seperti bahaya akan paparan bahasa serta kelakuan negatif yang dilontarkan pengampanye dan berpotensi direplikasi anak-anak yang menyaksikannya.

Semestinya, kini pelarangan itu juga ditopang dengan gagasan kesehatan anak. Apabila begitu, maka setiap orangtua yang membawa anaknya ke arena kampanye memungkinkan untuk disanksi dengan dalih membahayakan kesehatan anak.

Mustahil anak-anak tak akan terpapar asap rokok di arena kampanye, mengingat tak satu pun pihak yang mampu meniadakan perokok di situ. Partai politik tak mungkin melarangkarena bertabrakan dengan tradisi bagi-bagi uang rokok untuk pendukung mereka. Nanti, simpatisan mereka bisa bilang begini: “Di sini kita dikasih uang rokok, tapi di sini juga kita tidak dibolehkan merokok”. Lagian, melarang simpatisan yang merokok di tempat kampanye bisa menyinggung perasaan mereka. Ketersinggungan ini mungkin saja nanti jadi benih ketaksukaan pada partai politik.

Otoritas yang berhak menindak perokok di lokasi kampanye yang tergolong kawasan tanpa rokok (KTR) pun enggan menjalankan fungsinya. Penindakan bisa-bisa memicu resistensi. Sebagaimana telah dimaklumi, politikus dan pengekornya punya kesukaan memperbesar hal-hal kecil dan sebaliknya. Larangan merokok di tempat kampanye berpotensi dibesar-besarkan sehingga menyulut kerunyaman yang meluas.

Soal pengendalian tembakau, partai politik harus berani memulai dari dirinya sendiri. Di tingkat internal, perlu penerapan larangan merokok dalam rapat-rapat sekalipun semua peserta rapat adalah perokok. Kantor partai politik pun harusnya menjadi area bebas asap rokok. Caranya tentu bukan dengan memaksa anggota berhenti merokok. Para perokok harus diberikan suatu tempat untuk merokok atau smooking area. Jika suatu partai politik mensyaratkan bahwa untuk menjadi anggotanya tidak boleh merokok, bisa-bisa ia tak akan punya anggota yang cukup.

Partai Politik Anti rokok

Kita patut meneladani Partai Komunis Cina soal kesadaran akan bahaya rokok. Sebuah laporan menyebutkan bahwa pada tahun 2010 sebanyak satu juta orang di Cina meninggal dunia karena merokok. Laporan tersebut juga memproyeksikan jika pembiaran terjadi maka angka kematiannya akan jadi dua kali lipat pada 2030; Cina akan menghadapi “angka kematian dini yang tinggi”.

Kenyataan itu menggugah Liu Encheng, seorang anggota Partai Komunis Cina dari Distrik Yunhe. Pada 2013, Liu mendeklarasikan bahwa dirinya bertekad untuk “mengembalikan langit biru Yunhe”. Dia ingin kampung halamannya punya udara bersih. Yang pertama Liu lakukan adalah berhenti merokok. Langkah ini kemudian diikuti tokoh-tokoh senior di partai.

Setahun kemudian, Partai Komunis Cina dengan resmi mengeluarkan surat larangan merokok bagi anggotanya. Seluruh anggota partai kini dilarang merokok di tempat umum.Tindakan keras seperti ini mungkin mustahil diberlakukan di Aceh.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.