Perjanjian damai tidak menjadi tolak ukur bahwa kehidupan akan menjadi sejahtera setelah lamanya berada dalam kontak senjata. Hal inilah yang dirasakan oleh keluarga AR (44 tahun) seorang perempuan paruh baya kelahiran Samalanga.
AR hanyalah seorang ibu rumah tangga. Dalam percakapan kami, beliau mengatakan sangat sedih, dan hatinya seperti tercabik-cabik bila harus mengingat pahitnya hidup di masa DOM dulu. Salah satu adik kandungnya adalah anggota GAM. AR merasa pengorbanan para pejuang dulu ketika berperang tidaklah sebanding dengan apa yang mereka dapatkan sekarang. Seperti tidak ada penghargaan oleh pemerintah, padahal mengingat bagaimana mereka berjuang dulu sangatlah tidak pantas model kehidupan yang mereka jalani sekarang.
Salah seorang anggota keluarga AR juga menjadi korban pada masa itu. Adiknya diikat pada sebatang pohon yang sangat besar, dan ditembak sebanyak tiga kali. Tembakan pertama mengenai tangannya, yang kedua mengenai perutnya, dan yang terakhir di kepalanya. Tembakan ketiga itulah yang membuat adiknya menemui ajalnya. Penyanderaan terhadap adiknya disebabkan karena salah satu anggota keluarganya ada yang menjadi anggota GAM.
AR berharap kepada pemerintah agar menghargai setiap jasa dan pengorbanan yang telah diberikan oleh para pejuang-pejuang itu. Pertumpahan darah yang kejam, lahirnya generasi yatim, bagaimana mereka bisa menjalani hidup tanpa perhatian pemerintah. AR mendengar tentang dana santunan untuk korban konflik, namun ia tidak mendapatkannya, dan dana diyat yang diterima dalam jumlah yang sangat kecil serta hanya satu kali saja.
“Saya hanya berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan kami-kami ini, keluarga bekas pejuang dulu” ungkap AR dengan tegas.
AR lebih jauh bercerita, “Waktu itu, saya dan keluarga hanya bisa melihat dan menangis saat mereka mengobrak-abrik seluruh isi rumah, entah apa yang pastinya mereka cari, tapi yang sempat saya dengar adalah “Ho beudee (dimana senjata), Pat ji keubah beudee (dimana disimpan senjata)” Saya tidak tahu mengapa mereka mencari senjata ke rumah saya” ungkap AR saat menceritakan pengalamannya saat berada pada masa DOM dulu.
Mirisnya, keluarga AR sendiri tidak tahu siapa oknum yang masuk ke rumahnya tersebut, yang ia tahu waktu itu kedua adik laki-lakinya sudah tidak ada kabar; satu meninggal dalam penyanderaan dan dieksekui oleh TNI, dan satu lagi menjadi anggota GAM dan meninggal dalam sebuah kontak tembak.
Mengingat mirisnya cerita saat konflik mada lalu, saya berfikir pemerintah harus lebih memperhatikan rakyatnya yang bahkan untuk memenuhi kehidupannya saja sangat sulit. Semoga pemerintah lebih terbuka hati dan matanya (ZyAd)
Eva Mulia Sara [Mahasiswa Fakultas Psikologi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh]