‘Why do the small fish have to atone for their crimes while the big fish remain free?’
Banda Aceh, 10 Mei 2017 – The Aceh Institute kembali mengadakan enrichment discussion dengan tema “Transitional Justice di Timor Leste” yang menghadirkan Dr. Lia Kent dari Australia National University, serta Ismaramadhani sebagai fasilitator. Kegiatan ini merupakan bagian dari TJ School yang didirikan oleh The Aceh Institute sebagai upaya mendukung agenda perdamaian di Aceh. Dalam presentasinya, Lia menjelaskan konsep keadilan transisional (transitional justice) merupakan respon atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim penindas sebelumnya. Terdapat beberapa konsepsi umum keadilan transisional, yaitu: peradilan, komisi kebenaran, reformasi institusi, mutasi/pemecatan (dari jabatan publik), reparasi, permohonan maaf, memorialisasi, serta reformasi kurikulum pendidikan. Dari sisi peradilan ujarnya, dapat berupa pengadilan internasional, local (adat), ataupun hybrid (cangkokan/kombinasi). Sedangkan, dari sisi non-peradilan, komisi kebenaran menjadi pintu masuk demi melahirkan rekomendasi terkait tindak lanjut yang mengarah kepada rekonsiliasi.
Timor Leste, dahulunya merupakan provinsi yang menjadi bagian Indonesia sejak tahun 1974. Sejarahnya, ia diduduki oleh Pemerintah Indonesia dalam masa jajak pendapat antara memilih menjadi Negara yang berdaulat sendiri atau bergabung dengan Indonesia setelah ditinggalkan oleh Portugal pada tahun yang sama. Selama periode 1974 hingga 1999, setidaknya 200,000 jiwa meninggal, 1500 orang terbunuh selama referendum 1999 dan 400,000 lainnya mengungsi.
Paska lepas dari Indonesia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau disebut (Commission for Reception, Truth and Reconciliation/CAVR) di bentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dan besarnya perhatian internasional atas kasus ini memberikan pengaruh positif atas berjalannya mekanisme ini. Komisi ini juga banyak belajar dari pelaksanaan Komisi Pengungkapan Kebenaran dan rekonsilisi di Afrika Selatan yang mengkombinasikan pengadilan hibrida berbasis komunitas (adat) serta aturan hukum positif di Negara tersebut. Selain itu, public hearing menjadi instrument yang kerap dilakukan dalam proses statement-taking. Namun, kendala cukup berarti tampak ketika tempoh kerja komisi ini hanya selama dua (2) tahun dan bersifat ad hoc. Lagipula, pengungkapan kebenaran hanya fokus pada tindak kekerasan yang tidak berat. Sehingga proses pengungkapan kebenaran tidak berjalan maksimal. Meskipun begitu, CAVR sendiri telah menghasilkan laporan serta berbagai rekomendasi setebal 2.000 halaman dengan lima (5) jilid berbeda.
Dalam paparannya, Lia juga melihat bahwa kehadiran TJ di Timor leste mengakibatkan lahirnya perdebatan antara upaya menjaga perdamaian atau pemenuhan keadilan bagi masyarakat dalam rangka state-building. Ketakutan akan persepsi bahwa berjalannya implementasi TJ dapat mengganggu stabilitas perdamaian cukup terlihat dalam pikiran para pengambil kebijakan Timor Leste. Namun di lain pihak, TJ telah menjadi instrument “umum dan wajib” dalam lingkungan masyarakat internasional – dalam hal ini PBB – untuk menyelesaikan persoalan korban paska konflik maupun rezim kekerasan.
Setelah merdeka pada tahun 2002, PBB membantu Pemerintahan Transisi selama dua tahun. Pada masa ini pula mekanisme TJ diterapkan secara ‘top-down’ dan proses keadilan yang diterapkan bernuansa Barat. Pengadilan Hibrida dipilih sebagai salah satu mekanisme menuju rekonsiliasi. Salah satu keunggulan pengadilan hibrida bahwa pengadilan ini lebih mendapat pengakuan dari masyarakat local. Termasuk reintegrasi 1400 pelaku kejahatan ringan kepada komunitas mereka. Lia menjelaskan bahwa masyarakat Timor Leste memiliki tradisi untuk pengadilan kejahatan ringan ini, termasuk memberikan ‘hukuman’ seperti membersihkan jalan, sekolah, dsb. Meskipun partisipasi sangat tinggi karena legitimasi namun muncul kekecewaan dari masyarakat ketika mengetahui pelaku kejahatan berat justru tidak diadili.
Adanya ketimpangan dalam proses pengadilan ini merupakan salah satu kelemahan agenda TJ di Timor Leste. Selain itu, kelemahan lainnya berupa: kurangnya dukungan donor, rendahnya kemampuan publik untuk menjangkau, hanya beberapa kasus kecil yang dapat diselesaikan, proses peradilan yang lambat dan membingungkan masyarakat awam, sikap non-kooperatif Indonesia atas mekanisme TJ yang diterapkan kepada para petinggi militer Indonesia, termasuk pula perbedaan orientasi antara perdamaian dan keadilan dalam pemerintahan Timor Leste sendiri. Lia Kent menyajikan sebuah pertanyaan yang disampaikan oleh Xanana Gusmao pada tahun 2001 “Siapa yang akan menanggung biaya hidup seorang pelaku (selama dalam penjara? Uang yang kalian bayar lewat pajak akan lari kepada para napi, daripada kepada perawat dan guru. Apakah kalian setuju itu?” Maka wajar, setelah lebih dari satu dekade selesainya masa tugas CAVR, Pemerintahnya tidak pula melaksanakan rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan atas dasar ketakutan memilih antara pembangunan perdamaian dan pemenuhan keadilan.
Lebih lanjut Lia mengungkap bahwa tantangan yang dihadapi oleh Timor Leste bukan tidak mungkin juga akan dirasakan dalam proses agenda TJ di Aceh. Ribuan halaman laporan dan rekomendasi yang akan dilahirkan belum tentu akan ditindaklanjuti ke depannya. Namun dibandingkan dengan Timor Leste, status komisi yang permanen dan tempoh kerja yang tidak dibatasi waktu memberikan keleluasaan yang lebih bagi KKRA berbanding CAVR yang hanya dua (2) tahun. Kemudian pada saat CAVR didirikan, Timor Leste juga tengah dalam rangka pembangunan Negara (state-building) setelah berpisah dari NKRI. Sehingga kerja-kerja TJ tidak begitu mendapatkan concern dari masyarakat luas. Lagipula, perlu waktu yang cukup untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi baru ini. Ketika tempoh kerja CAVR hampir selesai, barulah masyarakat berbondong-berbondong melaporkan kekerasan yang dialami oleh mereka.
Namun pada konteks Aceh, masa yang terlalu lama dalam mengaktifkan proses pengungkapan kebenaran juga punya kelemahan tersendiri, seperti ketidakpuasan korban akibat tidak kunjung mendapatkan hak atas kebenaran dan hak atas keadilan, hilangnya atau diturunkannya memori terkait kekerasan yang dialami oleh korban atau keluarganya, dsb. Tetapi di sisi lain, Aceh memiliki waktu yang lebih untuk mempelajari dan mengimplementasikan agenda TJ secara komprehensif, serta membuatnya menjadi mainstream. Lagipula, dendam yang dahulunya sempat membara setelah konflik boleh jadi semakin dingin setelah “didiamkan” selama beberapa tahun, sehingga para korban dapat lebih bijak melihat dan mempertimbangkan keadilan yang mereka inginkan.
Di akhir diskusi, Lia menegaskan bahwa agenda TJ di Aceh mungkin bukanlah obat yang mujarab dalam memenuhi keadilan bagi korban dan harapan semua pihak. Dan mungkin juga TJ tidak dapat mengatasi ketidaksetaraan/ketidakadilan struktural. Sebab persepsi keadilan dapat pula bervariasi. Selain itu, Lia juga mengingatkan bahwa masa kerja KKR Aceh agar tidak menjadi “proyek” oleh segelintir pihak. Kemudian, unsur local begitu penting dalam implementasi agenda ini, termasuk keterlibatan aktifis, akademisi, sekolah, dayah, ulama, serta unsur Pemerintah, baik provinsi maupun pusat.