Oleh : Nanda A’rusha
Sejak mewabah di China akhir Desember 2019 pemerintah terus melakukan upaya pencegahan dan pengobatan atas serangan wabah Covid-199. Salah satu upaya itu adalah pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 21 Tahun 2020. Agenda PSBB meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Pandemi Covid-19 di Indonesia kian hari terus meningkat. Hingga tanggal 30 Maret 2020 saja sudah tercatat adanya 1.414 kasus positif –75 kasus diantaranya sembuh dan 122 kasus meninggal. Pandemi berdampak pada banyak sektor mulai dari kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi, hingga aktivitas peribadatan. Dampak ini mulai terasa pada masyarakat.
Karena itu, dalam penanganan pandemi pemerintah tidak boleh mengesampingkan masalah kesejahteraan masyarakat. Jika diabaikan maka, dikhawatirkan akan memicu kerentanan sosial yang akan membuat situasi di Indonesia tambah kusut. Menyelesaikan satu masalah, muncul masalah lain.
Bentuk-bentuk kerentanan sosial diantaranya adalah sikap apatisme. Hal ini bisa kita lihat dari sikap tidak peduli masyarakat pada instruksi pemerintah untuk melakukan physical distancing dan tidak melakukan mudik. Faktanya physical distancing tidak berjalan efektif. Masih banyak masyarakat yang bisa kita lihat melakukan kegiatan kumpul-kumpul dan juga banyak masyarakat yang memilih pulang ke kampung. Kedua tindakan ini justru berpotensi meningkatkan jumlah kasus Covid-19 dan sebaran wilayahnya, baik yang berstatus ODP (Orang Dalam Pemantauan), PDP (Pasien Dalam Pengawasan) dan Suspect Covid-19.
Apakah sikap apatisme itu salah? Menyalahkan mereka tentu tidak bijak karena apa yang mereka lakukan merupakan respon naluriah dari kerentanan sosial yang sedang dihadapinya. Karena itu tugas pemerintahlah untuk bisa menggerakkan kesadaran kolektif masyarakat, memberikan stimulus dan insentif untuk setiap kebijakan stay-at-home, agar masyarakat bisa ikut bersama-sama mencari jalan keluar dari Pandemi ini.
Selain apatisme, ada lagi tindakan irasional yaitu upaya-upaya medical yang tidak berangkat dari kajian ilmiah melainkan dari beberapa inspirasi subjective yang diterima melalui informasi di media sosial. Misalnya ada yang meyakini bahwa berjemur di atas rel kereta api dapat mencegah penularan Covid-19, atau mengonsumsi jenis-jenis herbal tertentu walau belum ada hasil penelitian ilmiahnya. Hal ini tidak lepas dari keterikatan masyarakat atas cara, kebiasaan, dan adat istiadat yang berlaku dalam lingkungan kehidupannya. Secara sosiologis tindakan ini disebut dengan tindakan tradisional.
Apatisme dan irrasionalitas ini bisa kita cegah dengan penggunaan teknologi media secara bijak. Kita bisa saling berbagi informasi kepada sahabat dan saudara tentang Covid-19 melalui jaringan media sosial yang tersedia. Mestinya tidak perlu ada kekhawatiran. Tetap semangat jalani hidup dengan tetap berjaringan sosial secara aman.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry – Semester IX*