Oleh : Devi Rahmadhani
Covid-19 menjadi trending topic. Banyak yang meyakini virus ini berasal dari hewan liar, tapi ada juga spekulasi terkait dengan konspirasi politik yang menyebutkan Covid-19 adalah senjata bio-kimia yang diproduksi untuk memenangkan hegemoni dunia. Terlepas dari apapun alasan di belakang itu, virus ini telah menjadi momok bagi seluruh lapisan masyarakat, tua -muda, kaya-miskin, maupun bandit atau orang-orang shaleh. Tak beda dengan negara lain, Indonesia mencatat angka pasien yang merangkak naik secara pelan namun konstan.
Respon awal rakyat Indonesia, yang diwakili oleh gesture para pejabatnya, sungguh terkesan menyepelekan bahkan penuh olok-olok. Lahirlah meme-meme seperti “Orang Indonesia Kebal Virus karena Suka Minum Jahe” dan beberapa signal olok-olok lainnya. Alhasil Allah menjawab kesombongan itu dengan ujian kecil yang berdampak dahsyat. Pandemi itupun menghantam Indonesia.
Pandemi ini bukanlah fenomena baru. Pada masa Khalifah Umar Bin Khattab, sudah pernah terjadi kejadian yang hampir serupa, yaitu ketika wabah melanda negeri Syam yang dikenal dengan Wabah Tha’un Amwas. Menelaah buku tentang Khalifah Umar bin Khattab karya Syaikh Ali Ash Shalabi dijelaskan bahwa total sekitar 20 ribu orang wafat karena wabah yang artinya hampir separuh jumlah penduduk Syam ketika itu. Wabah tersebut berhenti hanya ketika sahabat Amr Bin Ash memimpin Syam. Berkat kecerdasan yang dikarunia Allah, beliau berhasil menyelamatkan Syam dengan izin Allah. Amr bin Ash berkata: “Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Jaga jaraklah dan berpencarlah kalian dengan menempatkan diri di gunung-gunung” Mereka pun berpencar dan menempati di gunung-gunung. Akhirnya, wabah pun berhenti layaknya api yang padam karena tidak bisa lagi menemukan bahan untuk dibakar. Konsep inilah yang hari ini kita kenal dengan istilah lockdown dan physical distancing.
Wabah ini tidak dapat diatasi sepenuhnya tanpa adanya kerjasama yang baik antara warga dan negara. Keduanya harus berjuang bersama dalam menghadapi virus ini dengan landasan yang sama dan satu, yakni ketaqwaan kepada Allah. Sebagian masyarakat Indonesia merasa bahwa dirinya lebih paham dari ulama dan sibuk mengomentari keputusan yang diambil oleh pihak yang berwenang dalam mengatasi wabah ini.
Mereka keliru ketika mengatakan bahwa tawakkal saja cukup, tanpa ikhtiar, dan juga keliru pula ketika menentang arahan para medis dan Kementrian Agama. Dengan mudah kita temukan komentar publik tentang penghentian sementara kegiatan ibadah, termasuk sholat Jumat. Diantara komentar itu “Tidak usah takut dengan virus, takutlah dengan Allah, tetap berjamaah di mesjid karena nyawa di tangan Allah” Pernyataan ini konyol. Sudah sepatutnya sebagai rakyat kita taat dan menyerahkan urusan pada ulama yang berfatwa ilmu yang luas. Bukankah selama tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah kita seharusnya bersikap “sami’na wa atha’na?”
Selain itu, bicara tentang hidup dan mati, benar bahwa nyawa setiap individu berada di tangan Allah. Jika meninggal karena wabah itu adalah takdir, maka pandemi ini hanya sebagai asbab atau kausa saja. Namun jangan lupa bahwa sebelum tiba pada fase tawakkal kita terkena pasal ikhtiar.
Covid-19 ini adalah bagian dari takdir Allah. Namun sebagai manusia kita percaya pada kekuatan doa dan ikhtiar dan seharusnya memilih jalan terang. Ustadz Felix Siaw dalam tulisannya pernah mengumpamakan ikhtiar seperti seseorang yang nongkrong di rumah. kalau udah ajal pasti meninggal. Lalu mereka yang meninggal sebab kebut-kebutan, itu juga sudah ajal, tetapi perilaku ngebutnya itu akan dihisab, karena itu pilihannya. Sama halnya dalam menyikapi virus ini, apabila ada individu yang tertular karena dia tidak melakukan physical distancing dan akhirnya meninggal, maka meninggalnya itu memang sudah ajalnya, namun perilaku tidak melakukan physical distancing tadi yang kemudian akan dihisab nantinya.
Sekali lagi, manusia memang tidak akan lolos dari takdir yang akan menimpanya, namun ia dapat memilih jalan hidupnya, begitu pula jalan kematiannya.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry – Semester VI*