Covid-19 dan Kewarasan Pemerintah

0
94

Oleh : Nailul Moenadi

Pemerintah memberlakukan aturan Work from Home (WFH) selama masa darurat Covid-19. Aturan tersebut tentu tidak efektif untuk semua kalangan mengingat keragaman jenis pekerjaan masyarakat. Pemberlakuan aturan tersebut, plus aturan Jam Malam yang sempat berlaku tiga malam, bertujuan untuk menghindari interaksi sosial dalam skala besar.

Pemerintah juga dianggap melakukan blunder dengan tidak menutup akses keluar-masuk di Provinsi Aceh. Sebut saja, beberapa hari belakangan, saat masyarakat sedang panik dan takut terhadap pandemi Covid-19, kedatangan WNA asal tiongkok tanpa ada pengawasan khusus justru menambah kepanikan masyarakat dan membuat masyarakat merasa berang terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tebang pilih.

Kebijakan tebang pilih ini terlihat jelas saat ini setelah kesekian kalinya pemerintah memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk memberikan remisi kepada tahanan kasus korupsi yang jelas-jelas telah merugikan Negara. Hal ini, bukan kali pertama pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mencoba memberikan keringanan bagi para koruptor.

Sebelumnya, Kemenkumham telah 4 kali mencoba memberikan keringanan kepada koruptor dengan memberlakukan RUU KPK dimana pada setiap pasal-pasalnya meringankan hukuman bagi para koruptor.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menyatakan bahwa Indonesia sendiri tidak akan memberlakukan lockdown dengan alasan kestabilan ekonomi. Presiden juga menjanjikan pemotongan atau bahkan menanggung beban masyarakat yang mengambil kredit selama pemberlakuan aturan WFH. Sayangnya pernyataan Jokowi disanggah oleh menterinya sendiri, dan jjanji itupun sirna.

Presiden kembali “bersilat lidah” dengan menyatakan akan memberikan potongan harga untuk biaya listrik masyarakat. Namun, berdasarkan fakta yang terjadi, bukannya berkorban dan menanggung rugi untuk masyarakat, negara malam membuat masyarakat semakin merugi. Sampai saat ini saja pemerintah belum menurunkan harga BBM mengingat harga minyak dunia sedang merosot jatuh.
Kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat kecil berpotensi menyebabkan perpecahan dan menghadirkan aksi-aksi yang lebih besar dibandingkan dengan demo mahasiswa terkait RUU-KPK. Ketikpuasan rakyat terhadap pemimpin akan menyebabkan amarah yang tidak terkendali dalam lingkungan sosial sehingga bukan hal yang tidak mungkin akan muncul pemberontakan di kalangan masyarakat.

Selanjutnya, hal yang memicu amarah masyarakat tentunya merupakan puncak dari tidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah karena merasa dikhianati. Kepercayaan, seperti yang dikemukakan oleh Kreitner dan Kinicki (2007) merupakan hubungan timbal balik antara keyakinan, niat dan perilaku orang lain. Hubungan timbal balik tersebut digambarkan dengan sikap ketika seseorang berperilaku sesuai dengan sesuatu yang diyakininya maka orang tersebut akan membalas perilaku tersebut dengan rasa kepercayaan yang lebih besar. Sedangkan ketidakpercayaan akan muncul ketika pihak lain menunjukan tindakan yang melanggar kepercayaan.

Lebih jauh, Hardin (2004) menegaskan bahwa kepercayaan seseorang terhadap orang lain tergantung pada motif mereka. Ketika seseorang menyatakan Aku percaya padamu, tidak selalu berarti bahwa kepercayaan itu bersifat totalitas tetapi hanya mencakup beberapa hal tertentu. Kami percaya pada dokter mengenai obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit tertentu namun tidak pada bidang politik.
Kapasitas pemerintah tentu akan menjadi acuan bagi masyarakat untuk tetap percaya dan yakin bahwa pemimpin akan melayani masyarakatnya sebaik mungkin tanpa ada kecurangan dan pengkhianatan. Ketika masyarakat merasa bahwa pemerintah telah mengkhianatinya dengan menerapkan aturan-aturan hukum yang dinilai tidak adil, maka masyarakat akan terdorong untuk membenarkan apa yang dianggapnya salah dengan melakukan kritik, protes, atau bahkan kegiatan yang lebih anarkis.

Tentunya, dalam hal ini pemerintah harus menjaga kepercayaan masyarakat seiring dengan fenomena Covid-19 yang meresahkan masyarakat. Pemerintah perlu mengambil sikap yang tegas dan merakyat tanpa mementingkan pihak-pihak tertentu atau mementingkan karir politiknya tetap terjaga. Demikian halnya dalam pembebasan narapidana kasus korupsi karena Covid-19 yang dinilai tidak masuk akal, jika pun harus dibebaskan, tentunya narapidana kasus lainnya lebih berhak mendapat pembebasan mengingat jumlah narapidana di lapas umum lebih sesak dan banyak. Wallaahu ‘Alam.

  • *Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh – Semester VIII*

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.