Membangun Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi

0
134

Oleh : Fatimah Zuhra

Jujur, tidak perlu menunggu pandemi melanda untuk membangun ketahanan keluarga. Bahkan sebelum pandemi virus mematikan ini menyerang, sudah berapa banyak instansi kekeluargaan yang goyang dan berujung berantakan? Ditambah pandemi, setiap anggota keluarga diserang kepanikan beradaptasi dengan keadaan. Belum lagi memikirkan kesejahteraan satu dan lainnya, masing-masing malah sibuk berperang dengan gejolak hati dan permasalahan pribadi. Sang ayah dengan segudang berkas rapat online, sang ibu dengan tekanan batin memikirkan ekonomi dapur yang kian tak stabil, manakala anak-anak hampir setiap hari dihadapkan dengan kelas dan tugas daring. Keluarga mana yang sanggup bertahan tanpa komunikasi internal, dengan kasih sayang yang mulai padam, ditambah dengan tarbiyah ruhiyyah yang kian jarang?

Menurut Iqbal (2017), ketahanan keluarga adalah kemampuan sebuah keluarga menghadapi konflik yang muncul dalam keluarga sehingga menyebabkan ketegangan antar anggota keluarga. Selain itu, ketahanan keluarga juga dapat ditinjau dari keberkesanan keluarga dalam mengembangkan potensi anggota keluarganya guna memenuhi kebutuhan serta mencapai tujuan dalam keluarga. Satu hal penting yang perlu dipelajari oleh setiap anggota keluarga yang bercita-cita ingin mengukuhkan ketahanan keluarganya adalah memahami dan menerapkan dimensi-dimensi yang saling melengkapi guna membentuk sebuah keluarga yang tinggi resilensi. Terdapat lima dimensi ketahanan keluarga yang perlu kita ketahui yaitu ketahanan ekonomi, ketahanan sosial, ketahanan fisik, ketahanan psikologis dan ketahanan agama.

Sudah disebutkan di awal, bahwa dimasa pandemi ini para ibu rumah tangga diserang resah gelisah memikirkan kondisi ekonomi dapur. Jika dulu sang suami pulang kerja membawa beras, sekarang para suami malah menghabiskan beras di dapur. Bagaimana tidak? Situasi yang kian menggigit kini membuat kebanyakan para suami atau tulang punggung rumah tangga kehilangan mata pencaharian, terutama di negara Indonesia ini yang sebelum pandemi saja mencari kerja sudah susah. Ditambah dengan waktu 24 jam yang kini dilewati sehari-hari #dirumahsaja membuat tingkat ‘kelaparan’ semakin tinggi. Pasalnya, nasi sudah dimasak, lauk sudah terhidang. Seterusnya hanya menanti waktu untuk dimakan. Nah, di sini jika dimensi ekonomi keluarga mulai goyah, maka satu dari lima dimensi atau aspek penguat ketahanan keluarga mulai terurai. Al hasil, ekonomi keluarga selama pandemi Covid-19 seakan pincang. Lalu bagaimana membangunnya kembali?

 

Belajar hemat dan hidup cermat

Tentu saja tanpa pemasukan yang stabil kita tidak bisa mulai menabung di tengah pandemi. Jangankan menabung, mungkin uang tabungan saja sudah habis dibelanjakan buat kebutuhan sehari-hari. Krisis keuangan yang menjerat membuat kita belajar bagaimana cara hidup hemat. Jika tidak bisa dengan mengurangi porsi makan, mungkin bisa dengan mengawal nafsu diri daripada membeli hal-hal kedua penting. Misalnya, berhenti dulu membeli jajan jajanan atau make-up make up-an. Di sini, peran orang tua sangat penting untuk mengedukasi anak-anak terutama anak yang masih kecil bahwa sangat penting untuk berhemat di tengah kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. Komunikasi yang baik antar orang tua dan anak sangat penting guna memastikan anak-anak paham kondisi yang sedang menggugat ketahanan keluarga mereka saat ini.

Kedua, ketahanan sosial juga tidak kalah penting. Poin yang dikupas dalam bab dimensi ketahanan sosial adalah pola interaksi yang baik antar anggota keluarga. Misalnya, jika melihat situasi selama #dirumahsaja tentu kita membayangkan kerukunan, kedamaian, kasih sayang dan keakraban yang semakin erat antar anggota keluarga. Suami dan istri, abang dan adik, orangtua dan anak serta sebaliknya. Bagaimana tidak, waktu 24 jam dihabiskan bersama orang-orang tersayang tentu diakui sebagai hal yang sangat menyenangkan. Namun, sisi lain yang turut menjadi pikiran kita adalah bagaimana jika pola interaksi dan bentuk komunikasi yang terjadi adalah pola yang buruk dan tidak efektif. Bayangkan saja ketika masing-masing anggota keluarga sedang beradaptasi dengan techno-stress yang memaksa mereka menatap layar laptop berjam-jam dalam waktu satu hari. Belum lagi anak-anak yang sudah bergelar mahasiswa terkadang lebih banyak menghabiskan waktu di kamar mengurung diri dengan segudang tugas hasil pembelajaran dari pagi. Manakala orangtua yang bekerja juga sibuk dengan pekerjaannya sehari-hari mengurus itu dan ini. Bedanya hanyalah tempat dan kondisi. Jika masing-masing sudah berteleku di kamar pribadi, maka tentu saja komunikasi yang terjadi pun jarang sekali. Alhasil, dimensi kedua dari lima dimensi ketahanan keluarga, mulai goyah lagi. Lalu bagaimana Cara menghindari ini terjadi?

 

Agendakan waktu “we-time” bersama keluarga

Baik yang tua maupun muda, pastikan setiap anggota keluarga tau dan peka akan situasi yang terjadi saat ini. Tidak hanya terkait virus Covid-19, tetapi juga tentang apa yang terjadi di rumah. Suami harus memastikan kondisi mental dan fisikal istri terjaga. Begitu pula orangtua pada anak, dan anak-anak terhadap saudara kandungnya. Sesekali sempatkan waktu “we-time” bersama keluarga, seperti melakukan aktivitas berkebun bersama, memasak bersama atau bahkan solat berjamaah lima waktu bersama-sama. Orangtua boleh menanyakan kendala PR anak-anak misalnya, dan antar suami-istri juga harus saling menyemangati demi membangun pola interaksi positif dan perasaan peduli serta dihargai oleh anggota keluarga. Maka, keutuhan keluarga menjadi semakin kukuh dan keharmonisan dalam rumah tangga dapat terwujud.

Ketiga, ketahanan fisik juga tak kalah penting dalam membentuk ketahanan keluarga. Pasalnya, anggota keluarga yang sehat fisik tentunya lebih dapat membantu meringankan beban orangtua atau bahkan bisa ikut membantu meningkatkan ekonomi keluarga dengan pelbagai alternatif, berbanding dengan anggota keluarga yang sakit-sakitan. Bayangkan saja jika sosok seorang ayah ditakdirkan jatuh sakit di tengah pandemi ini. Maka waktu sehari-harinya tidak hanya sekedar tidur #dirumahsaja tetapi turut mengundang cemas seisi rumah. Ibu tentu saja berperan menjadi perawat sepenuh masa, manakala anak-anak terkendala dari segi kasih sayang, komunikasi, kewangan dan secara tidak langsung berdampak pada kesehatan psikologis masing-masing. Keberadaan anggota keluarga yang sakit di tengah pandemi ini tentu saja mengundang keresahan yang berlipat pula. Bagaimana tidak, selain cemas akan penyakit, keluarga juga dirundung khawatir akan aliran uang keluar yang semakin banyak demi keperluan obat-obatan. Maka, menjaga ketahanan fisik di tengah pandemi juga tak kalah penting guna mengukuhkan ketahanan keluarga.

Dimensi yang saling berkait dengan ketahanan fisik adalah ketahanan Psikologis. Era Kenormalan Baru (New Normal) yang hampir 180° mengubah pola hidup masyarakat menuntut ketahanan psikologis yang kuat dalam diri masing-masing anggota keluarga. Secara psikologis, hal yang paling terlihat menekan selama Lockdown hingga penerapan New Normal adalah techno-stress ataupun stres terhadap teknologi. Tekanan psikologis ini biasanya terjadi pada individu yang lahir pada zaman sebelum berkembangnya teknologi. Misalnya guru, dosen, atau karyawan yang sudah memasuki usia senja tetapi masih semangat bekerja, mereka akan sedikit sebanyak sulit beradaptasi dengan penggunaan teknologi yang semakin menuntut dan digunakan secara meluas selama pandemi ini. Apalagi ketika harus belajar secara otodidak, cara menggunakan Google Meeting misalnya. Golongan gagap teknologi atau “gaptek” akan lebih mudah diserang tekanan psikologis berbanding anak era millennial. Nah, jika ada antara anggota keluarga Anda yang mengalami fase techno stress, maka segera hulur bantuan. Harus diingat, techno stress tidak selamanya menyerang kaum “gaptek”, tetapi bisa juga menyerang para gamers, mahasiswa, dan siapapun yang menghabiskan waktu lebih dari 12 jam di hadapan layar laptop, televisi, dah telefon pintar. Dampak teknologi berlebihan tidak hanya menyerang urat mata, tetapi juga urat saraf. Oleh itu, selain fisik, ketahanan psikologi sebuah keluarga juga perlu diperhatikan dan dijaga.

Terakhir, dimensi ketahanan agama menurut saya pribadi adalah kunci yang membuka jalan kepada dimensi yang lain. Bagaimana tidak? Jika dimensi agama dan moral sudah kukuh, maka secara fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial seharusnya lebih terjaga dan tertata rapi. Pasalnya, dalam agama manapun terutama agama Islam, telah diajarkan tentang pelbagai hal-hal penting kekeluargaan dimulai dari ekonomi (QS Al-Jumu’ah: 10), sosial (QS An-Nisa : 1), kesehatan fisik dan psikologis (QS Al-Fushsilat : 44) serta keagamaan (QS Ali Imran : 85). Maka, pendidikan agama sejak dini amat penting diterapkan mulai dari rumah. Nah, di sini waktunya memanfaatkan masa pandemi dan aturan #stayathome untuk meluangkan waktu bersama semua anggota keluarga mengkaji serta mendalami lagi nilai-nilai moral dan keagamaan yang mungkin sempat terkikis oleh kesibukan dunia sebelum pandemi melanda.

Saya pribadi yakin, apabila semua kebutuhan anggota keluarga menurut dimensi ketahanan keluarga sudah terpenuhi dengan seimbang, maka peluang besar untuk sebuah keluarga bertahan menghadapi pandemi adalah tidak mustahil. Tentu saja kita tidak berusaha memungkiri fakta bahwa kasus perceraian dan angka keretakan rumah tangga selama pandemi Covid-19 melanda melambung tinggi dan sejauh ini paling parah merusak instansi keluarga di China, namun bukan tidak mustahil untuk keluarga lain yang masih berusaha bertahan utuh tetap bisa memantau kerukunan rumah tangganya di tengah gejolak keadaan.

*Penulis adalah Mahasiswa Uin Ar-Raniry Banda Aceh Saat aktif Sebagai Koordinator di komunitas Exord : Youth Platform*

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.