Oleh : Herni Rovika
Tahun 2020 ini kita digemparkan oleh Pandemi Corona atau COVID-19. Pandemi ini pertama kali ditemukan oleh Ilmuan Muslim asal Mesir, Ali Mohamed Zaki, dari rumah sakit Dr. Soliman Fakeeh di Jeddah, Arab Saudi. Ketika itu beliau melaporkan seorang pasien laki-laki berusia 60 tahun yang mengalami gejala demam, batuk dan kesulitan bernapas. Hasil pemeriksaan adanya infeksi paru-paru dan tak dapat tertolong akhirnya meninggal dunia.
Pemeriksaan di rumah sakit Dr. Soliman Fakeeh ini tidak berhasil mengungkap infeksi pasien tersebut. Beliau tidak mendapatkan hasil yang valid tentang penyakit tersebut dan akhirnya beliau mengirinkan sampel ke laboratorium Viroscience, Erasmus Medical Center (EMC) Rotterdam, Belanda . Karena virus ini diisolasi pertama kali di EMC Departement of Immunology maka ia diberi nama Human Coronavirus Erasmus Medical Center.
COVID-19 ini telah memakan korban jutaan orang sejak pertama kali muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei. Saat ini korban meninggal akibat COVID-19 terus bertambah. Pertanyaannya apakah korban virus Corona tergolong syahid? Apakah mereka tetap dishalatkan?
Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) menyimpulkan bahwa virus Corona tergolong sebagai wabah atau ath-tha’un, oleh karenanya seseorang yang meninggal akibat virus Corona tergolong mati syahid. Rasulullah SAW bersabda bahwa orang yang syahid ada lima sa;ah satunya adalah mereka yang meninggal karena ath-tha’un (Bukhari – Muslim). Korban yang meninggal akibat terkena wabah virus corona tetap dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan. Kafan yang digunakan adalah plastik guna mencegah penyebaran lebih jauh.
Rasulullah SAW juga bersabda: Tha’un adalah suatu peringatan dari Allah untuk menguji hamba-Nya. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri kamu berada, jangan pula kamu lari dari padanya. (Bukhari – Muslim).Setalah Corona, China kembali diserang oleh ribuan belalang. Apakah pandemic ini ada hubungannya dengan kelakuan manusia yang sudah terlalu sombong. Wallaahu ‘Alam.
Munculnya pandemic ini tidak hanya berdampak negatif, tetapi juga berdampak positif seperti hadirnya perilaku hidup sehat, konsumsi yang sehat, hilangnya kebiasaan berkumpul dan menurunnya kebiasaan bergunjing, waktu yang lebih untuk keluarga, tidak bersentuhan dengan non muhrim, selalu mengingat Allah agar diberi perlindungan. Saya mengapresiasi dari beberapa kampung halaman termasuk tempat tinggal saya bahwa setiap mesjid tidak akan pernah dikosongkan walau bagaimanapun kondisinya. Apapun musibah adalah takdir yang menimpa manusia pada hakikatnya merupakan ujian dan cobaan keimanan seseorang atas apa yang dilakukan.
Untuk memutuskan penyebaran virus diberlakukan social distancing. Ratusan kota diisolasi termasuk mahasiswa yang pulang kampung juga diisolasi agar tidak bertemu dengan keluarga maupun orang tua sendiri. Islam telah mengajarkan kita bagaimana cara menyikapi kasus tersebut. Senantiasa meminta perlindungan kepada Allah, berikhtiar dengan melakukan pencegahan, menjaga kesehatan rutin mencuci tangan, memakan makanan yang baik dan halal, memakai masker di keramaian, menghindari keluar rumah dan berkumpul ditempat keramaian bila tidak diperlukan, bertaqwa kepada Allah yakin kepada Allah pasti segala suatu penyakit pasti ada obatnya, dan senantiasa menjaga Wudhu.
*Penulis Merupakan Mahasiswa Psikologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Menginspirasi dari Simeulue*