Oleh : Arief Hidayatullah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengapresiasi perguruan tinggi di daerah terdampak Covid-19 yang telah menghentikan perkuliahan dalam ruang kelas. Dia pun menghimbau perguruan tinggi untuk melaksanakan perkuliahan secara online. Menurut Nadiem keselamatan dan kesehatan mahasiswa di kampus harus menjadi prioritas dan meminta perguruan tinggi untuk memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajaran (detik.com)
Sejalan dengan hal tersebut, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, secara resmi telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) terkait tentang Pelaksanaan Kegiatan Perkuliahan di Rumah bernomor 069-08/2020 tanggal 9 Maret 2020 tentang Protokol Penanganan Virus Covid-19 di area publik di lingkungan Kementerian Agama. Sejak saat itulah mahasiswa berbondong-bondong pulang ke kampung halaman namun ada juga sebagian mahasiswa yang tetap bertahan di Darussalam karena ada hal lain yang harus dilakukan atau sekedar berharap pandemi ini segera berakhir.
Cerita ini bukan tentang mengapa atau siapa yang harus disalahkan? Cerita ini hanya sebuah ungkapan perasaan yang saya rasakan dan saya amati. Pada saat ini umumnya mahasiswa sedang berada pada semester 2 hingga semester 10. Dampak Pandemi juga bervariasi, tidak semua merasakan hal yang sama, bahkan jika dibandingkan antara mahasiswa awal dan mahasiswa akhir saja sudah memiliki kecemasan dan kesusahan yang berbeda pula.
Pada mahasiswa yang masih memiliki mata kuliah mulai merasakan kesusahan karena harus belajar via Daring (online), mereka harus kuliah tanpa tatap muka dengan tugas yang semakin sulit dipahami namun bertubi-tubi menghampiri. Hal ini dibuktikan dari berbagai cuitan status mahasiswa via Whatsapp dan Instagram salah satu diantaranya “Assalamualaikum bapak/ibu dosen yang terhormat, Kami bukan robot kami bisa mati karena tugas yang sudah membumi bukan karna corona yang menghampiri (Status AN)”
Hal ini seolah memberikan pesan bagaimana kesal dan penatnya mahasiswa mengerjakan tugas yang begitu banyak tanpa bisa bertanya atau sekedar mendengarkan penjelasan secara langsung apabila tidak mampu memahaminya. Mahasiswa merasa kekurangan kuota internet untuk dapat mengakses pembalajaran secara terus menerus, belum lagi sebagian mahasiswa sulit untuk mendapatkan sinyal di daerah asalnya, situasi ini berdampak ke segala aspek dan segala kalangan.
Selanjutnya mahasiswa akhir juga memiliki kecemasan dan kesusahan namun dalam ranah yang berbeda. Mahasiswa akhir sedang berusaha menyelesaikan skripsi atau tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana setelah sekian lama mengikuti berbagai mata kuliah dan tugas-tugas untuk menyelesaikan seluruh sistem kredit semester (SKS). Skripsi menurut Wiratha (dalam Rizkiyati 2019) adalah karya tulis ilmiah seseorang mahasiswa dalam menyelesaikan program S1, skripsi adalah bukti kemampuan akademik mahasiswa bersangkutan, yang disusun dan dipertahankan untuk mencapai gelar strata satu.
Proses pembuatan skripsi juga tidak mudah, banyak yang mengeluh dan bahkan hampir menyerah saat proses mengerjakanya, proses bimbingan tidak selalu berjalan lancar, belum lagi kesulitan sebagian mahasiswa menemui pembimbingnya, serta rintangan-rintangan lain yang harus dihadapi. Hal ini memberikan pemahaman dan kesan kesan horor tentang skripsi di kalangan mahasiswa.
Situasi pandemi menambah kesan menyeramkan yang lebih lagi pada mahasiswa semester akhir. Bagaimana tidak? Proses bimbingan yang dilakukan secara langsung saja sudah membuat mahasiswa stres dan kesulitan dalam menyelesaikan skripsi, terlebih dalam situasi ini proses bimbingan dilakukan secara online hal ini tentu tidak bisa efektif dan maksimal. Mahasiswa terkadang harus menunggu berhari-hari bahkan berminggu-minggu hanya untuk menanti sebuah jawaban. Apalagi jika ada masalah dalam penulisan, mahasiswa tidak dapat penjelasan atau bertanya secara langsung, sehingga lebih sulit untuk dipahami, semua hanya dilakukan via chatting. Tidak berhenti disitu, kesulitan mencari bahan juga menjadi salah satu masalah pada saat ini karena dalam situasi saat ini sejumlah perpustakaan ditutup.
Hal ini juga ikut dirasakan oleh mahasiswa yang sudah sampai pada tahap penelitian. Penelitian yang mengambil sampel sejumlah intansi tertentu seperti Bank belum diperbolehkan untuk melakukan penelitian, mereka harus dipaksa berhenti sampai situasi pandemi ini usai. Hal ini sekilas tidak terlihat seperti sebuah masalah, namun jika dilihat dengan kaca mata mahasiswa, penundaan penelitian ini berarti juga harus rela menunda gelar sarjananya, sampai situasi pandemi benar-benar usai, tidak hanya disitu mahasiswa yang sudah menyelesaikan semua mata kuliah harus bersiap dan bersedia membayar SPP lagi, menyiapkan biaya hidup apabila harus kembali ke perantauan serta membayar biaya akomodasi, sewa rumah, yang bahkan tidak ditempatinya selama pandemi ini. Sungguh ini mengecewakan harapan diri dan orang tua, bukan karena kemalasanya tapi karena keadaan yang memaksa.
Diakhir tulisan saya berharap kepada teman-teman yang membaca tulisan saya dan sedang berada di semester akhir agar tetap semangat. Covid-19 tidak bisa menghentikan mimpi kita! sekalipun harus gagal jangan pernah menyerah, karna tekadang Tuhan meminta kita untuk jongkok agar mampu melompat lebih tinggi lagi.
*Penulis Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh*