Jambo Keupok: Hangat Mentari Yang Tergusur Panas Mesiu

0
559

Oleh : Iping Rahmat Saputra

Bahasa politik dirancang untuk membuat                                                  kebohongan yang terdengar jujur dan                                                    pembunuhan menjadi terhormat

[George Orwell]

Pagi itu, suami saya sedang sarapan sebagai persiapan untuk melakukan aktivitas rutin sehari hari sebagai petani. Tidak lama kemudian segerombolan aparat militer mendatangi rumah warga, menggertak memerintah keluar semua laki-laki dan tidak menunggu lama, mesiu itu memecah hening kehidupan untuk selamanya (inisial Z. Salah seorang istri yang suaminya ditembak mati bersama 15 lelaki lainnya. Dalam tragedi kemanusiaan Jambo Keupok di Aceh Selatan. Sabtu, 17 Mei 2003 pukul 07.30 WIB).

Berselang 2 bulan setelah insiden Idi Cut, Arakundoe di Aceh Timur (3 Februari 1999), diikuti bersimbahnya darah warga Aceh Utara dalam Tragedi Simpang KKA (3 Mei 1999), dan bersambung dengan pembantaian Tgk. Bantaqiah beserta 50 santrinya di Beutong Atueh (23 Juli 1999). 1360 hari kemudian hentakan kemanusiaan terulang kembali dengan intensitas begitu memprihatinkan. Tidak berarti dalam rentang waktu 3 tahun 10 bulan 17 hari  itu tidak terjadi kekerasan terhadap warga sipil, dilakukan oleh aktor yang berseteru, sama-sama mengatasnamakan perjuangan; perjuangan pembebasan dari kolonialisme dan perjuangan mempertahanankan integrasi bangsa dan keutuhan negara.

Perampokan, penjarahan, penindasan, penyiksaan, pemerkosaan adalah sekumpulan perilaku yang diterima masyarakat, hingga membentuk mereka menjadi komunitas korban perang. Penutup pertama dari seluruh kekalutan cerita itu, adalah dengan penembakan dan pembakaran terhadap 12 dari 16 manusia yang tidak bersalah kepada Indonesia, negara tempat mereka tinggal. Langkah kaki si pendatang yang menjalankan perintah majikannya banyak melahirkan berbagai macam kerusakan; terutama yang berhubungan dengan harga diri warga negara. Namun hal itu tidak pernah menjadi program politik utama untuk mengembalikan serta memperbaiki identitas mereka.

 

Operasi Kuasa Kekerasan

Banyak peneliti sejarah maupun sejarawan mengatakan, operasi pemberantasan kelompok separatis di Aceh tidak sesuai dengan kaidah humanisasi ketika peperangan terjadi. Hukum beralih secara tiba-tiba kepada pasukan militer dengan mengatasnamakan keselamatan negara. Operasi tersebut menjadikan Aceh dan seluruh zona yang dianggap berbahaya semacam Experiment for Martial Law; uji coba pengambilan kuasa oleh militer dalam pendudukan darurat. Dan itu hal itu, dihadapkan kepada penduduk sipil sebagai target utama.

Tentu, warga yang mengalami seluruh cerita itu, menerimanya tidak sebatas sebagai uji coba, tetapi sebagai fakta orisinil hingga melahirkan realitas yang memprihatinkan. Renungan-renungan ini didorong oleh seluruh peristiwa dan tragedi sesaat Aceh menjadi bagian Indonesia pada 1945 silam. Lenin pernah memprediksikan, akan tercipta sebuah kondisi dalam era modernisme, di mana kondisi tersebut didominasi dengan perilaku kekerasan secara gamblang, dan itu menjadi kebenaran hakiki. Tidak terlepas dengan apa yang terjadi kepada Aceh dalam gerbang kemerdekaan Indonesia hingga saat ini.

Tercerabutnya nilai eksistensi penduduk Desa Jambo Keupok sebagai warga negara merupakan salah satu kesesuaian prediksi Lenin jauh silam. Abad revolusi dan abad perang (dilakukan oleh negara untuk seluruh permasalahan bangsa) dianggap sebagai cara berpolitik paling efektif guna mempertahankan apa yang telah “dicuri” melalui intrik-intrik pendahulunya. Begitu pula dengan semakin berkembangnya teknis-teknis di bidang alat kekerasan, telah mencapai titik dimana tidak ada tujuan politik yang dapat dianggap sesuai dengan daya rusaknya atau menjustifikasi penggunaanya dalam perang total melawan manusia. Karenanya, perang yang sejak zaman dahulu menjadi penyelesaian sengketa, telah kehilangan efektifitas dan segala daya tari

Operasi kekerasan dilakukan menampilkan apokalipsi yang sesungguhnya, tentang kesungguhan memegang janji atas sebuah ikatan masa lalu melalui kuasa akrobat kata. Mempermainkan kepercayaan pada masa itu berlanjut hingga hari ini, bahkan berpotensi terus terjadi pada masa selanjutnya. Ada alur cerita yang sangat politis untuk mempertahankan semua kejahatan itu; hal tersebut erat kaitannya dengan Domination Defending. Pengulangan kekekerasan dalam bentuk yang lebih moderen hanya sebagian kecil dari kekalutan negara ini, seiring dengan bobroknya orientasi terhadap masa depan para generasi penerus.

Kuasa kekerasan di Aceh dan daerah lainnya hanyalah permainan catur antar adikuasa yang selalu mengorbankan rakyatnya sebagai pion. Dan perang seperti ini memiliki nilai tertinggi dalam konsep politik yang digagas Machiavelli. Ia menegaskan, dalam perang dan kekacauan, kambing hitam paling mudah ditemukan untuk membuktikan para prajurit berhasil, adalah dengan menumbalkan masyarakatnya melalui tafsiran “terduga”; tafsir tersebut juga dipersepsikan sepihak oleh serdadu itu sendiri. Tujuan rasionalnya untuk mencegah kekuatan kelompok yang “ditargetkan” agar melemah dan berakhir dengan menyerah. Penguasa kebijakan juga menyampaikan hal serupa, bahwa diperlukan zona militer dengan segala sandi operasi guna menekan perluasan dan perkembangan kelompok yang “dianggap” berbahaya.

Hannah Arendt dalam bukunya On Vilonce (1970) mengatakan kekerasan hal yang berbeda dari kekuasaan (power), kekuatan (strength), dan paksaan (force)- selalu membutuhkan alat, maka revolusi teknologi, yakni revolusi dalam penciptaan alat, dapat dilihat dengan jelas terutama dalam perang. Substansi tindakan kekerasan diatur oleh alat-tujuan (means-end goals), yang karakteristik utamanya, jika diterapkan dalam urusan manusia, senantiasa berbunyi bahwa tujuan berada dalam bahaya ketika dikuasai oleh alat-alat yang dijustifikasi dan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu. Karena tujuan tindakan manusia, sebagai hal yang berbeda dari produk akhir fabrikasi, tidak pernah benar-benar dapat diprediksikan, maka alat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan politik lebih sering memiliki relevansi dengan dunia masa depan (hopeless tomorrow) ketimbang dengan tujuan-tujuan yang dimaksudkan.

Kekerasan menyembunyikan dalam dirinya sebuah unsur tambahan yang berupa “kesewenang-wenangan”; keberuntungan sering dihegemoni oleh penguasa darurat dalam urusan manusia didukung oleh total troops belonging (zona yang dimiliki secara penuh oleh pasukan bersenjata). Kekacauan yang tidak terduga ini akan hilang begitu saja ketika orang-orang menyebutnya sebagai “peristiwa yang tidak disengaja”; tidak pula ia dapat dihapuskan dengan berbagai tawaran-tawaran rekonsiliasi defisit substansi, seperti pernah disampaikan sebelumnya. Tidak ada kepastian dalam masalah ini, bahkan tidak ada kepastian akhir menyangkut kehancuran umum dan manusia di bawah kondisi-kondisi tertentu yang telah diperhitungkan. Kenyataan sebenarnya bahwa mereka terlibat dalam penyempurnaan alat-alat penghancur pada akhirnya telah mencapai tingkat perkembangan destruktifikasi yang diaplikasikan melalui perang. Kehancuran itu telah melenyapkan segala yang berhubungan dengan kedudukan manusia.

Terlihat seperti peringatan ironis tentang hal yang sama sekali tidak pernah diprediksikan, yang kita temui hari ini adalah dunia kekerasan. Alasan utama mengapa perang masih bersama kita, bukan hanya karena adanya kehendak untuk mematikan secara tersembunyi pada diri manusia, atau naluri agresi yang tidak mampu direpresi tetapi juga ada anggapan “perang adalah cara menyelesaikan masalah paling ampuh.” Keadaan semakin dibiadabkan dengan perilaku Pemerintah dan orang-orang cerdas yang duduk di dewan-dewan perwakilan, menyebut diri pejuang rakyat dan segala verbal dongeng lainnya. Alih-alih memiliki sifat ksatria, dipercaya oleh pemilih mereka untuk memikirkan apa yang tak terpikirkan, melainkan bahwa mereka tidak berpikir sama sekali sebagai proses tanggung jawab kepada konstituennya.

Fakta, yang kemudian dibenturkan dengan rekayasa fakta berpotensi mengaburkan karakter asli dari fakta itu sendiri. Sulit untuk dikatakan, ini bukanlah kebijakan berdasarkan ilmu pengetahuan, tetapi ilmu pengetahuan palsu. Upaya yang kerap diperhitungkan dengan kadar kuantitas pasukan bersenjata bukan dengan meminjam istilah Noam Chomsky perhitungan ilmu sosial tentang perilaku manusia. Sehingga setelah konfrontasi terjadi, banyak penyangkalan dan penghindaran atas kejujuran orisinalitas fakta itu sendiri. Hembusan terakhir masa lalu yang begitu memprihatinkan akan terjadi saat orang-orang semakin jauh dengan pengalaman pedih yang mereka alami, membuat jarak antara mereka dengan mendiamkannya, menguburnya dalam-dalam demi kecerahan masa depan, membuat berbagai macam acara untuk menina-bobokkan mereka, membuai mereka dengan berbagai janji manis nan suci.

Trik itu selalu dimainkan sedemikian rupa, untuk menidurkan akal sehat para korban, yang tidak lain adalah organ mental mereka untuk merasa, memahami dan menghadapi realitas dan faktualitas. Sedikit orang yang mau menghabiskan waktu untuk mencari dan berpikir tentang kekejaman sejarah ini, namun banyak orang tahu peran besar kekerasan terhadap urusan manusia, dan sekilas tampak mengherankan jika kekerasan jarang sekali dipilih untuk dibahas secara khusus. Ini menandakan betapa kekerasan dan kesewenang-wenangan berjalan begitu saja dan diabaikan. Kesan mengerikan lainnya saat berbagai corak kekerasan dipertontonkan, para pelaku seolah batalion Tuhan yang perilakunya telah mendapat legitimasi untuk dilakukan.

Bila kembali sejenak ke masa paska Perang Dunia II, setelah peristiwa itu juga tidak menghasilkan perdamaian yang sesungguhnya, melainkan sebuah perang dingin dan pembangunan komplek-komplek militer sebagai industri kerja. Andrei Sakharov (1968) menyebutnya dengan perdamaian (jeda) adalah kesinambungan perang dalam arti lain, yakni perkembangan aktual dalam tekni-teknik perang. Artinya, setiap jeda yang dilakukan dalam zona post-weapon battles tidak lain hanya pengembangan cara modern dalam melanjutkan peperangan, bila hal tersebut berpotensi terulang. Dengan menyaksikan seluruh realitas hari ini, berpotensi itu terjadi dengan skala lebih besar dan bakal menelan korban dengan kuantitas lebih besar. Sudah cukup, sudah cukup tampilan kebiadaban itu.

 

Negara Minus Nurani

Apakah Pemerintah mau mengakhiri kekerasan struktural ini secara yuridis dan humanis? sebagai bentuk penebusan dosa atas perlakuan kejam nan sadis pada 17 Mei 2003 silam. Tentu Pemerintah tidak mau tidak mendapat legitimasi dari rakyatnya, atau karena rakyat itu tidak disebut sebagai kalangan bangsawan, maka apapun persepsi mereka terhadap pemerintahnya dibiarkan begitu saja? Karena tidak akan mempengaruhi kekuasaan yang mereka status quo-kan. Sepatutnya tidak demikian, lagi-lagi kepatutan itu terkoyak oleh realitas politik tentang empati total kepada seluruh korban itu.

Budaya politik Indonesia, peristiwa kekerasan pada masa lalu itu masih coba untuk terus ditutup-tutupi. Banyak pihak yang terus menyuarakan agar praktik kekerasan tersebut dimunculkan ke permukaan dan dicarikn solusi konkritnya. Namun, tidak sedikit pula pihak yang menginginkan agar masalah tersebut tidak perlu dibicarakan lagi, atau lebih bagus dilupakan saja. Para pelaku dan pendukung pelaku sudah terlanjur merasa benar dan menang, maka mereka mengasumsikan layak untuk menikmati kemenangan tersebut. Dan menarasikan kejadian itu sesuai kepentingan mereka.

Perbuatan tersebut merupakan bagian dari serangan yang ditujukan jelas kepada penduduk sipil di Desa Jambo Keupok. Kejahatan yang terjadi terhadap keenam belas korban itu masuk dalam klasifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan dan secara yurisdiksi berlaku universal; hal ini bermaksud untuk mewujudkan prinsip no safe haven (tidak ada tempat bersembunyi) bagi para pelaku kejahatan yang dikategorikan ke dalam hostis humanis generis (musuh seluruh umat manusia).

Pemerintah jangan berdalih dengan berbagai macam alasan yang tidak logis, atas peristiwa yang dilakukan, pemerintah harus berani menjadi kelompok gentlemen, yang memegang teguh prinsip berani berbuat, berani bertanggung jawab. Bukannya malah kerap berbuat tapi lari dari tanggung jawab. Dosa Pemerintah tidak akan pernah termaafkan secara sosiologis, semegah dan sehebat apapun kebijakan yang dilakukan, bila nilai kemanusiaan dan keadilan selalu menjadi nomor dua. Selama apa yang direnggut tidak dikembalikan kepada pemiliknya, selama itulah Pemerintah disebut perampok nyawa bangsanya sendiri. Mereka yang ditembak di Jambo Keupok itu manusia, bukan sampah yang bisa dibersihkan seenaknya, mereka manusia, buka hama yang patut dibasmi sesukanya.

Selama masalah tentang harkat dan martabat manusia tidak menjadi agenda utama dalam kebijakan publik seluruh orde politik, maka logislah penukilan ini, Indonesia tidak hadir di bumi manusia, Indonesia hadir di bumi paranoia, Indonesia tidak hadir di bumi realita, Indonesia hadir di bumi rekayasa, Indonesia tidak hadir di bumi patam, Indonesia hadir di bumi kambing hitam, Indonesia tidak hadir di bumi kebajikan, Indonesia hadir di bumi berantakan (Max Lane, 2017; Yasraf Amir Piliang, 2008; Carlos Castaneda, 1971; Jean Baudrillard, 2003; Rene Girrard, 1982; Plato, 2015; Frantz Fanon, 2000). Alfatihah !

*Penulis adalah Akademisi Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Ar-Raniry – Banda Aceh*

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.