Jika dikaitkan dengan model sistem kesejahteraan sosial di berbagai negara, sedikitnya kita mengenal empat model (yang didasarkan pada alokasi anggaran) untuk kesejahteraan sosial, yakni:
Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara.
Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial kepada swasta.
Keempat, model minimal yang dianut oleh negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilangka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Dengan catatan, kecilnya anggaran kesejahteraan sosial untuk negara-negara Asia Tenggara dan Selatan nampaknya terkait erat dengan keterbatasan anggaran negara secara keseluruhan.
Dalam pembangunan kesejahteraan sosial, Indonesia jelas tidak sepenuhnya menganut negara kesejahteraan. Meskipun Indonesia menganut prinsip keadilan sosial (sila kelima Pancasila) dan secara eksplisit konstitusinya (pasal 27, 34 UUD 1945), dan UU. No. 11 tahun 2009, mengamanatkan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial, namun letak tanggung jawab pemenuhan kebutuhan kesejahteraan sosial adalah tanggung jawab seluruh komponen bangsa.
Prinsip keadilan sosial di Indonesia terletak pada usaha secara bersama seluruh komponen bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Sehingga tidak ada yang paling utama dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan sosial adalah tanggung jawab pemerintah, juga masyarakat, dunia usaha dan komponen lainnya. Konsekuensinya harus terjadi saling sinergi dalam penanganan masalah sosial antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha bahkan termasuk perguruan tinggi sebagai pencetak kader bangsa. Di Indonesia sendiri sudah ada perguruan tinggi yang mencetak kader di bidang ini, misalnya di Bandung ada Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS). Sedangkan di Yogyakarta, terdapat konsentrasi Pekerjaan Sosial, yang berada dibawah program studi Interdisciplinary Islamic Studies Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, dan di Aceh ada Konsentrasi Kesejahteraan Sosial yang berada di bawah jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Darusalam Banda Aceh. Terdapat juga program serupa dengan nama yang berbeda-beda di daerah lain di Indonesia.
Jika kita merujuk kembali pada persoalan masalah sosial, khususnya penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengemukakan bahwa penanggulangan kemiskinan adalah tanggung jawab bersama bukan hanya selalu pada pemerintah. Adalah keliru jika meletakkan tanggung jawab itu hanya pada pundak pemerintah atau sebaliknya hanya pada masyarakat agar mandiri. Seperti apa yang pernah dilontarkan oleh Mantan Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, pemerintah telah membuka peluang lebar-lebar bagi siapapun komponen bangsa untuk terlibat dalam pembangunan kesejahteraan sosial, dengan melakukan usaha kesejahteraan sosial, khususnya untuk menangani masalah sosial.
Indonesia telah memasuki pembangunan jangka panjang tahap kedua (PJPT-II) dan akan memasuki makin terkait dengan arus global pada tahun 2020 mendatang. Strategi yang digunakan dalam menghadapi era globalisasi ini perlu mendapat perhatian. Menurut penulis, strategi itu meliputi dua dimensi, yaitu eksternal dan internal.
Ditinjau dari aspek eksternal, kita harus mampu berpartisipasi dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada sehingga dapat memasuki medan global itu sendiri. Sedangkan ditinjau dari aspek internal, kita harus mempersiapkan diri untuk mengantisipasi dan mengambil manfaat yang sebesar-besarnya seiring dengan masuknya kekuatan-kekuatan global ke dalam kehidupan kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan. Hal utama yang perlu kita perhatikan adalah kita harus menghadapi globalisasi tersebut secara bersama, dan bersatu dengan semangat solidaritas.
Dalam konteks ini kita harus melihat dua sasaran yang hendak dicapai dan saling terkait, yaitu yang kuat harus berusaha untuk dapat memasuki medan global dengan memperbesarkan kekuatan dan meningkatkan kemampuannya. Sedangkan yang lemah dan masih tertinggal harus diperbesar keberdayaannya.
Dengan demikian, timbul keterkaitan struktural-fungsional-strategis antara upaya progresif untuk dapat memasuki era pertumbuhan global, dan upaya menjamin kelangsungan hidup bagi lapisan masyarakat lemah. Begitu juga dengan perguruan tinggi (PT) yang harus menyiapkan sumber daya manusianya. Kita harapkan perguruan tinggi di Indonesia bekerjasama dengan pemerintah dan legislatif sebagai lembaga yang mengontrol kinerja pemerintah untuk bisa menjalankan fungsi dan perannya dengan baik. Sehingga kesejahteraan sosial akan terwujud di Indonesia umumnya dan Aceh khususnya apabila dalam menanganinya selalu bersama (antar stakeholder) saling bersinergi dalam membangun Aceh kedepan.
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA)
Belakangan ini penduduk di Aceh mulai dapat menikmati layanan kesehatan gratis lewat program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Tentu saja ini patut kita sambut dengan gembira sambil memberi apresiasi pada Pemerintahan Aceh yang telah memulai salah satu upaya peningkatan kesejahteraan sosial bidang kesehatan ini. Sayangnya, seperti dapat kita ikuti di media massa, masih ada cukup banyak keluhan tentang pelaksanaan JKA di lapangan.
Salah satu penyebab masih adanya masalah dalam pelaksanaan JKA adalah karena program JKA ini tidak melalui kajian yang menyeluruh sebelum diterapkan. Pemerintah Aceh di bawah Irwandi-Nazar terkesan mendadak dan terburu-buru meminta program JKA ini segera dilaksanakan. Ini memang menyangkut politik pencitraan, dan ini sah-sah saja jika dipandang dari kacamata politik.
Harapan kita, semoga program JKA ini tidak sekedar tinggal untuk pencitraan politik. Belum terlambat bagi Pemerintah Aceh untuk mengajak kalangan perguruan tinggi, LSM, dan lembaga kajian di Aceh untuk segera mengkaji JKA secara lebih menyeluruh. Hal ini diharapkan dapat mengatasi sejumlah masalah yang terjadi di seputar JKA dan mencegah masalah yang lebih besar di kemudian hari. Karena jika program model JKA ini berhasil dengan baik, ia bisa menjadi salah satu ikon Pemerintahan Aceh yang mandiri dan independen. Bahkan ia dapat menjadi salah satu warisan yang mengharumkan nama pencetusnya.
Keterlibatan perguruan tinggi, LSM, dan lembaga kajian independen di Aceh untuk melakukan evaluasi, dan bila perlu memberikan rekomendasi perbaikan untuk program JKA, dapat menjadi pintu masuk untuk sinergi multi-pihak pemangku kepentingan (stakeholders) bagi peningkatan kesejahteraan di Aceh. Kecuali jika Pemerintah Aceh merasa mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya sendiri tanpa dukungan pihak lainnya. Tapi mungkinkah?