Beragama di Era Wabah Corona

1
397

Oleh : Muhammad Ridho Agung

Agama secara universal menghendaki keselamatan yang hakiki pada seluruh pemeluknya. Dalam Islam hal tersebut tertuang dalam Konsep “Maqaashidus Syaria’ah” yang diuraikan dalam Ilmu Ushul Fiqh beserta perangkat turunan ilmu yang serumpun. Sebagai agama tauhid,  Islam menghendaki kesalamatan dua dimensi bagi para pemeluknya, Yang Maha Kuasa lagi Esa adalah tempat memohon keselamatan di alam duniawi dan alam ukhrawi. Maka  konsenkuensi yang harus anda terima setelah memeluk agama Islam, anda akan dihadapkan dengan narasi  teks suci yang mengarahkan guiden hidup  menuju selamat di dua alam tersebut. Bahkan di alam apa saja yang akan ditransitkan oleh Tuhan dalam perjalanan manusia ke depannya hingga sampai pada alam ukhrawi yang paling akhir.

Secara kolektif harus dipahami dan disadari bahwa idealisme kesucian serta kebenaran ajaran agama dengan praktek yang dijalankan oleh manusia terkadang tak sejalan dengan ajaran agamanya itu sendiri. Alam sejatinya secara kontekstual juga dikehendaki untuk menuntun seorang manusia berproses kembali pada kemurnian tujuan agama. Namun dalam perjalanannya, godaan fisik (empiris) dan metafisik (supranatural) mempengaruhi manusia agar tak seleras dengan   ajaran agamanya. Sejatinya usaha thalabul ilmi merupakan seperangkat perjalanan untuk meraih pengetahuan dan pemahaman knowledge tentang seluruh narasi agama dari teks dan konteks ajaran agama. Setelah anda mendapatkan input dari knowledge ajaran agama, selanjutya anda harus menyelaraskan attitude anda dengan knowlegde tersebut. Maka dengan narasi tersebut, agamalah yang akan menuntun anda menuju keselamatan yang hakiki. Maka tatkala anda memeluk agama Islam maka Islam juga akan memeluk anda dengan mengarahkan anda menuju pada keselamatan hakiki.

Attitude beragama yang difasilitasi oleh knowledge Islam yang kosmpolitan akan mengantarkan anda bertahan dan merdeka menjalankan kehidupan di dua alam. Tak menjadikan anda rapuh menghadapi tantangan fisik atau metafisik yang ada di dunia. Knowledge dalam Islam memiliki sub-subnya. Secara umum terdapat bab aqidah yang paling transendental, mengajarkan kita, bahwa apapun bentuk makhluk Allah yang menganggu hidup anda, baik secara fisik atau metafisik,  ia hanyalah bagian dari makhluk Allah yang tak ada kuasa dan daya upaya menganggu anda tanpa izin-Nya.            Maka virus Corona hanyalah bagian dari makhluk fisik berbahaya yang dapat mengancam  hidup anda. Seperti usaha manusia menjauhkan diri dari terkaman binatang buas yang juga bagian dari makhluk Allah. Bahkan tidur dibawah pohon saat malam hari juga akan membuat proses kematian. maka membaca fenomena alam secara empiris ilmu sains yang dapat dirasionalkan terlebih dahulu sebelum pada tahap transendental. Adapun waktu kematian anda sudah menjadi tahap transedental dalam takdirNya. Berikhtiyar dalam doa dan berdoa sambil berikhtiyar merupakan perkara yang bernilai menjaga aqidah yang benar. Mati dalam keadaan beriman saat terserang virus Corona juga merupakan mati yang syahid setelah ikhtiyar dengan penuh. Sedangkan tatkala pasrah mengatasnamakan tawakkal tanpa ikhtiyar maka anda mati konyol bersama Corona, karena gagal memahami ajaran teologi agama yang baik dan benar.

.          Pada intinya jangan terlalu panik berlebihan takut mati di era wabah Corona, TBC, Black Death, dan wabah apapun lainnya. Frekuensi teoloigi  pada vertikal harus dibenarkan sejak tahap awal pertumbuhan manusia mengarungi berbagai fenomena kehidupan. Disinilah peran dai-dai sangat berpahala besar dalam meluruskan aqidah tauhid yang benar bagi umat Islam. Seorang dai harus giat mengeluarkan soft statement yang solutif dan preventif dengan terintegrasi  medis, tanpa memonopolikan agama, seperti menuduh Corona sebagai azab tuhan semata. Namun melupakan lupakan Rahman Nya bagi semesta. Seorang yang takut pada Allah dan khawatir terserang virus Corona  juga harus mengejawantahkan rasa takutnya secara bertahap emperis, rasional hingga transendental. Sehingga tidak terjebak neo-jabbariyah ekstrem-kanan dan neo-qaddariyah ekstrem-kiri di era milenial. Saat inilah aqidah sunni diuji untuk memapankan narasi-narasi kontektualnya.

Selanjutnya bab ibadah, banyak yang kaku tak berbiasa beribadah di era darurat  Corona. Praktek  ibadah yang tak siap dengan kondisi perkembangan dunia yang serba pesat, terus  berubah dan penuh dengan ketidakpastian. Terlalu mapan dengan ibadah ritual rutinan membuat  ibadah  darurat di era Corona terasa berat dan kaku.  Kebijakan yang dikeluarkan untuk melaksankan ibadah di rumah dengan meng-lockdown sementara ruang ibadah publik. Sebagian menganggap hal tersebut sebagai islamophobia, bahwa para pengambil kebijakan telah terpengaruhi  hasutan mengajak umat untuk melemahkan ibadah ritual yang penuh dengan keramaian. Logika berfikir sumbu pendek semacam ini telah melupakan dan melumpuhkan aspek empiris-rasional dalam beragama. Diperparah dengan sumber daya umat yang tidak semua dan belum mempunyai perangkat ilmu maqaashidus syariah, ditambah suntikan logika berfikir sesat para dai-dai yang instan, yang belum terisi penuh dengan knowledge agama. Pada saat itulah rentan akan terbelenggu virus Corona karena menerima pemahaman pribadi personal teolog amatiran yang mengatas-namakan agama. Sebagaimana disenandungkan oleh Said Muniruddin dalam puisinya yang berjudul “Bubarnya Agama”. Menjadi refleksi sentilan, intropeksi bagi agamawan untuk memberikan keselamatan hakiki bagi pemeluknya.

Fatwa dan Intruksi perubahan budaya ruang ibadah secara publik menuju serba individu dan berjarak (social dan physical distancing) demi menghindari kerentanan meluasnya penyebaran wabah. Hal tersebut berakibat pada anggapan, tak lagi menganggap nilai ibadah sendirian sebagai ibadah juga, namun ibadah dikira  hanya melulu dalam keramaian semata. Namun justru dalam situasi daurat begini, ibadah dalam keramaian seperti biasa harus dihindari sementara waktu, sebagai wujud dari ikhtiyar menghindari wabah dan mencelakakan orang lain. Bukan hanya di rumah ibadah, ruang keramaian publik seperti warkop harus segera menyerukan untuk ngopi di rumah masing masing.

Wa Idza wujidan nashu fatsamma maslahah, Wa Idza wujidat maslahatu  fatsamma syar’ullah.

            Kemudian bab akhlak, kita mengisolasi diri dari ruang publik agar menjadi security treatment tak menularkan penyakit dari orang lain. Hal ini juga bagian meringankan perjuangan pahlawan Corona di rumah sakit. Lockdown teritorial wilayah semacam ini pernah diterjadi di era sang Nabi Muhammad saw dan sahabatnya. Hal ini berdeda dengan daerah yang sudah zona merah, yang harus tegas dipaksa untuk social distancing. Intruksi lockdown harus difasilitasi dengan solusi konkrit menumpang ekonomi rakyat kecil. Bagi wilayah provinsi yang belum ada korban yang positif bukanlah solusinya social distancing. Melainkan physical distancing agar sosial ekonomi tidak memperparah dengan anjloknya putaran ekonomi rakyat. Transportasi apapun  yang menuju dearah yang masih aman harus segera dilockdown agar penyebaran tak meluas.

Dalam hal sosial ekonomi, kini harga masker menjulang tinggi,  para penjahat kemanusia mencampakan masker agar tak dapat dipakai orang lain. Maka ini merupakan hal yang kontra narasi dengan akhlak yang baik. Hasrat meraih keuntungan ekonomi yang tinggi di era sekarat, mencari panggung pencitraan dan larut dalam dinamika komentar tanpa usaha preventif dan solutif yang konkrit. Memperkuat kedualatan pangan di era Corona merupakan bagian tanggung jawab dan  wujud konkrit akhlak baik negara pada rakyatnya dari perspektif agama dan turunan nilai nilai Pancasila. Saat pandemik virus ini negara perlu memfasilitasi pengecekan virus pada seluruh rakyat Indonesia. Dan fasilitas tindak lanjut bagi para yang perlu perawatan medis. Tak adil hanya bagi para birokrat saja yang dapat pelayanan ini. Bila memang harus mengalokasikan banyak anggaran dengan kondisi mata uang yang rupiah terpuruk saat ini, maka pemindahan ibu kota negara harus ditunda, demi keadialan sosial bagi seluruh rakyat      .

Negera harus hadir memberikan fasilitas rumah sakit yang memadai sebagai upaya preventif. Negara harus mengakui keterlambatanya mempersiapkan ketahanan kesehatan nasional sejak dua bulan yang lalu saat awal virus ini muncul. Jumlah kematian penderita Corona yang diupdate pada website resmi Kemenkes makin hari makin bertambah. Semua ruang publik dan rumah ibadah berbagai agama harus segara disemprotkan disinfektan mengingat yang mengancam bukan virus Corona semata, namun sehari-hari ada 7000 lebih  virus yang bertebaran . Masih banyak di daerah kabupaten/kota masyarakat belum teredukasi dengan baik. Contoh konkritnya personal yang belum ter-edukasi  bersin cara yang  baik di  ruangATM dan di hadapan uang kertas. Sangat bahaya dan rentan terjadi penularan kepada orang lain dengan sangat cepat. Tidak perlu membuat afek kejut, jumlah angka kematian melesat tinggi sudah cukup mengejutkan wajah dunia.

Pandemik Corona tak selamanya membawa pada kesuruman wajah agama dan dunia, namun juga dapat membawa pada aspek pencerahan baru dalam menghidupkan kembali integritas agama yang telah melupakan sains. Pencerahan tersebut dalam bahasa agama sering disebut dengan hikmah. Bagi agama yang zona nyaman dengan bentuk ritual semata harus mengintropeksi mencari kekuasaan tuhan yang telah pudar dalam ritual. Refleksi spirit dari spiritual ibadah harus kembali dimaknai secara luas dan publik. Ibadah ritual yang telah usang dari pemakanaan dan berdebu dengan pernak pernik bi’dah (hasanah dan dhalalah) harus siaga adaptif di era Corona. Acara seremonia simbolis yang menghimpun banyak masa di ruang publik terbuka harus dihentikan sementera waktu, dan harus dipandan gsebagai  hal positif. Seperti langkah bijak yang diambil oleh Majelis Rasulullah (MR) menunda momentum rutinan Isra’ Mijra’ di halaman Monas.

Bagi dunia global dan bangsa bangsa di dunia juga akan lebih mawas terhadap temuan vaksin dan berfikir ulang akan hipotesa rekayasa virus. Kepanikan global akan pendemik Corona harus lebih fokus mengedepakan pada akibat aspek humanity dari pada praduga konspirasi semata. Historis wabah virus Black Death yang hadir pada abad 14 silam di era Eropa pernah membuat perubahan sosial yang mengakibatkan hilangnya pengaruh rumah ibadah agama agama. Seperti teolog jabbariyah akan sirna karena kepercayaan pada doktrin fatalistik diuji saat berhadapan dengan para pemegang pada ide pragmatis-sekuler, karena jumlah meraka banyak yang dapat bertahan saat wabah melanda. Semua narasi agama serta internal alirannya, lewat lisan doktrin para teolog akan diuji habis-habisan di era wabah ini . Agama yang punya perangkat sains akan menjawab secara elegan dan nyata. Sebagian masyrakat adat yang mempunyai social history melawan wabah menyelenggarakannya sesuai dengan pertimbangan dari berbagai keilmuan yang terintegritas, karena knowledge Islam juga dibangun atas dasar hablu minnal a’lam.

*Penulis adalah Anggota FAMe (Forum Aceh Menulis) dan Alumni Dayah Modern Darul Ulum Banda Aceh*

 

1 COMMENT

  1. Terima kasih banyak atas pengetahuan dan sharing ilmu bapak Muhammad ridho Agung semoga lebih banyak lagi Artikel yg terbitkan dan di publish ke publik supaya ilmu ilmu terus mengalir dan menjadi banyak manfaat bagi sipembaca maupun sipenulis

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.