Mundur Sejenak, Susun Amunisi, dan Berlari Kencang

0
294

Oleh : Fakhrurrazi

Sejak Februari 2020, dunia sedang mengalami ujian berat, yaitu Corona Virus Disease atau COVID-19 alias wabah Corona. Virus jenis ini pertama kali diberitakan muncul di kota Wuhan, China. Namun sekarang, kasus ini sudah menjangkit sebagian masyarakat global juga, termasuk Indonesia. Semua dalam kondisi waspada, sebab virus jenis ini dapat menyerang siapa saja. Apabila daya tahan tubuh (antibody) lemah, lalu seseorang mengalami penyakit akut, maka virus ini dapat mempercepat kematian. Pemerintah di berbagai negara sudah mengambil tindakan untuk malawan Corona: memberlakukan Social Distancing, Lockdown, Isolasi diri, serta menuntut masyarakat agar selalu menjaga kebersihan dengan cara rajin mencuci tangan.

Saya juga mengikuti perkembangan berita mengenai virus ini, baik pesan di Whatsapp, Instagram, hingga situs website media. Sangat menarik ketika membaca berbagai komentar masyarakat dunia maya dalam menanggapi fenomena ini, bahkan berita-berita Hoax juga bertebaran. Bisa dikatakan, netizen larut, sebab Medsos menjadi ruang untuk mengisi waktu, agar tetap saling terhubung antar sesama ditengah aturan untuk tetap di rumah. Tagar #stayathome #workfromehome menjadi populer.

Para Pakar dan pengamat juga turut mencurahkan pikiran dengan mempublikasikan tulisan Opini mengenai virus Corona ini. Narasi yang dibangun sangatlah beragam, ada yang meninjau dari segi kesehatan, agama, ekonomi, politik, psikologi, filosofis, disertai muatan berbagai kritik dan saran yang ditujukan kepada Pemerintah, dunia bisnis, kelompok masyarakat, sampai pada ranah individu. Perbedaan pandangan tersebut, telah memperkaya khazanah pengetahuan kita tentang wabah Corona.

Dari dunia olahraga, Joachim Low Pelatih Timnas Jerman turut mengungkapkan pandangannya bahwa dunia modern yang kita ciptakan ini bila direnungi sudah tak seimbang lagi. Eksploitasi sumberdaya alam, penebangan hutan, polusi industri, pencemaran lingkungan, sampai konflik perang merupakan tingkah laku pongah manusia yang semena-mena terhadap alam ini. Maka virus Corona adalah tanda kemarahan alam pada manusia untuk mengembalikan keseimbangannya. Menurut Low, kita mesti harus sadar tentang apa yang kita perbuat, agar menjadi bijaksana setiap langkah dan tindakan.

Sebagai penggemar sepakbola, saya tentu sepakat dengan Filosofis Joachim Low mengenai wabah ini. Terkadang dalam situasi sulit pun kita mesti tetap harus bijaksana dan berfikir lebih jernih. Sejak Corona muncul ke permukaan, menginfeksi orang-orang tanpa pandang bulu, sampai merenggut nyawa, telah membuat masyarakat khawatir, cemas dan panik untuk menghadapinya. Tidak hanya ancaman virus, kebijakan pemerintah seperti diuraikan diatas justru ditanggapi dengan psikologi semacam ini, telah mengarahkan tindakan sebagian orang untuk belanja bahan pokok berlebihan, penimbunan masker, dan menaikkan harga barang. Pada akhirnya menimbulkan persoalan baru, salah satunya terjadi kelangkaan barang-barang di pasar. Kesimpulannya, bukan Corona yang membunuh manusia. Akan tetapi, tindakan tersebut lah yang akan membuat kita saling bunuh-membunuh secara tidak langsung. Orang kaya dengan ekonomi berkecukupan sanggup menyediakan logistik, lantas bagaimana dengan orang miskin ? Kita perlu refleksi.

Bila Joachim Low menjelaskan dari sisi kebijaksanaan, lainnya halnya Reza A.A Wattimena, pendiri rumahfilsafat.com, memaknai bahwa Corona mengajak manusia untuk berkaca. Bagi Reza, berkaca yang dimaksud adalah kita menatap diri kita dalam-dalam tentang apa yang kita perbuat mengenai kebohongan (hoaks) yang kita ciptakan, cara kita beragama, sikap saling bermusuhan dan konflik antar sesama, bagaimana kita berfikir lebih kritis dan rasional, serta bagaimana media seharusnya menyampaikan pesan sehat dan mencerahkan. Menurut Reza, bila Corona menyebabkan manusia punah, maka persoalan selesai. Akan tetapi, jika Corona mengantarkan manusia semakin menunjukkan hegemoninya, maka itu sumber masalah besar. Artinya, corona mengajak kita berkaca sebagai manusia dan bertindak manusiawi seutuhnya.

Viktor J. Frankl, seorang dokter Psikologi dan juga tawanan lagendaris Nazi, melalui bukunya : yang populer Man’s Search for Meaning, memaparkan bahwa kontrol diri adalah hal penting dalam situasi apapun. Situasi sulit masa penahanan di Kamp perang, karakter tawanan terlihat dengan jelas, ada yang bertindak manusiawi yaitu saling tolong menolong, memberi semangat, berbagi tempat tidur dan makanan, dan segalanya berjuang secara bersama-bersama. Bahkan juga ada sebaliknya, sikap individual justru dominan, saling salah menyalahkan, tamak dan rakus, serta timbul konflik antar sesama. Kondisi saat ini, uraian Frankl bisa dijadikan analisis, dimana ummat manusia sedang berperang dengan lawan yang sama, yaitu Perang wabah Corona. Maka kontrol diri yang kuat mengarahkan segala kekuatan yang ada secara kolektif sehingga meraih kemenangan. Mungkin Frankl mengajukan pertanyaan kepada kita “Apakah manusia Abad 21 mampu menujukkan sisi manusiawinya? atau justru sebaliknya ?” Namun saat ini kita sedang diuji, menjadi manusiawi atau hewani.

Dalam dunia islam, Ibn Sina atau dikenal di barat sebagai Avicenna, memberikan kalimat indah, bahwa Kepanikan adalah separuh penyakit, Ketenangan adalah separuh obat, dan Kesabaran adalah Permulaan kesembuhan. Kesimpulannya, manusia modern mesti harus bersabar, tenang, dan tidak panik ketika menghadapi bencana, dan mengambil hikmah dalam-dalam tentang cobaan yang dilalui.

——————————————————————————————————————————-

Kembali lagi ke pesan Whatsapp, kali ini berasal dari Group IKATG atau Ikatan Keluarga Alumni Teknik Geofisika Unsyiah, dimana sejak bulan Mei 2019 saya keluar dari group ini. Alasan saya keluar waktu itu yakni Melakukan Kontroversial dalam rangka Menguji Respon Anggota Group. Saya mengamati bagaimana sikap yang dimunculkan oleh Alumni, apakah menanggapi dengan emosi atau dengan akal rasional. Saya menuliskan uraian hampir 5 halaman dengan judul ..Kontroversial Seseorang ditanggapi Emosi atau Pikiran… yang dilengkapi kutipan dan studi kasus. Mudah-mudahan menjadi bahan instropeksi kita bersama, terutama bagi saya pribadi.

Kali ini, saya mencoba mencoret kertas tentang apa yang saya pelajari & fikirkan selama berada di Rumah atau #stayathome, begitulah mengikuti trend tagar Generasi Millenial. Selama himbauan Pemerintah untuk tetap di rumah sebagai upaya antisipasi pandemic Corona, banyak waktu saya habiskan untuk membaca buku, majalah, berita, bahkan menonton video di Youtube. Sebab, beberapa aktivitas pekerjaan harus Off alias stop saat situasi seperti ini. Saya pun memutuskan pulang kampung, agar bisa menghabiskan waktu bersama keluarga & menikmati keindahan alam Samadua-Tapaktuan, Aceh Selatan. Akan tetapi, aktivitas seperti membaca buku, majalah, dan berita tetap menjadi prioritas dimanapun berada.

Aktivitas membaca dapat dimaknai sebagai upaya tetap eksis, sehingga mendapatkan informasi yang utuh mengenai keilmuan, social masyarakat, perkembangan teknologi, filsafat, dan juga teks-teks agama. Informasi tersebut diolah dan dianalisis oleh fikiran, lalu dapat dijadikan panduan melakukan tindakan dalam kehidupan seperti : bekerja, organisasi, dan sosial masyarakat. Rasanya, semakin banyak membaca, semakin kita merasa haus akan informasi tentang kehidupan ini dan merasa semakin bodoh alias tidak tahu apa-apa. Penyair berkata ..Dunia Pertemanan itu lebih sempit dibanding dunia Ilmu Pengetahuan..

Kalimat diatas ada benarnya, terkadang dalam dunia pekerjaan kita ketemu orang itu-itu saja. Jika tidak bertemu di dunia pekerjaan, kenal di dunia organisasi, atau sosial kemasyarakatan. Jika kita kenal si A, si B kita belum kenal, ternyata A & B adalah kawan yang saling kenal tapi tidak kita kenal. Tono berkenalan dengan Tini, sementara Tini berteman dengan Toni, Tono berkawan dengan Tano, ternyata Toni juga kawannya Tano dan Tono.

Lainnya halnya dunia Ilmu Pengetahuan jauh lebih luas. Karena Ilmu pengetahuan telah berkembang sejak ummat manusia menempati bumi ini dengan peradaban-peradaban terus bergerak maju. Manuskrip, naskah kuno, artefak, lukisan, bangunan, dan sebagainya, merupakan warisan yang dapat ditelaah perkembangan Ilmu Pengetahuan dari masa ke masa. Belum lagi ilmu dunia modern yang begitu kompleks ini.

Kita mencoba mundur sejenak, tepatnya awal abad 20 Masehi, Erich Fromm dari Jerman mempelajari tingkah laku manusia yang membentuk kepribadian baik dari sisi kodrati maupun aspek sosial-ekonomi politik. Teori Fromm menggabungkan antara konsep Sigmond Freud (manusia disetir oleh alam bawah sadar) dan Karl Max (manusia disetir oleh dunia sosial-ekonomi), lalu dimodifikasi.

Pada usia 12 tahun, Fromm terguncang melihat seorang wanita muda cantik dan pintar, yang juga sahabat dari keluarganya melakukan bunuh diri. Baginya hal tersebut kurang masuk akal, karena dengan kapasitas yang dimiliki seorang wanita tersebut seharusnya memiliki masa depan cerah. Setelah diselediki, ternyata wanita tersebut tidak tahan tekanan hidup yang dilaluinya. Tidak ada kontrol diri yang kuat.

Kejadian ini serupa ketika Goldman mencetuskan Teori Emotional Question, ketika terkejut melihat seorang mahasiswa sangat pintar di sebuah kelas, selalu mendapatkan nilai sempurna, dan sering dipuji. Suatu waktu, mahasiswa tersebut mendapatkan nilai jelek dari sebuah mata kuliah, lalu dia stress, pulang ke rumah mengambil senjata, kemudian menembak mati dosen yang memberikan nilai tersebut. Dalam hal ini, mental yang tak pernah terlatih mengalami kesulitan menghasilkan emosi yang tak dapat dikontrol, akhirnya melakukan tindakan diluar batas. Goldman berkesimpulan bahwa kecerdasan Intelektual, mesti dibarengi oleh kontrol emosional untuk bisa menjalani hidup ideal.

Dalam perjalanannya, Erich Fromm menjelaskan dualisme dilema Eksistensi Manusia.

Pertama, manusia sebagai binatang dan manusia sebagai manusia, artinya dalam diri manusia memiliki dualisme itu. Kebinatangan manusia dilihat dari kebutuhan yang harus dipenuhi seperti makan, minum, dan kebutuhan fisik lainnya. Sementara sebagai manusia bermakna bahwa manusia memerlukan keperluan non-fisik seperti : ilmu pengetahuan, ideologi, agama, karya, kebahagiaan, dan kepuasan batin.

Kedua, manusia sadar bahwa ia makhluk yang pasti akan mati. Kita hidup, lalu berjuang untuk hidup, namun sekaligus kita dipaksa untuk sadar bahwa kita tetap mati. Jika bukan besok, ya sekarang, atau saat ini, dan jelas sewaktu-waktu pasti akan mati. Meski kematian adalah hal pasti, manusia tetap menginginkan hidup agar mampu memenuhi hasrat kebinatangan maupun manusiawinya.

Ketiga, ketidak-sempurnaan dan kesempurnaan. Maksudnya adalah bahwa manusia dalam hidupnya menginginkan segala hal agar sempurna, karena manusia memiliki konsep gagasan dalam fikiran yang ingin diwujudkan. Akan tetapi faktanya, gagasan tersebut justru melenceng. Dilemanya adalah Karena hidup itu pendek, maka realiasi kesempurnaan tidak jadi sempurna atau tidak dapat dicapai. Semboyan mengenai bahwa manusia adalah makhluk mulia yang kita yakini, justru terkadang kita sering berucap bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Bila dicermati, pernyataan ini menjadi dilema, sebab pada hakekatnya manusia memiliki potensi menuju kesempurnaan dalam dirinya yang mesti terus dicari. Pada kenyataannya, manusia ada yang rela menerima atas takdir ketidak-sempurnaanya, ada pula terus mencari kesempurnaan.

Keempat, kesendirian dan kebersamaan. Manusia adalah pribadi yang unik, bisa mandiri-sendiri, tetapi juga harus hidup bersama dalam kelompok manusia. Fromm menjelaskan lebih jauh, lalu memunculkan pertanyaan : Apakah kita ingin ikuti pribadi yang unik atau dunia sosial ? Resikonya
bila memilih menjadi pribadi yang unik, maka manusia akan merasakan kesepian, sebab jauh dari dunia sosial. Bila membaur dalam kehidupan sosial, maka keunikan tidak kelihatan lagi, karena menyatu.

Manusia memilki 4 karakter dualisme diatas, sehingga manusia bisa mengakui eksistensinya di dunia ini. Kita dapat memilih mau pada sisi yang mana, atau berusaha menyeimbangkan kedua sisi tersebut. Misalnya, Kalkulasi berapa % menghabiskan waktu sendiri vs % waktu kehidupan sosial, berapa % berusaha mengejar kesempurnaan vs atau hanya menerima ketidak sempurnaan ?, apakah hidup terusan bekerja atau mempersiapkan diri untuk mati? Apakah kita hidup mengutamakan materil atau memperkaya jiwa ? dan seterusnya. Dilema itu menjadi bahan renungan bagi pribadi kita masing-masing.

Kita perlu …Mundur Sejenak.. dalam pengertian mengevaluasi setiap langkah yang ingin diambil kedepan sebagaimana dualisme karakter yang dijelaskan oleh Eric Fromm. Lebih jauh, membuat kita lebih sadar, dan mampu menjaga eksistensi dalam kehidupan : pribadi maupun kelompok/organisasi. Sebab, posisi seimbang adalah hal yang diinginkan oleh manusia, karena salah satu jalan menuju kebijaksanaan.

Potret kehidupan nyata misalnya, setelah kita menempuh Pendidikan lalu memperoleh Ilmu Pengetahuan yang seharusnya dibarengi oleh moralitas, tekadang justru dapat dibelokkan, sehingga tidak lagi seimbang. Fikiran hanya dibayangi oleh kebutuhan fisik alias terutama materi, menjadikan mental pragmatis untuk sendiri-sendiri meraih hal tersebut. Boleh dikatakan, segala cara bisa dihalalkan meski dalam keadaan sadar selalu ingat tentang kematian, tapi seakan-akan diabaikan. Tidak ada yang salah menurut Fromm. Namun, bila kita cermati, dominasi yang muncul di satu sisi justru memiliki efek terhadap sisi yang lain, dan disinilah berawal titik ketidakseimbangan. Kita bisa bertanya pada diri sendiri : Bagaimana keberhasilan prestasi individu yang diraih terhadap eksistensi dunia sosial ? Apakah justru menjadikan jauh dari sosial, karena sibuk dengan diri sendiri ? Lalu bagaimana dampak keberhasilan tersebut dalam kehidupan sosial ? Lantas, seharusnya seperti apa ?

Ada hal menarik lanjut Fromm tentang eksistensi, sehingga manusia mampu mengenal dirinya sendiri dan kehidupannya. Eksistensi manusia merupakan sesuatu yang terlihat nyata, kelihatan, dan fakta bahwa manusia ada di alam ini. Sederhanya dapat dipahami bahwa manusia sadar sebagai makhluk yang diciptakan, lalu bergerak untuk memilih menjadi seperti apa, berbeda satu sama lain, serta menggunakan segala potensi dirinya untuk menentukan setiap keputusan-keputusan yang diambil dalam hidup.

Menurut Kierkegaard (1813-1855), bahwa eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis, melainkan bergerak dinamis. Gerak ini adalah perpindahan bebas, yakni kebebasan memilih, mencari tahu, memperoleh pengetahuan, lalu terbentuk karakter. Dia juga menerima prinsip Socrates bahwa pengetahuan akan diri adalah pengetahuan akan Tuhan. Sementara Murtada Muttahari, memberikan pengertian bahwa manusia menginginkan dorongan untuk meraih kemajuan, maka mengejar potensi kesempurnaan menjadi pilihan agar selalu memiliki eksistensi.

Pertanyaanya bagaimana manusia menjadi seorang individu maupun kelompok/organisasi ?

Pertama, Mengenal Eksistensi Identitas, yakni kesadaran diri dan pengetahuan tentang kemampuan. Pertanyaan siapa aku/kita ? Kenapa kita ada ? Apa yang harus dilakukan ? mesti harus dapat dijawab. Bila belum, maka sebenarnya kita belum eksis, walaupun kita ada dalam satu kelompok sebagai individu maupun individu dalam kelompok. Identitas merupakan jati diri. Masing-masing individu sudah memiliki identitas itu, namun kita belum sadar sepenuhnya.

Misalnya, bila pertanyaan ini diajukan kepada group ini kita menjawab bahwa kita adalah Alumni Teknik Geofisika Unsyiah, kemudian mengaitkan dengan afiliasi bahwa kita memiliki keahlian dalam Geofisika. Selain itu apa lagi deksripsi yang kita miliki dan menunjukkan identitas sebagai individu alumni ? . Bagaimana pertanyaan bila kita bergabung dalam sebuah Ikatan Keluarga Alumni Teknik Geofisika, lalu menanyakan identitas sebagai sebuah kelompok ? Lalu bagaimana identitas berkarir sebagai professional ? . Apa yang menjadi tanggung jawab Alumni sebagai individu sarjana, organisasi, dan karir professional, atau lebih dalam lagi sebagai manusia ?

Bagi Fromm, mengenal eksistensi identitas dengan baik memiliki efek yaitu kemampuan mengontrol tindakan dalam ruang kehidupan. Sangat disayangkan bila terdapat krisis identitas, yang terjadi adalah sebaliknya, sebab berpengaruh pada dorongan untuk menentukan arah mengembangkan potensi diri.

Kedua, Jika identitas sudah jelas, maka demi eksistensinya, manusia membutuhkan relasi. Kebutuhan akan hubungan atau frame of devotion apabila akal, nurani, dan imajinasi jalan. Ketika instrument ini bergerak, maka manusia dapat menjalin hubungan antar sesama yang lain. Hubungan melahirkan perhatian, tanggung jawab, respek, dan pemahaman timbal balik. Jika eksistensi ini tidak ada, maka manusia tidak dapat membangun kehidupannya.

Sebagai seorang Sarjana, kita sudah menimba ilmu pengetahuan, kemampuan olah fikir meningkat, nurani dan daya majinasi terbentuk, serta dibekali moralitas. Maka kita membutuhkan suatu wadah atau istilahnya “..bekerja guna mempraktekkan keilmuan yang diraih..”. Semua setuju bahwa perlu jembatan menuju ke wadah itu, dalam hal ini relasi. Kesuksesan hubungan ditentukan oleh seberapa besar perhatian, tanggung jawab, respek (rasa hormat), serta ada upaya timbal balik bahwa kehadiran seorang sarjana dapat diterima. Bagaimana sebaliknya jika tidak membangun relasi ? Semua tahu, bahwa tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Keahlian, kepintaran, dan keterampilan itu eksis ketika dapat memberikan manfaat bagi orang lain, disitulah dibutuhkan eksistensi relasi (Need for Relatedness).

Bagaimana dengan sebuah kelompok/organisasi ? Bagi Fromm, harus ada hubungan internal dan eksternal demi eksistensinya. Sisi internal merupakan hubungan antar sesama individu dan sistem yang dibentuk. Sementara Eksternal adalah bagaimana membawa organisasi dalam dunia luar organisasi dengan sistem yang lain pula. Tantangan yang terjadi adalah membangun relasi multi-individu yang unik ini, seringkali terjadi konflik yang disebabkan oleh cara mengekspresikan eksistensi identitas dan dualisme-nya . Ada yang cenderung dapat menerima ekspresi tersebut, ada yang kontradiksi, pada akhirnya mempengaruhi sesuatu yang ingin dicapai. Pemimpin menjadi kunci mengambil segala keputusan mengayomi berbagai karakter untuk bersatu sebagai sebuah kelompok, strong leadership and management style menjadi perhatian utama. Pemimpin sebagai individu dituntut memiliki pertimbangan terhadap dilema dualisme itu agar menjadi karakter ideal yang diinginkan oleh kelompok. We need The Philosophy untuk mempelajari lebih dalam.

Ketiga, manusia membutuhkan eksistensi Transedensi, artinya kemampuan membuat atau menciptakan sesuatu. Instrumen akal, nurani, dan imajinasi mendorong manusia untuk berkreasi dan inovasi, sementara binatang tidak bisa. Kita bisa melihat bagaimana peradaban manusia berkembang dan berubah dipengaruhi karena faktor ini. Transedensi dimaknai sebagai kemampuan melebihi dirinya, jika tidak maka peradaban nenek moyang terdahulu masih sama dengan sekarang, alias tidak berkembang sama sekali. Teknologi adalah bukti kreativitas dan inovasi.

Sebagai individu, kemauan belajar dan eksplorasi akan mengantarkan manusia dapat memiliki eksistensi transedensi ini. Kemampuan melihat, mendengar, menganalisis, dan memahami yang dikenal sebagai kecerdasan Kognitif adalah sesuatu yang alami dimiliki oleh manusia merespon realita. Apakah pengetahuan, metode dan produk masa lalu dan hari ini bisa digunakan di masa depan ? atau pertanyaan lain misalnya Bagaimana cara agar membajak sawah dengan efektif ? Maka manusia membuat mesin-mesin pertanian, dimana para pendahulunya belum terfikirkan hal-hal seperti ini.

Selanjutnya organisasi juga harus didorong untuk memiliki eksistensi transedensi ini, setiap individu dan pemimpin terus menerus belajar dan evaluasi diri terhadap realita dan proses yang dilalui. Kreativitas & Inovasi adalah kunci agar mampu bertahan dari zaman ke zaman. Melahirkan kader yang baik harus dipastikan sesuai pola kaderisasi zamannya pula. Generasi hari esok harus lebih baik dari sekarang bukan hanya jargon, namun mesti diupayakan. Terlebih era sekarang, pola-pola kaderisasi tidak bisa lagi dengan .old style. ke-Bos-bos an. Pola junior mesti tunduk dan patuh pada senior atau senioritas, justru tidak akan dapat memiliki eksistensi Transedensi. Sikap takut berdebat dan dialog terbuka dalam forum organisasi, sebab kemungkinan gagasan kreatif akan dikucilkan, padahal gagasan tersebut merupakan sesuatu yang harus dipertimbangkan sebagai keputusan oleh pemimpin untuk melakukan terobosan. Bila dianalisis mendalam, inilah fakta Dualisme bagi organisasi yaitu baik vs buruk, positif vs negatif, setuju vs tidak setuju, manfaat vs rugi dsb adalah lumrah untuk direspon oleh setiap individu. Namun, Gaya ..UNBOSS.. dapat diterapkan, sebab inilah yang diinginkan oleh zaman.

Keempat, manusia membutuhkan eksistensi Berakar, Need for Rootedness. Artinya, membangun rasa persaudaraan antar sesama manusia. Sewaktu kanak-kanak, kita berakar pada ibu, ayah, lalu keluarga, kemudian mengintegrasikan diri pada kelompok, masyarakat, dan lain sebagainya. Bimbingan para guru, senior, orang-orang tua, idola, maupun tokoh merupakan kebutuhan manusia agar tetap eksis.

Dorongan ingin mencapai pada suatu titik tertentu yang merupakan kesempurnaan yang didambakan, maka relasi dan akar mesti kuat. Tidak hanya sebatas pada tujuan yang diraih, akan tetapi relasi yang dibangun dengan penuh rasa perhatian, respek, saling memahami akan membuat akar tertancap dalam , sehingga rasa persaudaraan semakin erat. Contohnya, sebagai seorang individu, baik status sarjana atau bukan, sangatlah penting memiliki para pembimbing, supaya senantiasa mendapatkan arahan, koreksi, evaluasi, dan instropeksi diri, serta pengetahuan. Jangan hanya memikirkan motif intrinsik atau iming-iming sesuatu , tetapi rasa persaudaraan yang kuat jauh lebih penting dan bermakna, sehingga memiliki eksistensi berakar. Niscaya, tujuan yang ingin diraih akan tercapai.

Bagaimana dengan organisasi ? Ini menjadi penting, rasa persaudaraan harus mengakar kepada semua individu, tanpa memandang status dan kedudukan, tua dan muda, junior dan senior, dan sebagainya. Bimbingan dari pendahulu, para ahli, pemikir, bahkan anak-anak muda eksplosif adalah upaya organisasi tersebut tetap eksis dan tidak vakum. Tidak hanya itu, mengakar di organisasi lain dan dunia masyarakat juga bagian penting dari eksistensi. Banyak keuntungan yang didapat, yakni perkembangan setelah mempelajari seluk beluk dari dunia luar.

Kelima, kerangka orientasi (need for frame of orientation). Ini menyangkut tentang framework alias cara berfikir dimana menentukan setiap keputusan yang diambil. Setiap manusia memiliki cara pandang bagaimana menyikapi hidup, lalu muncullah pilihan hidup. Sebab, kerangka berfikir muncul dari perjalanan hidup yang dilalui. Erich Fromm mendefinisikan bahwa fikiran merupakan sarana yang digunakan seseorang untuk mengembangkan gambaran realitas dan objektif tentang dunia.

Point terakhir ini menjadi penting, sebab menangkap gambaran nyata kehidupan yang dihadapi, apakah itu pada posisi sulit maupun senang, justru ada ditanggapi secara pragmatis, idealis, atau realistis dalam mengambil keputusan menentukan pilihan hidup. Kita bisa mengambil contoh dari Para Sarjana memulai karir, dimana Framework beragam. Ada yang memilih karir tertentu dengan alasan sulitnya mendapatkan pekerjaan, maka cara ini ditanggapi dengan realistis. Ada yang tetap menginginkan pekerjaan idaman, pokoknya harus ini-itu, tanggapannya idealis. Ada pula motivasi memilih pekerjaan untuk meraih sesuatu yang diinginkan, apakah itu ditentukan oleh sebuah nilai atau status, maka pilihannya adalah pragmatis. Yang jelas ini merupakan upaya kebutuhan eksistensi sebagai seseorang menyandang gelar Sarjana.

Lainnya halnya dengan kelompok/organisasi, framework ini boleh dikatakan adalah pandangan terhadap Vission sehingga memunculkan respon/tindakan yang diambil untuk merealisasikan. Jika visi tersebut dapat dicapai, maka organisasi melangkah sesuai kerangka orientasi yang telah dirancang, serta berhasil melakukan pendekatan fleksibel dalam melewati setiap tantangan. We need strong the view of philosophy, dan pondasi kuat dalam merespon kenyataan untuk meraih mimpi.

Tanpa disadari, inilah kebutuhan eksistensi menurut Erich Fromm yang bisa kita ekstrak pelajaran darinya. Bahan untuk …Mundur Sejenak, Susun Amunisi, dan Berlari Kencang…. Eksistensi bukan ucapan bahwa “…. Kami ingin eksis, atau saya ingin eksis…”, tapi ini adalah strategi alamiah yang dapat diramu, dianggap ada tentang keberadaan kita sebagai manusia, meraih apa yang diinginkan dalam kehidupan, sebagai makhluk diberi kebebasan memilih, dan mengabdi pada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Apa benar kira2 ? Mohon maaf apabila keliru…!!

*Penulis Merupakan Penikmat Geosastra, Filsafat, dan Sufisme*

Salam,
-Donya Mita Solusi-

Tapaktuan, 01 April 2020

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.