Tetapi sebaliknya, mengapa pula banyak orang-orang, khususnya para pemimpin, dalam berbagai varian dan modusnya, cendrung untuk menjadi pencuri/perampok (koruptor), penipu/pembohong (manipulator), penindas/ pengisap (intimidator), pemangsa (predator), peniru/penjiplak (plagiator), penjilat (licker) dan preman (gangsters), justru tampak amat ramai berkeliaran disana-sini, memangsa anak-anak bangsa di negeri ini, sejak lebih dari 30 tahun lalu hingga saat ini?
Mungkin banyak orang tidak pernah membayangkan, bahwa penyebab dari semua kerusakan moral sosial masyarakat tersebut adalah justru lembaga sekolah. Wadah dimana tadinya dibayangkan menjadi tempat berlangsungnya proses-proses yang mendidik dan membangun kesadaran altruistic individu para warga negara dalam membina kehidupan bersama, dalam suatu himpunan masyarakat dan bangsa yang sebenarnya sama sekali tak mungkin dihindarkan sebagai makhluk sosial. Namun, mungkin secara tidak disadari, bahwa sekolah sudah sejak lama menjadi arena dimana para penjahat itu dididik, dibina dan diproses, sejak kecil hingga dewasa, dalam proses-proses pemolaan persekolahan yang ada di Indonesia, mulai dari SD/MIN hingga PT/PTAI.
Tentu telah diketahui, bahwa institusi-institusi sekolah merupakan arena dan wadah dimana sistem pendidikan dan pengajaran berlangsung bersama segala aturan dan metodologi prosesnya. Semua itu merupakan piranti lunak (software) yang berfungsi memprogram, merekayasa dan membentuk pola-pikir, mentalitas dan prilaku para manusia yang bersekolah, yaitu anak-anak bangsa ini, di semua jenjang persekolahannya. Maka tak pelak, segala bentuk prilaku jahat dan busuk, yang bersifat merugikan orang-orang lain, seperti mencuri, menipu, menindas, menghisap, merampok, menjajah, menjiplak dan menjilat, seluruh proses-proses penanaman benih-benih awalnya justru bermula di sekolah. Semua prilaku yang terbentuk itu merupakan hasil atau produk dari segala aktivitas, melalui proses-proses intelektualisasi yang mempola pikiran, spiritualisasi yang membentuk kesadaran. Serta bersama segala interaksi dan komunikasi yang berlangsung secara terus menerus antara para guru, murid, kurikulum, dengan segala aturan yang berlaku, berlangsung dan berjalin selama peserta didik berada di sekolah.
Proses-proses itu berlangsung di arena persekolahan tanpa ada debat, kritik dan gugatan, sebagai upaya penyucian keilmuan dan validasi kontekstual atas berbagai kenyataan social yang ada di sekeliling. sehingga segala bentuk kegiatan dan proses yang berlangsung di sekolah, lebih mengarah kepada proses-proses dehumanisasi. Sehingga para peserta sekolah terjerumus ke dalam liang kehidupan yang telah kehilangan dimensi sosial kemanusiaannya.
Bahkan tragisnya, ada banyak peserta sekolah yang kemudian malah mengadopsi sifat-sifat binatang yang cenderung mengandalkan kekerasan dalam membela hajat hidup dan memenuhi keinginan nafsunya. Meskipun berbagai dalil-dalil sakral keagamaan sering digunakan untuk meyakinkan orang-orang lain, walau sebenarnya apa yang dilakukan itu bertentangan dengan kehendak dan hakikat penciptaan manusia oleh Sang Khalik.
Tegasnya, dalam konteks kenegaraan, maka sekolah dari semua jenjangnya adalah pihak yang paling bertanggung-jawab terhadap pembentukan kepribadian, pola-pikir, mentalitas, prilaku dan peradaban warga bangsanya. Karena sekolah merupakan institusi resmi yang diciptakan secara sadar, dibiayai dan diatur sedemikian rupa oleh Negara/pemerintah. Semestinya, sekolah harus menjadi tempat menciptakan dan membina kader-kader negarawan yang bertanggung-jawab terhadap nasib masyarakat yang dipimpinnya, yang peka terhadap nilai-nilai sejati kemanusiaan yang harus dilestarikan. Namun sialnya, ternyata hingga sementara hari ini terlihat nyaris gagal total. Karena sekolah selama ini hanya melahirkan para loyalis, pengikut-pengiku buta dan para pak turut yang tak berbudi, setelah intervensi politik penguasa busuk merasuk ke jantung institusi-institusi sekolah.
***
Benarkah institusi sekolah sudah menjadi dapur bagi proses lahirnya para penjahat cerdas, yang picik dan licik? Untuk menjawab itu, kiranya diperlukan kesediaan kita untuk menyempatkan diri secara iseng-iseng, tapi serius, untuk melakukan semacam survey kecil-kecilan, dan informal, terhadap para peserta sekolah dari berbagai jenjang sekolahnya, mulai dari SD/MIN hingga SMU/MAN. Ambillah kemudian sejumlah sample secara acak saja dalam jumlah sebanyak mungkin yang bisa anda dapatkan, yang merupakan representasi dari masing-masing jenjang pendidikan, dari lembaga sekolah yang ada di sekitar lingkungan anda. Kemudian tanyakan pada para responden anda itu pertanyaan seperti yang berikut ini: apakah selama ini anda merasa senang atau betah saat sedang belajar di dalam kelas di sekolah anda?
Berdasarkan pengalaman, saya yakin, jawaban dari mayoritas (lebih dari 70%) peserta sekolah itu, pasti akan memberi jawaban tidak menyenangkan atau membosankan saat berada di dalam kelas. Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa perasaan tidak menyenangkan itu justru harus dirasakan oleh sebagian besar peserta sekolah di berbagai jenjangnya?
Maka rangkaian jawaban mereka adalah: karena sekolah telah menjadi tempat dimana mereka merasa terbebani dengan berbagai beban aturan, tugas dan kewajiban. Di samping terkungkung pula jiwa, pikiran dan intelektualitasnya, ketika proses yang dikatakan belajar itu dirasakan seperti sedang direnggut secara esensial dimensi kebebasan berpikir dan berpendapat mereka sebagai anak-anak manusia yang punya hak otonom atas dirinya sendiri secara merdeka. Maka tak salah, jika kemudian dikatakan bahwa sekolah adalah lembaga yang telah bermetamorfose menjadi sebuah penjara, yang membuat peserta sekolah merasa terkurung dalam pakem-pakem sekolah yang kaku dan tanpa dialektika. Sehingga membuat peserta didik merasa tidak senang, tidak nyaman dan tidak membetahkan berlama-lama berada di dalam kelas sekolahnya.
Maka ketika anak-anak mendengarkan bunyi lonceng masuk (kelas), segeralah berkecamuk segala kegelisahan dan perasaan tidak nyaman dalam jiwa dan pikiran anak-anak peserta sekolah. Maka apa yang segera muncul dalam jiwa dan ditunggu-tunggu oleh pikiran mereka adalah: saat datanganya bunyi lonceng keluar. Ironis sekali bukan?
Fenomena kepenjaraan itu dapat dirasakan oleh peserta sekolah dalam berbagai bentuk prosesi yang kata sebagai mendidik, yaitu seperti berikut: pertama, berlangsungnya proses-proses indoktrinasi yang memaksa anak didik untuk harus menerima apapun pikiran yang diungkapkan oleh guru sebagai suatu rangkaian kebenaran yang tak boleh dibantah. Disini si guru mencoba mencitrakan dirinya sebagai orang yang pasti benar dan lantas menjadi sumber kebenaran. Para guru, juga dosen, enggan secara terbuka bersedia merangsang, mendorong, menggali dan memberi kepada anak-anak didiknya ruang dan kesempatan untuk bertanya, dan untuk mengeksplorasi daya intelektualitasnya secara bebas, merdeka, santun dan penuh tanggung-jawab.
Akibatnya, para murid tidak mampu secara terbuka dan merdeka untuk berani mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan kritis yang barangkali dan boleh jadi akan menggugat kebenaran yang disampaikan oleh gurunya. Sehingga anak-anak didik tersebut tidak sempat mengalami proses-proses falsifikasi, verifikasi, justifikasi dan pencerahan (enlightment) untuk kemudian mereka dapat tumbuh berkembang dengan sebuah kesadaran rasional tentang sesuatu yang dikatakan benar. Sehingga kebenaran yang mereka terima lebih sebagai kebenaran yang bersifat simbolis, normative dan formalistic, yang justru tampak bertentangan dengan realitas kenyataan yang ada di luar kelas/sekolah.
***
Relasi antara politik (kekuasaan) dan rekayasa pendidikan ternyata telah menyebabkan kurikulum dan metodologi proses belajar di sekolah tidak memberi ruang yang bebas untuk perkembangan curiosity peserta didik. Rasa ingin tahu anak-anak dibelenggu seputar keinginan untuk menciptakan kepatuhan peserta sekolah kepada pakem politik pelestarian kekuasaan. Ini dimulai lewat harapan politik utama para guru agar para peserta sekolah patuh tanpa tedeng aling-aling kepada guru-guru mereka. Bukan untuk menciptakan anak-anak yang kritis dan tercerahkan bagi masa depan pembangunan kemanusiaan.
Jadi, meskipun mereka dapat menghasilkan anak-anak unggul dan berprestasi, tetapi keunggulan dan prestasi itu hanya menjadi jalan eksklusif bagi keberhasilan masa depan mereka untuk dapat keluar dari lingkaran ketertindasan dan memudahkan mereka masuk ke lingkaran kekuasaan. Tetapi kemudian mereka segera menjadi para penindas baru, yang terus bergerak melanjut proses penindasan struktural berjenjang, dalam konteks hukum rimba, dimana yang kuat memangsa yang lemah. Makanya ada semboyan sinis dalam kehidupan bangsa ini selama ini bahwa: jika bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah. Dan mindset dan kelakuan semacam inilah yang dalam perjalanannya berkembang menjadi budaya saling memangsa antar sesama anak-anak bangsa (vulture culture). Budaya ini sungguh kini sedang terjadi di negeri ini sejak lama hingga entah kapan dapat diakhiri.
Itulah hasil dari proses pendidikan yang sejauh ini hanya dilihat, baik oleh para orang tua peserta sekolah maupun masyarakat pada umumnya, hanya sebatas sebagai proses untuk memperoleh kekuasaan, dalam artiannya yang tidak sebatas kekuasaan politik, tetapi kekuasaan dalam artian yang luas, menyangkut wilayah otoritas-otoritas keilmuan, status/strata sosial dan agama. Untuk akhirnya dapat kemudian menjadi kaya, walau dengan cara-cara yang machiavelistik, yang menghalalkan segala cara, dan dibungkus dengan berbagai kamuflase liciknya.
Demikianlah watak sekolah yang sekedar berfungsi sebagai penjara yang menghasilkan para perampok dan pencuri white colar crime yang menghisap harta kekayaan masyarakat dengan berbagai caranya dan memakan harta-harta rakyatnya secara bathil. Makanya semakin banyak orang yang melewati jenjang-jenjang sekolah tertinggi, semakin banyak lahir perampok dan pencuri, dan kemudian semakin menambah angka kemiskinan, akibat sistem dan struktur sosial politik yang penuh penipuan dan ketidak-adilan, yang dihasilkan oleh orang-orang alumni sekolahan.
Untuk memelihara situasi yang menguntungkan penguasa itu, maka hubungan antara kurikulum dengan realitas sosial dibuat menjadi sedemikian rupa senjangnya. Sehingga kesenjangan antara idealita, sebagai cita-cita (das sein) dan realita, sebagai kenyataan yang terjadi (das sollen) ditrima sebagai hal yang wajar yang sudah demikianlah semestinya. Jika cita-cita pembuatan parit misalnya dilihat secara ideal sebagai tempat mengalirkan air buang, maka adalah biasa saja jika kemudian parit-parit itu ternyata hanya menjadi tempat penampungan air buang walau kemudian juga berfungsi untuk tempat perkembang-biakkan nyamuk dan lalat yang kemudian menyebarkan penyakit. Kesenjangan pemaknaan parit antara idealita dan realita tersebut terus dilihat sebagai hal yang biasa, setelah menghabiskan milyaran rupiah untuk pembuatannya.
Pertanyaannya, apakah para orang-orang yang terlibat dalam pembuatan parit (drainase) tersebut adalah orang-orang yang tidak bersekolah, sehingga tidak memiliki pengetahuan yang memadai dalam bagaimana membuat parit? Tentu jawabannya tidak dan pasti nyaris semua mereka adalah orang-orang yang pernah sekolah. Namun kenapa pula mereka tidak melaksanakan pembangunan drainase itu sesuai dengan teori keilmuan yang mereka pelajari? Itu karena mereka kurikulum yang membahani pengetahuan mereka hanya sebatas teori-teori tentang air yang pasti akan bergerak ke arah permukaan lebih rendah, tidak kemudian dihubungkan dengan kenyataan mengapa banyak parit yang hanya menjadi tempat penyimpan air kotor dan satrang penyakit. Tentu banyak lagi contoh-contoh lain di berbagai disiplin keilmuan dan sektor kehidupan, yang menggambarkan aneka jenis kesenjangan antara idealita teoritis dalam lembar-lembar buku dengan realita empiris di lapangan.
Akhirnya, tentu saya harus bertanya, apa gunanya kita terus mendirikan banyak sekolah, membiayainya dengan anggaran yang milyaran bahkan trilyunan rupiah dan kemudian melahirkan jutaan alumni yang pintar, jika pembangunan dalam berbagai aspeknya semakin justru hanya membuat massa rakyat terus terbiarkan bodoh, miskin dan lemah?
Mungkin, karena kita sendiri juga salah seorang pemangsanya.
Wallahu alam bish-shawab.