Islam Lokal: Tajdid Atau Taghrib

0
585

Ini adalah antara seminar yang penulis tunggu-tunggu. Seminar ini mengangkat tema, pembaharuan pemikiran Islam: tajdid atau taghrib. Di mana dua terminologi ini penting dan harus dipahami dengan benar oleh semua kita. Apalagi saat ini di Aceh, sejumlah evil thoughts mulai meracuni pikiran golongan-golongan tertentu. Dengan menunggangi slogan perubahan dan pembaharuan pikiran seperti itu bahkan mereka dakwahkan kepada masyarakat awam. Yang jika kita teliti terhadap ide dan gagasan yang mereka dakwahkan itu, kita dengan mudah berkesimpulan, bahwa mereka sedang melakukan satu proses pem-Barat-an, dan bukannya pembaharuan.

Baru-baru ini penulis sempat mengomentari tulisan Islam Tanpa Mazhab yang ditulis pada tanggal 21 Juni 2010 oleh TMJS. Dalam tulisan itu jelas sekali terlihat bahwa setiap gagasan yang ditawarkan tak lain adalah sebuah upaya untuk mem-Barat-kan pikiran umat Islam Aceh. Upaya pem-Barat-an (westernisasi) sebenarnya bukan hanya terjadi di negara-negara Timur, tetapi juga di Barat itu sendiri. Di Barat, orang-orang diberi kebebasan beragama, tetapi agama yang sesuai dengan kondisi dan maunya orang Barat. Sebagai kelompok yang anti agama, kaum Liberalis, tidak ingin Barat itu menjadi Kristen apalagi Islam. Sebaliknya mereka menginginkan agar semua keyakinan dan agama yang berkembang di Barat itu menjadi Barat. Caranya, ya di-Barat-kan. Agama harus tunduk pada budayanya orang Barat. Inilah yang kini sedang gencar-gencarnya digagas di Aceh oleh sebagian penjilat Barat. Agama yang berkembang di Aceh haruslah sesuai dengan tuntutan dan keinginannya orang Aceh (baca: Barat). Dengan mengkambing-hitamkan sejumlah aliran yang ada tentunya yang tak sesuai dengan merekaakhirnya merekapun memprovokasi Islam Aceh.

Apa yang kini sedang terjadi di Aceh tidak lain adalah sebuah proses taghrib (pem-Barat-an) yang jika tidak diluruskan akan menjadi fitnah (petaka) besar bagi generasi Aceh yang akan datang. Dengan meneriman ide-ide Barat semacam inklusivisme, pluralisme, liberalisme dan termasuk Islam lokal, maka suatu hari nanti, bukannya mustahil, agama akan hilang sama sekali dari Bumi Serambi Mekkah sebagaimana kini kita saksikan di Eropa. Sejumlah gereja dijual oleh umat Kristen, karena agama hari ini adalah nothing dalam kehidupan mereka. Dan tidak mustahil pula itu akan diikuti oleh anak-anak kita suatu hari nanti. Mesjid-mesjid akan dijual dan mungkin dirubah menjadi caf atau bahkan bar, nauzubillah. Lihatlah seberapa butuhnya anak-anak muda kita hari ini terhadap mesjid. Di Banda Aceh, caf-cefe berjejeran di sekitar mesjid Baiturahman. Mereka lebih nyaman dan bahagia berada di caf-caf itu daripada itikaf dan shalat di mesjid. Pem-Barat-an yang kini sedang berproses akan menyempurnakan kondisi buruk itu menjadi semakin mengerikan. Anak-anak kita barangkali akan berzina di jalan-jalan seperti di Barat. Inilah Islam yang sedang diusung oleh sejumlah orang bodoh Aceh, Islam lokal (Aceh).

Islam Lokal dan Pluralisme Agama

Islam lokal adalah sebuah istilah yang lahir dari konsep pluralisme agama. Pluralisme sendiri adalah satu konsep Barat yang lahir pada abad 18 M (sebagian lain mengatakan, awal munculnya pluralisme adalah di India, yaitu pada akhir abad 15 dari gagasan Kabir dan Nanak, pendiri Sikhisme). sebuah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Penganut paham pluralis ini juga berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengklaim bahwa keyakinannya saja yang benar, manakala yang lain salah. Dr. Anis Malik Thoha, penulis Tren Pluralisme Agama sempat mengomentari definisi John Hick tentang pluralisme agama, dan ia mengatakan bahwa semua agama secara relatif adalah sama, dan tidak ada yang berhak mengklaim dirinya sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan.

Jika diperhatikan dengan seksama, kita akan mendapati bahwa konsep pluralisme agama adalah teori yang seirama dengan relativisme. Di mana paham relativisme inilah yang kemudian memunculkan paham baru yaitu agama lokal. Ini dikarenakan setiap orang punya klaim sendiri terhadap keyakinannya dan tidak mengklaim serta menolak klaim orang lain atas dirinya. Agama saya adalah benar menurut saya, dan agama anda adalah benar menurut anda. Ide ini muncul karena mereka meyakini bahwa kebenaran adalah suatu yang relatif. Kaum pluralis menolak absolutisme kebenaran. Bahkan kebenaran itu sendiri dipermasalahkan oleh mereka. Tidak ada yang tahu kebenaran menurut mereka kecuali Tuhan. Hanya Tuhan yang benar dan absolut. Hanya Tuhan yang tahu kebenaran, manusia tidak. Mereka bahkan berkeyakinan, manusia tidak kenal Tuhan secara benar, hanya Tuhan yang tahu tentang diri-Nya sendiri, manusia tidak.

Jika dirunut lebih jauh ke belakang, ide relativisme ini sesungguhnya tidak ada bedanya dengan nihilisme. Dan ini adalah bahagian dari konsep posmodernisme, yang sebenarnya adalah topeng dari libelarisme itu sendiri. Dari paham relativisme inilah kemudiannya muncul konsep pluralisme. Lalu paham pluralisme ini mengkerucut masuk dalam pemikiran keagamaan. Dan kini sedang dikembangkan dalam Islam. Sebuah mazhab tidak boleh menyalahkan mazhab lain, dan tidak boleh mengklaim hanya mazhabnya saja yang benar. Dalam hal-hal tertentu barangkali tidak mengapa, semisal furuiyat fiqh. Tetapi dalam masalah ma urifa min al-din bil dharurat, soal prinsip, seperti aqidah, pokok-pokok ibadah, dan hal-hal lain yang sudah disepakati oleh kaum Muslimin, meskipun sebatas pluralisme mazhab tetap saja ide itu harus ditolak. Dalam Islam, kita mengenal mana yang sesat, haram dan bidah serta mana yang haq. Tetapi karena didasari pada ide relatifitas kebenaran, konsep pluralisme akhirnya meng-iyakan semua paham, meskipun itu sudah disepakati sesat.

Paham pluralisme sekurang-kurangnya memiliki dua aliran utama, di mana kedua aliran ini memiliki subtansi yang sama, tetapi tujuannya berbeda. Aliran pertama muncul dengan tujuan menghadang arus global, manakala yang kedua justru dimunculkan untuk memperkuat sekaligus perpanjangan tangan globalisasi. Dan aliran kedua inilah yang kini menjadi penopang utama dan ujung tombaknya dari gerakan westernisasi. Karena masuk dalam agenda globalisasi dan westernisasi, pluralisme akhirnya masuk dalam wacana keagamaan agama-agama, termasuk Islam. Ketika paham ini masuk dalam pemikiran keagamaan, khususnya Islam, maka yang terjadi adalah peleburan nilai-nilai dan doktrin Islam ke dalam arus pemikiran globalisasi dan modernisasi (westernisasi). Caranya gampang, yaitu dengan memaknai konsep-konsep Islam dengan metode Barat. Sejumlah intelektual gadunganpun direkrut untuk mengkritisi konsep-konsep yang sebenarnya sudah final dalam Islam. Orang-orang bodoh ini (intelek gadungan) akan mengatakan bahwa pemahaman Islam yang kita anut selama ini kuno atau ortodoks dan perlu ditinjau kembali kebenarannya.

Pluralisme, dalam pandangan penulis tidak lebih dari sebuah ajaran atau keyakinan baru yang sama sekali tidak sama dan bertentangan dengan Islam. Pluralisme adalah agama baru. Sebuah agama yang meyakini semua agama adalah benar, atau satu keyakinan yang membenarkan semua keyakinan. Seseorang yang menganut paham pluralisme, ke-Islamannya harus dipertanyakan. Karena Islam tidak pernah mengakui adanya kesamaan antara semua agama. Konsep Islam jelas, bahwa selain daripada Islam semua sesat, dan di akherat nanti mereka akan kekal dalam neraka.

Munculnya Islam lokal sebenarnya tidak ada bedanya dengan munculnya paham pluralisme yang berasal dari paham relativisme kebenaran, yang jika ditelusuri akan ketemu dengan filsafatnya kaum sofis, atau dalam istilah Arabnya, shufastiah indiyyah. Seseorang memiliki pandangan tersendiri tentang kebenaran yang dimilikinya. Seorang sofis tidak pernah mau ambil pusing dengan klaim orang lain atas dirinya. Ia akan berjalan sesuai dengan pandangannya sendiri, meskipun itu sesat. Dalam pandangan mereka sesat itu menurut pandangan orang lain, tetapi belum tentu sesat menurut pandangan mereka. Setiap orang atau kelompok berhak mengklaim suatu itu benar menurut keyakinannnya sendiri-sendiri, atau bahkan mengatakan itu tidak benar. Sehingga setiap kelompok bebas menentukan kebenaran menurut keyakinannya masing-masing, dan tidak boleh ada yang bantah. Dalam konteks Islam lokal, orang Aceh bebas memilih Islam model mana yang mau mereka anut, tanpa ada yang boleh protes. Orang Aceh seperti disuarakan oleh Alyasa Abu Bakar tidak mau mengikuti Islamnya model Afghanistan atau Malaysia, maka mereka akan menggagas Islamnya sendiri, yaitu Islam Aceh.

Hakikat Islam Lokal

Jika kita tanya sama founding fathernya Islam Aceh, mereka tidak akan memberi jawaban sesemraut jawaban yang penulis sebutkan di atas. Bahkan penulis sangat yakin kalau kebanyakan mereka tidak pernah tahu tentang itu. Karena latah, dengar ada teriakan pembaharuan, merekapun ikut. Mereka yang ingin menggagas Islam Aceh hanya akan berkutat di sekitar kontekstualisasi. Mereka menginginkan kontekstualisasi Islam. Islam yang tidak ditafsirkan secara literal dan tekstual, tetapi juga melihat sisi-sisi konteksnya. Kalau kita di Aceh, maka Islam itu haruslah dipahami dengan tidak mengenyampingkan budaya dan kondisi lokal Aceh. Dengan alasan, Islam itu dulunya diturunkan di Arab, tentu kondisi ini tidak selamanya bisa diterapkan untuk semua tempat. Apalagi Arab dulu dengan sekarang sudah jauh berbeda. Dulu perempuan-perempuan Arab tidak bekerja, mereka tinggal di rumah dengan anak-anak. Maka wajar jika kemudian dalam soal warisan untuk perempuan Allah hanya memberi satu banding dua dari laki-laki. Begitu juga dengan sejumlah konsep lainnya yang sudah qathi dalam al-Quran akan digugat satu demi satu. Tentu dengan alasan kontekstualisasi. Padahal kontekstualisasi ala kaum pluralis liberalis ini tidak lebih dari upaya dekonstruksi ajaran Islam.

Inilah wajah Islam yang akan muncul di Aceh suatu hari nanti. Islam yang menimbang konteks. Konteks menjadi sentral, jauh lebih penting dan urgen daripada teks. Teks (nash) al-Quran atau hadist dipahami berdasarkan sabab nuzul atau sabab wurud teks tersebut, bukan berdasarkan keumuman daripada teks itu sendiri. Teks harus mengikuti konteks. Kalau masyarakat dunia hari ini tidak menerima hukum bunuh, maka sebisa mungkin ijtihad bodoh dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan konteks yang sedang berkembang. Budaya masyarakat moderen adalah tidak menutup aurat kalau ke mana-mana, maka ajaran Islampun harus didekonstruksi sedemikian rupa agar sesuai dengan tradisi dan budaya masyarakat moderen (jahiliah) tersebut. Inilah yang kemudian dimaksud dengan Islam lokal.

Soal khusus sabab dan umum lafadh barangkali akan ada yang protes, bahwa di sana ada pendapat yang mengatakan, meskipun lafadhnya umum tetapi memiliki sabab khusus maka ayat itu tidak diberlakukan umum kepada seluruh kaum Muslimin, melainkan hanya kepada orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Semisal kasus dhihar, karena ayat itu punya sebab khusus meskipun lafadh ayatnya umum, maka ia hanya berlaku untuk Khaulah binta Tsalabah dan suaminya Aus bin Shamit. Penulis rasa, kalau soal ini ada yang protes maka penulis sarankan, baca yang baik dan benar terlebih dahulu tentang pendapat yang mengatakan, al-ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-lafdhi, baru protes.

Islam lokal hakikatnya adalah Islam yang kondisional dan temporer. Kondisional karena suatu itu hanya berlaku untuk kondisi-kondisi tertentu, sekaligus temporer. Sejumlah nabi yang diutus kepada Bani Israil dulu, mereka membawa ajaran yang sangat lokal, hanya untuk orang-orang keturunan Bani Israil saja. Ajaran itu tidak mendunia, maka ia hanya bertahan untuk beberapa saat saja dan dalam kondisi yang sangat khas. Begitu masa ini berlalu maka ajaranpun ikut bubar. Nabi yang lainpun datang, dan kembali dengan ajaran baru, dan tentunya akan mengalami nasib yang sama. Selesai melewati masa-masa tertentu ajaran itu bahkan lenyap samasekali. Sehinggalah nabi Muhammad datang dengan ajaran yang mendunia, tidak berubah-ubah, tetap dan tidak mengikuti kondisi setempat. Sehingga ajaran ini bisa diterapkan di manapun seseorang itu berada, dan sampai kapanpun. Shalih li kulli zaman wa makan, sesuai untuk setiap masa dan tempat. Maka suatu yang sangat picik dan bodoh, jika ada orang yang ingin membuat Islam itu lokal dan hanya sesuai untuk orang Aceh, tidak sesuai untuk orang lain. Padahal Islam itu sesuai untuk semua jenis bangsa dan warna kulit, di manapun ia berada.

Alangkah malangnya umat ini, jika setiap daerah harus memiliki Islamnya sendiri-sendiri. Seseorang dari luar Aceh datang ke Aceh ia akan melihat Islam di Aceh berbeda dengan yang ia praktekkan di tempatnya. Begitu juga jika orang Aceh suatu ketika ke luar dari Aceh, ia akan menyaksikan praktek Islam yang berbeda dengan di daerahnya tinggal. Jika kita ke Medan, di sana ada Islam ala Batak. Jadi kalau Islam Aceh mengharamkan hukum rajam, cambuk dan potong tangan, maka Islam Batak kemungkinan besar akan menghalalkan makan babi. Kalau kita ke Jakarta misalnya, atau kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti Surabaya, kita barangkali akan dengan tenang berzina di lokalisasi Doli. Tetapi hati-hati kalau poligami, kita bisa-bisa ditangkap dan dipenjara. Karena boleh jadi di sana nanti zina itu halal dan poligami haram. Lha, kan konteksnya tidak boleh diabaikan. Kalau zina diharamkan maka ribuan pelacur di pulau jawa akan kelaparan dan susah cari makan. Begitu juga kalau poligami dibolehkan, akan terabaikan hak-hak perempuan. Di daerah-daerah tertentu yang cuacanya dingin, di sana orang-orang akan berpesta khamar. Alasannya simpel, dulu ketika khamar diharamkan cuaca Arab panas. Maka untuk cuaca dingin khamar menjadi boleh, begitu seterusnya.

Inilah hakikat Islam lokal yang sedang digagas, Islam yang bisa berubah sesuai dengan keiinginan mereka. Bahkan Islam akan diamalkan bukan lagi oleh kelompok-kelompok besar, tetapi setiap keluarga atau bahkan setiap person akan memiliki keyakinannya tersendiri terhadapa agama ini. Dengan dalih demokrasi, relativisme kebenaran dan pluralisme keyakinan, akhirnya Islam menjadi bahan olok-olok oleh umatnya sendiri. Subhanallah.

Dulu orang Yahudi diharamkan oleh Allah menangkap ikan pada hari Sabtu. Karena ikan itu diambil (dibawa ke darat) pada hari Minggu setelah ditangkap pada hari Sabtu, maka Yahudipun menghalalkan menangkap ikan pada hari yang dilarang. Alasannya karena mereka mengambilnya pada hari Mingu, bukan Sabtu. Orang Nasrani pada dasarnya tidak makan babi, karena babi adalah binatang yang diharamkan oleh Injil. Tetapi karena mereka doyan babi, akhirnya merekapun mengubah maksud Injil dan menghasilkan satu pemahaman baru, bahwa yang dimaksud dengan babi itu adalah babi hutan. Yang kita makan bukan babi hutan, oleh karena itu tidak haram, katanya. Injil mengharamkan nikah sejenis, karena sudah menjadi trend dalam masyarakat Eropa, maka mereka yang menghalalkan homoseksualpun beragumen, bahwa ketika Tuhan menghukum penduduk Sodom bukan karena mereka homo tetapi karena dosa mereka yang lain. Akankah Orang Aceh seperti Yahudi dan Nasrani?

Sekilas tentang Tajdid

Di Indonesia, akhir-akhir ini istilah pembaharuan sering dijadikan bahan tunggangan oleh sejumlah elemen dan kelompok untuk menggugat hal-hal yang dalam Islam sudah dipandang final. Munculnya gagasan pembaharuan dewasa ini sebenarnya tidak lain karena pengaruh yang datang dari Barat, sebagaimana yang telah penulis uraikan secara ringkas di atas. Islam sesungguhnya samasekali tidak pernah menolak konsep pembaharuan, bahkan menganjurkan untuk pembaharuan, tetapi itu harus pure dari Islam dan keinginannya untuk kebaikan umat Islam. Tetapi pada hari ini, istilah pembaharuan yang dalam bahasa Islam itu disebut dengan tajdid sudah disalah tafsirkan.

Penulis mengatakan bahwa tajdid adalah bahasa/istilah Islam. Penulis rasa poin ini akan menarik sejumlah musuh di luar sana. Mereka akan mengklaim bahwa itukan bahasa Arab, apakah karena ia bahasa Arab lalu dikatakan sebagai Islam. Musuh Islam akan marah kalau penulis mengatakan bahwa istilah ini adalah istilah Islam. Sebelum penulis sebutkan buktinya bahwa istilah tajdid adalah murni Islam, dan bukan dikarenakan bahasa Arab, penulis ingin ajak berfikir musuh-musuh yang di sana, bahwa setiap ajaran, agama dan keyakinan memiliki istilah dan bahasanya yang khas. Dan itu adalah harga mati dalam semua ajaran. Sebuah istilah yang dimunculkan oleh sebuah ajaran harus dipahami sesuai dengan maksud dan tujuan pertama sekali istilah itu dimunculkan. Sesungguhnya tidak mudah menggantikan suatu istilah dari sebuah ajaran lalu diistilahkan dalam bahasa lain dari ajaran lain. meskipun secara bahasa memiliki makan sama, secara istilah belum tentu.

Sebuah istilah haruslah dipahami sebagaimana pertama sekali istilah itu dimunculkan. Islam dengan menggunakan bahasa Arab (al-Quran dan hadist) sebagai pengantarnya telah memunculkan sejumlah istilah yang memiliki makna khas dan tidak bisa dengan serampangan digantikan dengan bahasa lain. Sebagaimana istilah tajdid, melalui sebuah hadistnya yang masyhur Rasulullah bersabda, yang artinya; Sesunggunya Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun, orang yang memperbaharui (mujaddid) agamanya (HR: Abu Daud).

Tajdid dari sisi bahasa bermakna pembaharuan. Dari kata pembaharuan itu memunculkan tiga hal yang saling berkait dan tak terpisahkan. 1). Yang diperbaharui itu haruslah sesuatu yang telah ada permulaannya dan dikenal oleh orang banyak, 2). Sesuatu itu telah berlalu beberapa waktu, kemudian usang dan rusak, 3). Sesuatu itu telah dikembalikan kepada keadaan semula sebelum usang dan rusak. Secara ringkas, Amal Fathullah Zarkasyi, memberi definisi tajdid sebagai usaha menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan/ditinggalkan dari ajaran-ajaran agama, dan membangkitkannya kembali demi untuk mereformasi kehidupan kaum Muslimin secara umum ke arah yang lebih baik. Beliau manambahkan, tajdid bukanlah merubah yang lama dan menghilangkannya dari yang aslinya, lalu menggantikannya dengan sesuatu yang baru. Yang diperbaharui dari agama ini bukanlah subtansinya, tetapi pengajaran dan pemahaman tentang ajaran agama, serta bukannya pembaharuan agama itu sendiri (Zarkarsyi, 2010). Apa yang kini dilakukan oleh sejumlah golongan tidak lain adalah proses pembubaran Islam menuju agama baru, dan bukannya pembaharuan Islam kembali pada ajarannya yang murni. Wallahualam.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.