Generasi Lemah

1
409

By: Bustami Abubakar

Pernahkah Anda melihat sekumpulan anak muda nongkrong di kafe atau kedai kopi di Banda Aceh pada dini hari menjelang kumandang azan subuh? Beberapa kali saya sengaja keluar rumah pada saat itu untuk membuktikan pernyataan beberapa orang rekan mengenai fenomena ini. Dan saya menemukan fakta, beberapa orang anak muda memang terlihat sibuk dengan laptop masing-masing di beberapa kafe atau kedai kopi yang saya datangi. Sekilas terlihat mereka tengah serius mengerjakan sesuatu. Saya menduga-duga, barangkali mereka sedang mengerjakan tugas kampus atau mengejar deadline pekerjaan di kantor tempat mereka bekerja. Tapi, haruskah sampai selarut ini?

Berbagai dugaan dan pertanyaan yang menjalari benak dan pikiran saya seakan terjawab ketika beberapa orang rekan lain menyatakan bahwa akhir-akhir ini sebagian kaum muda di Banda Aceh tengah dilanda demam game online dan judi online. Pernyataan ini mendapatkan ruang afirmasi manakala saya___dalam beberapa kesempatan dan waktu yang berbeda___bertemu dengan beberapa orangtua dari mahasiswa. Mereka bertanya pada saya: “Pak, apakah setiap dosen memberikan tugas yang sangat banyak kepada mahasiswanya?” Saya agak bingung mendapat pertanyaan seperti itu sampai kemudian mereka mengatasi kebingungan saya dengan menyatakan bahwa anak-anak mereka seringkali keluar rumah setelah waktu isya dan baru kembali saat matahari pagi bersinar di ufuk timur. Ternyata, anak-anak mereka menjadikan tugas kampus sebagai “kambing hitam” untuk memperoleh izin keluar pada waktu malam.

Ditilik dari berbagai perspektif, fenomena begadang untuk mengerjakan tugas atau menyelesaikan pekerjaan bukanlah sebuah hal yang positif. Apatah lagi jika begadang itu semata-mata untuk sekedar membunuh waktu tanpa ada hal penting yang dikerjakan.

Dari perspektif agama Islam, Allah SWT telah mengatur fungsi siang dan malam dengan baik, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran: “Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. An-Naba’: 10-11). Ayat ini menegaskan bahwa Allah menjadikan malam sebagai waktu untuk beristirahat dengan tenang, sementara siang diciptakan sebagai masa untuk beraktivitas memenuhi kebutuhan hidup manusia. Jadi, kalau ada manusia yang membalikkan ayat ini dalam prilakunya, maka manusia ini telah mengangkangi ketentuan Tuhan, kecuali dengan alasan atau keperluan tertentu dan atau dikarenakan jenis pekerjaan yang ditekuni memang mengharuskannya bekerja pada malam hari, seperti petugas keamanan, petugas medis, lay-outer koran, dan lain sebagainya.

Dari perspektif medis, organ-organ tubuh manusia memiliki mekanisme kerja yang khas dan unik. Pada saat tertentu, ada organ-organ yang sedang bekerja sangat aktif, sementara ada organ lain yang justru sedang menurun aktivitasnya. Menurut Prof. Dr. Soeharsoyo, SpAK, antara pukul 23.00 – 01.00, jantung kita dalam kondisi lemah sehingga dianjurkan untuk segera tidur dan beristirahat dengan nyaman untuk pemulihan energi tubuh. Sedangkan dalam rentang waktu pukul 01.00 – 03.00, hati/liver berada dalam kondisi kuat sehingga proses pembuangan racun hasil metabolisme tubuh dan regenerasi sel baru berlangsung pada saat ini. Adapun proses pembersihan dan pembuangan racun atau kotoran di paru-paru terjadi antara pukul 02.30 – 04.30 (http://www.rumahsalam.com/2015/03/jam-kerja-biologis-dalam-organ-tubuh.html).

Bisa kita bayangkan sekiranya kaum muda___yang akan menjadi pemimpin bangsa di masa depan___sering menghabiskan waktu malamnya dengan begadang sampai dini hari bahkan menjelang pagi, bagaimana kondisi fisik mereka kelak? Saat jantung memerlukan istirahat, tubuh tempat jantung bersarang justru masih disibukkan dengan aktivitas. Ketika hati/liver hendak bekerja membuang berbagai racun untuk kemudian melakukan regenerasi sel baru, si pemilik tubuh pada saat itu justru memasukkan racun lain ke dalamnya melalui ragam makanan dan minuman yang dikonsumsinya. Manakala paru-paru hendak dibersihkan dari berbagai kotoran dan racun, saat itu si pemilik paru-paru malah meracuninya dengan nikotin atau jenis racun lainnya.

Kaum muda yang berusia antara belasan hingga 30-an tahun tidak menyadari efek buruk dari begadang terhadap kesehatan tubuh mereka. Karena memang dalam rentang usia seperti itu, tubuh masih relatif cukup kuat untuk melawan berbagai penyakit yang hinggap padanya. Akan tetapi, dalam banyak kasus, lazimnya serangan akan ragam penyakit mulai dirasakan dan dikeluhkan saat usia telah memasuki angka kepala empat. Padahal, kebanyakan orang justru mulai menapaki puncak karir dalam pekerjaannya dalam usia 40-an. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari seorang pemimpin yang telah sakit-sakitan? Meskipun dia dahulu seorang mahasiswa yang cemerlang atau pemuda yang kreatif dan cerdas, tapi kalau kondisi fisiknya telah lemah akibat ada organ-organ tertentu dari tubuhnya yang mengalami disfungsi, tentu masyarakat tidak bisa berharap banyak darinya. Bagaimana jika kondisi ini menimpa banyak calon pemimpin kita di masa depan? Relakah kita menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada orang yang kesehariannya disibukkan dengan urusan penyembuhan penyakitnya? Orang Aceh punya ungkapan yang jitu untuk mendeskripsikan fenomena ini: “Meu keu droe han glah, kiban dijak uroh gob?” (Mengurus diri sendiri saja tak bisa, bagaimana mengurus orang lain?)

Kondisi sakit fisik ini akan semakin teruk jika ketika begadang diikuti pula dengan menonton atau membaca ragam situs yang membelakangi moral dan agama; atau mungkin juga terbuai oleh game dan judi online. Maka prediksi akan kelahiran pemimpin masa depan yang lemah fisik dan mental sulit ditangkis. Kalau kondisi ini benar-benar terjadi, maka cukup ikhlaskah kita menyerahkan negeri ini di bawah kepemimpinan generasi yang lemah fisik dan psikisnya?

Oleh karena itu, kelahiran generasi yang lemah harus segera dicegah sedini mungkin. Keluarga sebagai institusi sosial terkecil sejatinya berada di garda terdepan untuk melakukan pencegahan tersebut. Ayah dan ibu sepatutnya mengetahui aktivitas anak-anak mereka: dengan siapa mereka bergaul, bagaimana mereka menghabiskan waktunya, dan sebagainya. Ayah dan ibu tidak cukup hanya sekedar menerapkan kedisiplinan waktu dan ragam aturan dalam keluarga, tetapi yang lebih penting daripada itu adalah memberikan keteladanan kepada anak-anak mereka. Ayah dan ibu merupakan kreator utama dalam menciptakan keluarga yang harmonis, sehingga setiap anggota keluarga senantiasa merasa aman dan nyaman bernaung di dalamnya serta akan menimbulkan rasa rindu bila terlalu lama meninggalkannya.

Upaya lain lagi adalah memperkuat kembali kontrol sosial masyarakat. Kendali sosial ini kian melemah seiring dengan semakin kompleksnya masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat terdorong membangun kehidupan yang individualistik dan semakin jarak dengan kehidupan yang menonjolkan kolektivitas. Dalam situasi seperti ini, sistem kontrol sosial mengalami stagnasi. Setiap individu dalam masyarakat hidup dengan dunianya sendiri tanpa merasa terhubungkan dengan individu yang lain. Kondisi sosial seperti ini harus segera diamputasi jika kita tidak ingin melihat anak-cucu kita dipimpin oleh orang-orang yang lemah, baik secara fisik maupun psikis.

Wallahu A’lam

1 COMMENT

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.