Politik bodoh yang tidak berprikemanusiaan, sebuah kemirisan yang sedang dipertontonkan di negeri syariah. Inilah yang disebut Bartolt Brecht Politik Buta bukan karena tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik melainkan terlalu berambisi untuk menggapai posisi politik, hingga melakukan cara-cara diluar kewajaran untuk menggapai jabatan dalam politik. Pesta demokrasi menjadi arena memangsa satu sama lain.
Begitupun, sebuah pesta besar akan segera diadakan, hanya berselang dua hari lagi pesta demokrasi pemilu legislatif yang merupakan ajang penentuan baik buruknya bangsa, khususnya Aceh, secara sederhana pemilu merupakan sebuah hajatan pesta demokrasi, yang tujuannya tidak lain adalah menentukan putra-putri terbaik bangsa untuk mengemban amanah rakyat.
Di pundak merekalah baik buruknya sebuah bangsa dipertaruhkan, dengan harapan mampu membawa bangsa ini bebas dari belenggu kemiskinan, kelaparan dan penyakit korupsi. Satu lagi harapan yang tak kalah penting juga adalah terbentuknya sebuah integrasi politik untuk menyalurkan berbagai kepentingan yang terdapat dalam masyarakat sehingga potensi konflik dapat diredam dan diselesaikan melalui lembaga pemerintah yang sah.
Namun, perbedaan pendapat selalu berujung pada perpecahan, politik uang yang merajai, pembakaran, penembakan, begitulah adanya Aceh. Konflik, sepertinya bukan sesuatu yang tabu, menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI) kekerasan di aceh lebih dari 50 kali dalam kurun waktu kurang dari setahu, (April 2013 hingga 17 Maret 2014 ). Lalu pertanyaan akankah pesta demokrasi ini memberi ruang kepada setiap orang, atau hanya akan menyisakan luka di akhir pesta.?
Panggung Damai
Pertanyaan ini muncul di tengah gonjang-ganjing politik Aceh yang selalu dibumbui kekerasan, idealnya pemilu sebagai sebuah medium guna mencari orang-orang terbaik untuk memperbaiki bangsa, kemudian hanya berakhir sebagai sebuah wahana untuk memperoleh kuasa ajang pegumpulan harta dengan menghalalkan segala cara.
Meningkatnya tensi kekerasan yang bernuansa politis menjelang pemilu tahun 2014, membuat dunia perpolitikan di provinsi Serambi Mekah ini kian diwarnai oleh iklim politik tidak sehat, kondisi ini merupakan bagian dari cerita konflik pemilu episode tahun 2006. Pemilu pertama Aceh pasca konflik bersenjata, dan episode berikutnya adalah pada pemilu tahun 2009, dan sepertinya sejarah kekerasan menjelang pemilu di tahun 2014 kembali terulang.
Kekerasan berlatar politik menjelang pemilu tidak kunjung mereda, kondisi ini dapat dilihat dari eskalasi konflik seperti penembakan semakin meningkat. Parahnya setiap kekerasan aparat hukum tak tegas dalam upaya penyelesaian.
Ritual acara seremonial pemilu damai yang dirangkai semeriah mungkin menjadi wajib dilakukan peserta pemilu menjelang pemilihan, namun kenyataanya di lapangan selalu bertolak belakang dengan apa yang telah diucapkan.
Pengamanan Lemah
Benarkah Intelijen kita lemah, sehingga pihak kepolisian tidak mampu menggungkapkan sepenuhnya berbagai kasus kekerasan dan penembakan di Aceh menjelang pemilu, atau memang ada unsur pembiaran dari pihak keamanan. Lalu siapa aktor sesunguhnya yang menebar teror? Sangat sulit tebak.
Tentu saja, ini akan mengundang berbagai spekulasi dalam masyarakat terhadap keamanan di Aceh menjelang pemilu legislatif, terlebih ketika menyimak perihal Waka BIN Marsekal Muda TNI Maroef Syamsoeddin, yang mempertanyakan senjata illegal kepada Pemerintah Aceh(Harian Serambi Indonesia. Jum at 4 April 2014) yang seharusnya ini merupakan wewenang pihak keamanan untuk menyelidiki, pihak-pihak yang melakukan teror di Aceh.
Kita tentu bertanya, kasus terorisme saja mampu mereka ungkap, lantas mengapa kasus kekerasan di Aceh tak bisa. Keraguan tersebut semakin terang dari kasus penembakan posko Partai Nasdem misalnya, terlepas dari unsur ketidak sengajaan atau tidak sadarkan diri kasus ini membuktikan ada peran pihak ketiga dalam menebar teror di Aceh.
Meskipun ada dugaan konflik menjelang pilkada Aceh, di picu oleh dua partai lokal yang mengikuti pemilu pada tahun 2014, antara PA dan PNA, karena kelompok inilah yang dianggap paling berseteru dalam memperebutkan suara, yang sama-sama berlatar belakang mantan kombatan.
Pun demikian, bukan tidak mungkin ada dalang lain yang sengaja memperkeruh suasana menjelang pemilu di Aceh. Tentu kita bertanya siapa aktor dari balik semua ini?Bila membaca dari berbagai kasus penembakan, pada penyelenggara pemilukada tahun 2009, kemudian di susul pada tahun 2012 pemilihan kepala daerah, peristiwa tersebut terkesan direspon dingin dari pihak Kepolisian.
Di tengah berbagai dugan yang muncul, tentu saja kita tetap harus berpikir positif, memusatkan perhatian pada pemilu yang tinggal dua hari lagi, serta menyerahkan sepenuhnya kasus ini kepada pihak kemanan, pihak keamanan mesti mencari bukti-bukti baru, supaya dapat meluruskan berbagai spekulasi yang muncul dalam masyarakat.
Luka di penghujung pesta
Pesta demokrasi ini mestinya memberi ruang kepada siapapun untuk menikmati setiap rangkaian dalam pesta yang sedang berlansung, bukan dengan politik buta. Cara-cara curang, tidak akan melahirkan sebuah pesta yang megah dan meriah serta tidak melahirkan pengemban amanah yang dapat membawa aspirasi bagi masyarakat.
Dinamika politik sering sekali tidak terukur, sehingga membuat politik kita lebih di dominasi oleh politik emosional, sehinga integrasi politikpun terbangun dengan cara tidak terhormat, melainkan kekerasan, rakus, dan anti terhadap perbedaan. Sehinga tidak akan menghasilkan apa-apa dari pesta demokrasi ini selain kesiasiaan dan menyisakan luka di penghujung pesta.
Perlu disadari nilai tertinggi dari sebuah politik tidak dapat diartikan dengan hanya bertumpu pada pemilu, Melainkan sejauh mana kebenaran dalam berpolitik, rasa aman bagi setiap warga, tampa ada intimidasi, terlebih penembakan yang terjadi selama ini, hukum ditegakkan, kesejahteraan, akhir dari sebuah ikhtiar politik. Semoga Saja
Sumber : The Globe Journal