Perbedaan mendasar antara misteri koalisi dan misteri hilangnya pesawat Malaysia airlines adalah karena penantian koalisi parpol untuk pencapresan 2014 ini akan segera berakhir. Hal ini dikarenakan keharusan bagi semua partai politik karena dari segi regulasi untuk mengusung pasangan capres dan cawapres harus memperoleh dukungan atau perolehan suara nasional 25 % suara pemilu legislatif atau 20 % kursi di DPR.
Hitung cepat yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia menempatkan PDIP pada urutan pertama dengan (19,17%), posisi dibawahnya berturut, Partai Golkar (14, 35 %), Partai Gerindra (12,17%), Partai Demokrat (9,79%), PKB (9,25%), PAN (7,34%), NasDem (6,97%), PKS (6,66%), PPP (6,34%), HANURA (5,53%), PBB (1,53%), PKPI (0,93%). berdasarkan hasil quick count beberapa lembaga survey dari 12 partai politik nasional belum ada satupun parpol yang memperoleh suara pemilu legislatif 9 April 2014 sebanyak 25 % atau 20 % kursi di DPR.
Namun, lembaga survey seperti Syaiful Mujani Research & Consulting-LSI dalam koran tempo edisi (11/04/14) memberikan simulasi terkait perolehan kursi DPR. Dari hasil simulasi PDIP 2014 mulai 105-117 jika PDIP bisa mencapai 112 kursi artinya 20% kursi total kursi di DPR sebanyak 560 kursi. Jika simulasi hitungan ini benar, maka hanya PDIP yang bisa mengusung pasangan capres dan cawapres sendiri. Namun, penulis kurang yakin jika PDIP tanpa koalisi demi menguatkan pemerintahan di palemen.
Melihat komposisi perolehan suara partai yang tidak memiliki perbedaan yang begitu jauh mulai dari posisi ke 4 sampai dengan 10. Maka hal ini menunjukkan bahwa pemetaan posisi partai hanya ada di top level dan midle level dengan anggapan bahwa PBB dan PKPI tidak lolos dalam ambang batas parlement theresold 3,5 persen karena hanya mendapatkan suara kurang dari 2 persen
Posisi Tawar Koalisi
Ada kecenderungan posisi tawar semua parpol untuk menjadi kunci koalisi sangat terbuka dan malah bisa merugikan partai besar seperti partai Golkar. Hal ini disebabkan karena pemilu legislatif tentunya berbeda dengan pemilu pilpres. Dalam pilpres tentu yang menjadi pertimbangan beberapa partai menengah adalah siapa kandidat pilpres yang dari segi elektoral (popularitas &elektabilitas) yang tinggi. Kita bisa melihat pengalaman pemilu 2004 lalu, meskipun partai demokrat saat itu hanya mendapatkan suara sekitar 7 persen namun menarik beberapa partai untuk ikut koalisi. Hal ini sejalan dengan pemikiran William Riker (1990) mengkosepsikan rasional politik sebagai tindakan para aktor yang mampu mengatur (menentukan) sasaran, nilai, selera, dan strategi alternatif serta memilih dari alternatif-alternatif yang tersedia untuk memaksimalkan kepuasan mereka.
Berdasarkan alasan tersebut maka akan merugikan bagi partai politik yang mempunyai suara besar akan tetapi calon presiden yang diusung mempunyai elektibilitas yang rendah seperti partai Golkar. Meskipun jauh-jauh hari telah mendeklarasikan ARB sebagai Capres dari Partai Golkar namun, beberapa lembaga survey merilis hasil yang kurang meyakinkan terhadap pencapresan ARB tersebut.
Seperti yang telah dirilis beberapa lembaga survei yang telah melakukan hitung cepat hasil pemilu 2014 telah menempatkan perolehan partai Golkar pada posisi runner up sekitar 14 persen. Dengan posisi seperti ini, ada kecenderungan sulit bagi Partai Golkar jika terus memaksakan ARB sebagai Capres karena terdapat beberapa kendala dan rintangan yakni. Pertama, persoalan internal partai Golkar, beberapa faksi dari internal partai muncul untuk mengevaluasi pencapresan ARB. Kedua, apakah partai-partai lain berminat untuk ikut mengusung ARB jika dari segi elektoral rendah. Dengan demikian apakah juga Partai Golkar hanya siap dan legowo untuk menawarkan cawapres. Hal inilah yang belum selesai di internal partai Golkar, meskipun memang soal koalisi sampai hari ini masih sangat dinamis.
Hal yang berbeda dialami oleh PDIP karena memiliki capres Jokowi yang dari segi elektoral yang tinggi. Sehingga memudahkan bagi PDIP untuk berkoalisi dengan partai mana yang kira-kira sesuai dengan ideologi partai. Namun, menurut penulis meskipun beberapa waktu lalu SBY dalam jumpa persnya mengatakan tidak ada yang tidak mungkin dalam politik tapi melihat perjalanan politik SBY dan Megawati sulit untuk bersatu dalam koalisi
Munculnya Sinyal Koalisi
Joko Widodo yang lebih populer dengan aksi blusukannya selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta selama 1,5 tahun terakhir ini. Selama hampir sepekan ini Jokowi pun sekarang kembali melakukan aksi blusukan. Namun, kali ini berbeda karena blusukan ke beberapa elit partai, yang lebih santer sekarang adalah pertemuannya dengan ketua umum partai Nasdem Surya Paloh, kedua partai ini sudah hampir dipastikan akan membentuk koalisi. Dipihak lain, beberapa partai Islam seperti PKB, PKS, PPP dan PAN juga mewacanakan koalisi poros tengah. Akan tetapi, koalisi ini cenderung rumit untuk diwujudkan karena dari beberapa partai tersebut belum memiliki tokoh sentral yang dapat menyatukan poros tengah ini. Hal ini karena hampir semua partai tersebut berkeinginan mengusung atau mempunyai capres/cawapres dari masing-masing partai.
Sinyal lain adalah koalisi antara partai Gerindra dengan PPP, kehadiran ketua umum Surya Darma Ali di kampanye akbar partai gerindra di GBK beberapa waktu lalu telah memberikan pesan politik kepada publik. Meskipun pada akhirnya polemik internal di PPP mengemuka setelah pemilu 9 april 2014 disebabkan peristiwa tersebut.
Pertanyaannya kemudian adalah partai demokrat sebagai juara bertahan atau pemenang pemilu 2009 kemana? Adanya pernyataan SBY dalam jumpa pers 9/4 dalam merespon hasil hitung cepat adalah dengan meyebutkan masa depan arah partai demokrat. Dinyatakan bahwa partai Demokrat bisa menjadi bagian dari koalisi maupun oposisi. Masalahnya adalah jika koalisi ini coba dibentuk siapa yang akan menjadi leader koalisi dan siapa saja bisa ikut bergabung kedalam koalisi? Disatu sisi partai Demokrat masih signifikan dalam membentuk koalisi (9%).
Ada beberapa skenario yang mungkin dapat dilakukan oleh partai Demokrat. Pertama, adalah tetap mencoba menjaga koalisi yang selama ini berlangsung meskipun hal ini mungkin agak sulit, kecuali dengan PAN karena kita ketahui ada hubungan kekerabatan yang kuat SBY dengan Hatta Rajasa yang sama-sama sebagai ketua umum partai. Kedua, bergabung dengan Partai Gerindra atau Partai Golkar dan memberikan keleluasaan kepada PAN untuk koalisi dengan partai lain termasuk PDIP tujuannya untuk dapat mengamankan pemerintahan sekarang dari berbagai kasus yang bisa saja dimunculkan jika gerbong SBY tidak lagi atau lepas dari pemerintahan. Dengan melihat perkembangan yang ada maka, ada kecenderungan SBY dan Partai Demokrat akan mengambil pilihan kedua. Ini sejalan dengan konsepsi kegunaan (utility) Anthony Downs (1957) yang menganggap bahwa cara umum untuk memaksimalkan keuntungan (manfaat) dari berbagai alternatif yang ada.
Sebagai penutup penulis sebagai bagian dari rakyat berharap pada seluruh partai politik untuk sekarang ini tidak hanya fokus pada persoalan koalisi dan bagi-bagi kekuasaan semata. Rakyat sudah memberikan kepercayaan kepada partai yang mereka pilih 9 April lalu harusnya yang dijadikan pertimbangan bagi partai untuk berkoalisi dengan rakyat. Jika memang ada partai politik yang masih peduli dengan pemberian suara rakyat pemilu ini, maka partai politik lakukan jajak pendapat untuk menentukan arah koalisi partai.
FIRMAN
Dosen Univ. 17 Agustus 1945 Jakarta