Saya yakin, pertanyaan ini sudah mulai muncul di benak orang Aceh. Bahkan, jauh sebelum pasangan capres/cawapres tersebut dideklarasikan dan diumumkan ke publik. Faktanya, berbagai kelompok politik di Aceh, parlok dan parnas, sudah menjalankan agenda kampanye terkait capres masing-masing bersamaan dengan kampanye Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April 2014 lalu, yang disebut one united campaign.
Sekarang, seiring makin jelasnya peta kemenangan Pileg 2014, maka makin jelas pula siapa yang bakal bisa menjadi Capres 2014. Ya, seperti yang telah dideklarasi dan diumumkan itu, yaitu Prabowo-Hatta Radjasa yang diusung/disukung oleh enam koalisi parpol, dan Jokowi-JK yang diusung/didukung empat koalisi parpol.
Memang, kalau dilihat hanya dari peta kemenangan pileg di Aceh, maka dukungan terbesar akan diberikan kepada capres Prabowo yang diusung oleh Gerindra. Sebagaimana diketahui, Prabowo, melalui Gerindra sudah jauh-jauh hari menjalin koalisi dengan Partai Aceh. Ketua Partai Aceh, Muzakir Manaf, yang juga Wakil Gubernur Aceh, juga menjadi bagian dari Gerindra di daerah ini.
Dalam Pileg 9 April 2014 lalu, keduanya seiring sejalan dalam meraih kursi di parlemen. Muzakir Manaf bahkan mewajibkan kadernya untuk memilih caleg DPR-RI dari Gerindra. Akan tetapi, apakah suara rakyat Aceh akan bulat diberikan kepada Prabowo-Hatta Radjasa dalam Pilpres mendatang? Tentu saja tidak. Capres lain pun bakal mendapat suara dari Aceh.
Begitu juga dengan PDI-P. Meski secara peta politik pileg tidak begitu menggembirakan namun kehadiran sosok Jokowi juga akan menarik minat pemilih. Kehadiran Seknas Jokowi di Aceh pasti akan menjadi mesin politik yang akan berkerja untuk memenangkan Jokowi. PDI-P pun pasti akan melakukan penggalangan suara melalui berbagai pendekatan simpatik lainnya, juga bersama mitra koalisinya, seperti NasDem.
Perang pilpres
Semua figur capres masih terbuka untuk meraih suara dukungan di Aceh. Sebab biasanya, gambaran kemenangan di pileg tidak serta merta bisa dijadikan gambaran untuk mengetahui kecenderungan hasil pilpres. Itulah mengapa sejak dini perang pilpres 2014 sudah mulai dilakukan di Aceh, setidaknya antara kekuatan pro Prabowo dengan kekuatan pro Jokowi. Lihatlah, bagaimana kedua kubu saling mengirim berita tentang masa lalu capres atau masa lalu pendukung capres.
Harian Serambi Indonesia, misalnya, sampai menurunkannya menjadi headline ketika kubu yang tidak mendukung PDI-P melakukan penyebaran berita lama (2005). Sebaliknya, mereka yang tidak suka dengan Prabowo juga mengirim berita-berita tentang masa lalu Prabowo dan menempatkan Prabowo sebagai sosok yang memiliki dosa di Aceh. Pihak pendukung Prabowo juga tidak tinggal diam. Mereka melakukan pembelaan terhadap Prabowo.
Memang, jumlah suara dari Aceh tidak seberapa berpengaruh untuk mengantar kemenangan bagi capres. Jikapun seluruh suara rakyat di Aceh diberikan kepada salah satu capres maka tidak juga menjadi penentu kemenangan capres.
Namun begitu, siapapun capres yang bakal keluar sebagai pemenang di Pileg 2014 nanti akan sangat bermakna manakala dapat menang di Aceh. Kemenangan capres yang disertai kemenangan di Aceh akan menjadi simbol penting yang akan menjawab pola hubungan Jakarta – Aceh dalam masa lima tahun kedepan.
Keberhasilan capres di Aceh seakan seperti sudah melaksanakan separuh dari amanah UUD 1945. Capres yang bisa merebut hati rakyat di Aceh seperti sudah menjamin Aceh terbebas dari gejolak konflik kekerasan.
Bagi siapa pun presiden ke depan, keberhasilan merebut hati rakyat di Aceh juga menjadi kartu politik untuk menarik perhatian dunia. Dunia, sebagai pihak yang memiliki andil dalam membawa rasa damai di Aceh, akan memberi dukungannya kepada Indonesia yang presidennya mampu menjaga keberlangsungan damai di Aceh.
Posisi politik yang menempatkan Aceh ke dalam politik simbolisasi Indonesia tidak harus disikapi dengan asal oleh Aceh. Bagaimanapun, peta politik bisa saja berubah, bahkan bisa dalam waktu yang sangat cepat. Apalagi peta kekuatan parlok di Aceh sudah tidak lagi dominan sebagaimana dulunya.
Problem kerakyatan
Perseteruan politik lokal yang terus terjadi di Aceh beserta kekerasan yang terikut di dalamnya, serta beragam problem kerakyatan yang tidak tertangani secara baik, sangat mungkin akan melahirkan cara pandang baru berbagai pihak terhadap Aceh.
Lebih dari itu asal pilih tanpa pertimbangan yang matang juga akan membawa kerugian bagi Aceh. Masih ingat betapa tingginya suara Aceh untuk SBY? Hasilnya? Ternyata dukungan tinggi dari Aceh tidak berbanding lurus dengan cepatnya penanganan PR Jakarta untuk Aceh.
Apakah pasangan Prabowo-Hatta Radjasa atau Jokowi-JK akan mendapat tiket (suara) utama dari Aceh? Tentu semuanya berpeluang untuk mendapat tiket (suara) utama dari Aceh. Masalahnya, apakah rakyat di Aceh bersedia belajar dari pengalaman Pilpres yang lalu? Entahlah!
OPINI INI TELAH DIMUAT DI HARIAN SERAMBI INDONESIA Kamis, 22 Mei 2014
Sumber : Serambinews.com