Akhirnya yang tersisa dari Pilkada 2012 lalu bagi para pemenang hanyalah sukacita sejenak perayaan kemenangan ditambah dengan segudang pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Selebihnya adalah janji kampanye yang bertebaran di media, dalam pidato, orasi, kaos, stiker ataupun spanduk haruslah terealisir. Karena jika tidak, pemilih Aceh yang sangat restrospektif sudah membuktikannya di beberapa Pilkada lalu
Persson dan Tabellin (2000:13) menyebut kondisi ini sebagai mekanisme restropective voting. Sebuah mekanisme dimana para pemilih menggunakan hak demokrasinya dengan memilih dan tidak memilih satu kandidat tertentu setelah mengevaluasi performa kandidat terdahulu yang mereka pilih. Pilihan mereka yang terus berubah dalam Pemilu lokal dan nasional lebih dari cukup untuk dijadikan fakta empiris. Pada Pemilu terakhir sebelum Soeharto lengser, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi pemenang menumbangkan dominasi Partai Golongan Karya (Golkar). Dalam Pemilu pertama paska tumbangnya Orde Baru (1999), Partai Amanat Nasional (PAN) keluar sebagai jawaranya. Pemilu 2004, Partai Keadilan Sosial (PKS) mengejutkan publik dengan kemenangan dominan mereka di kota-kota besar di Aceh. Ketika Pilkada 2006 Irwandi sang mantan kombatan dicoblos oleh sebagian besar rakyat Aceh sebagai gubernur pertama paska konflik. Saat Pemilu 2009, Partai Demokrat (PD) giliran mengungguli rivalnya di Aceh. Yang terakhir bulan April 2012, ketika kandidat gubernur dari Partai Aceh (PA) terpilih sebagai peraih suara terbanyak.
Abstraksi Ideologi Acehnisme
Nasionalisme Ke-Acehan yang diagung-agungkan itu ternyata masih dalam bentuknya yang paling abstrak. Kalau mau lebih jujur, secara ideologi dan konsep tidak ada sesuatu yang baru dan unik dari konsep self-governance yang ditawarkan PA dan para eks-kombatan. Tidak ada konsep dan grand design umum membangun Aceh. Tidak ada pula konsep social justice (keadilan sosial). Apakah Aceh akan menjadi daerah berbasis ekonomi, hukum atau apa juga tidak bisa dipastikan. Agaknya harapan untuk melihat profesionalisme PA dan para eks-kombatan masih belum menemui harapan. Kasus terdekat adalah respon dan sikap mereka yang tidak konsisten dan naif terhadap tiga diskursus utama paska konflik di Aceh yaitu : a) Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), b) Syariat Islam (SI), dan c) Wali Nanggroe (WN). Tidak ada realisasi menjanjikan atas penyelesaian KKR oleh kader-kader PA baik di parlemen maupun eksekutif. Untuk SI, mereka tidak bisa menyelesaikan secara tegas persoalan ideologis dengan mengambil sikap mendukung keberadaan SI ataupun tidak (meskipun secara oral disebutkan, tapi dalam praktek tidak jelas). Yang ada adalah mencoba memainkan jalur back-diplomacy dengan sejumlah ulama tradisional dan mendirikan Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) sebagai lembaga rival Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh untuk menjalankan strategi counter-discourse dan power play atas tema-tema keislaman maupun permasalahan terkait yang tidak mau dan tidak mampu mereka selesaikan, mengingat kebanyakan kalangan bawah justru tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut-sehingga jika mereka dengan tegas menolak akan melawan arus utama pemilih potensial mereka dalam Pilkada. Dalam hal WN, tawaran yang diajukan juga sangat arogan, absurd dan tidak substansial. Kelihatannya kesimpulan parsial yang bisa diambil adalah berapa besar kekuatan dan sumber daya politik yang mereka bisa raup dari keberadaan otonomi dan self-governance. Ideologi Acehnisme yang ditawarkan juga akhirnya bermuara pada diskusi dan wacana mengenai pemerintahan yang bersih, kesejahteraan rakyat, pemerataan akses pendidikan, dan perbaikan kondisi kesehatan misalkan. Konsep yang sejatinya merupakan copy-paste dan bukan elaborasi tertulis strategis dari konsep yang sudah pernah ada.
Ada pertanda baik memang ketika sikap ekslusif yang dituduhkan ke PA dan eks-kombatan kemudian bisa sedikit teredam dengan adanya upaya merangkul pihak luar, khususnya para Jenderal TNI dalam kampanye lalu. Tapi banyak juga yang menilai itu adalah upaya aliansi strategis jangka pendek yang temporal, termasuk upaya political road show dengan tokoh-tokoh nasional jelang pelantikan. Padahal yang lebih prioritas adalah melakukan aliansi strategis dan konstruktif dengan tokoh-tokoh oposan dan elemen lokal dalam upaya membangun Aceh bersama-sama kedepan.
Menuju Defisit Demokrasi?
Dikhawatirkan, proses transisi yang sedang berlangsung dalam demokrasi di Aceh akan berujung pada defisit demokrasi. Kondisi dimana parlemen gagal menjalankan fungsinya-baik pengawasan eksekutif-legislasi dan fungsi anggaran serta bermasalah dari sisi akuntabilitas performanya, sehingga keberadaan parlemen menjadi terkesan sama sama sekali tidak bermanfaat. Apalagi ketika parlemen dan eksekutif tidak hanya berada dalam satu jalur ideologi dan fraksi politik, tapi juga patrimonialisme familial-dimana kakak beradik memimpin satu daerah. Kekhawatiran kurangnya fungsi parlemen dan mekanisme keseimbangan demokrasi tidak bisa disalahkan.
Istilah defisit demokrasi ini pertama kali dipopulerkan oleh Richard Corbet (1977). Istilah ini digunakan oleh Corbett untuk merujuk pada kondisi kurangnya ketertarikan publik secara masif terhadap keberadaan Uni Eropa (UE), Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) atau lembaga semacamnya, dimana para elit mendominasi diskursus serta kebijakan yang sebenarnya menentukan nasib begitu banyak konstituen di Eropa dan dunia. Masalah keterwakilan yang menjadi isu utama dalam situasi defisit demokrasi inilah yang kemudian ia kritik dimana lembaga-lembaga pengambil kebijakan seperti Parlemen UE Dewan Keamanan PBB tidak bisa mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi parlementer dan integritas para aktor politiknya semakin dipertanyakan akibat kurangnya dukungan dan keterlibatan publik.
Di Indonesia, banyak yang memuji bahwa paska berhembusnya angin reformasi dan jatuhnya dominasi Orde Baru tahun 1998, menurut survey yang dilakukan Demos terhadap 900 pakar demokratisasi di Indonesia dalam sebuah proyek bersama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) dan Oslo University (Norwegia) sudah jauh lebih baik, terlepas dari sejumlah problema yang mendera. Namun di Aceh, kondisinya baru bisa dikatakan membaik paska tsunami dan tentunya, MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Adanya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), terbentuknya partai lokal, dibolehkannya kandidat independen, serta berlangsungya Pemilihan Kepala Daerah secara langsung semakin membuat banyak pihak optimis bahwa memang standar demokrasi di Aceh secara khusus dan di Indonesia secara umum menjadi salah satu best practices demokratisasi didunia. Namun kemudian, yang menjadi catatan bersama adalah apakah kemudian kita semua mabuk dalam euforia sesaat dan kemudian tiba-tiba saja defisit demokrasi datang menghampiri. Kita gelagapan dan menyalahkan gagalnya proses transisi demokrasi yang tidak kunjung usai. Segudang permasalahan muncul mulai dari konflik antar etnik, agama dan antar pemilik media yang berpolitik praktis. Disinilah bisa jadi upaya rekonsiliasi menjadi relevan, dimana semua para aktor dan elit politik harus reinstrospeksi diri, bahwa pesta rakyat lima tahunan yang selama ini menjadi salah satu parameter kesuksesan demokratisasi ternyata hanya menjadi ritual politik para elit politik. Gugat- menggugat, tikung-menikung dan tolak-tarik sesama elit membuat rakyat kehilangan kepercayaannya kepada proses pemilihan dan kepada para politisi. Akibatnya apa? dukungan publik terhadap proses pemilihan dan politisi semakin lama terus berkurang sejalan dengan merebaknya stigma bahwa politik itu jahat dan culas. Kepala daerah, pimpinan parlemen dan aktivis partai tidak lagi mampu menterjemahkan secara konkrit prinsip-prinsip utama demokrasi di lapangan kepada khalayak. Merekabelum mampu mewujudkan aspirasi masyarakat pemilih dan janji yang mereka obral ketika kampanye secara baik sehingga dari sisi performa, juga bisa dikatakan gagal.
Memang ditengah era keterbukaan dan mewabahnya euforia demokrasi sekarang pertarungan ideologi kanan versus kiri terkadang tidak lagi menarik diperdebatkan. Konfigurasi politik di era sekarang akan saling bergerak dari dua titik ekstrim menuju konfigurasi ideologi tengah dimana semua ideologi, fraksi, dan pemikiran bertemu (melting pot), berdialog, saling mendominasi-mempengaruhi dalam interaksinya. Ideologi yang paling bisa bertahan adalah yang paling bisa menjawab problema publik sekaligus yang paling proaktif membangun koalisi positif dengan semua elemen-termasuk para oposan. Inilah yang dinamakan demokrasi bermakna menurut Olle Tornquist (2008). Demokrasi dimana semua pihak bahu-membahu, apapun latar-belakang agama, partai, ideologi, budaya dan lain sebagainya. Jadi Aceh tidak hanya milik sang pemenang Pilkada. Aceh milik semua, milik mereka yang menang, maupun yang kalah. Juga milik mereka yang bahkan abstain atau golput dalam pemilihan. Mengapa? karena (permasalahan) Aceh terlalu kompleks dan berat untuk diselesaikan sendirian. Self-government bukan berarti memerintah sendiri atau sesuka hati. Tapi memerintah dengan banyak kepala, ide, tangan dan gagasan agar narasi besar ke-Aceh-an kedepan bisa terbangun. Menjadi daerah yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur yang selalu mau mengakui dan belajar dari kesalahan dan menjadi lebih baik kedepan dan senantiasa bersemangat untuk saling bantu-membantu dalam kebaikan. Semoga tulisan ini menjadi salah satu bentuk konkrit, paling tidak kontribusi intelektual kepada tanoh endatu. Sehingga kedepan cerita sisa paska Pilkada tidak membuat Aceh malah mundur ke fase-fase kelam sejarahnya (demokrasi regresif), tapi sebaliknya menjadi awal baru masa depan yang lebih terang-benderang (demokrasi progresif). Lebih daripada itu tulisan ini mengajak kita untuk saling mengingatkan bahwa layaknya petuah Hadih Maja Aceh : beuna taingat, tameulho rugoe, sabee keudroe-droe tanyoe binasa bahwa meupake-meugura-gura sabee syedara hanya akan lebih banyak membawa mudharat dibandingkan manfaat.