Latar Belakang Masalah
PEMILU adalah proses muwujudkan sebuah demokrasi, dimana melalui mekanisme ini, pemerintah dipilih untuk setiap 5 tahun sekali (lihat pasal UUD 1945). Indonesia, sebagai negera yang menganut konsep trias politica (pemisahan/pembagian kekuasaan), akan melangsungkan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada April 2012. Kesuksesan penyelengaraan ini tidak hanya melibatkan penyelengara pemilu secara formal, yaitu KPU dan Bawaslu. Namun juga adanya keterlibatan lembaga non-pemerintah/CSO dalam mengontrol setiap tahapan pelaksanaan pemilu tersebut. Artinya, peran CSO mempunyai posisi yang sangat strategis dalam melakukan penegakan demokrasi, pendidikan bagi pemilih, serta berperan dalam mewujudkan pemilu yang jujur, adil, independen, transparan dan ber-etika.
Oleh karena itu, diperlukan CSO yang berintegritas, berkemampuan dan independent, serta tidak partisan dalam melakukan dan menyukseskan penyelengaraan Pemilu pada April 2014 yang akan datang. Pentingnya mengetahui dan mengenal lembaga non-pemerintah yang tidak partisan dan atau yang partisan adalah untuk melahirkan pengawasan dan pendidikan pemilih yang diboncengi oleh kepentingan partai politik tertentu.
Dalam konteks Aceh, paska MoU Helsinki (Perdamaian GAM dengan RI), telah terjadi perubahan struktural beberapa gerakan CSO. Hal ini tidak terlepasa dari adanya transformasi gerakan jalanan ke gerakan partai. Beberapa aktifis demokrasi 98, yang telah menjadi senior di sebuah CSO telah bergabung dengan partai politik, baik partai lokal (Parlok), maupun parnas (Parnas).
Transformasi dari gerakan sosial kemasyarakat ke gerakan politik partai juga mengalami perdebatan, dimana disatu sisi aktivis CSO berkenyakinan bahwa untuk membangun sebuah sistem demokrasi yang demokratis, jujur, adil dan merakyat adalah dengan cara merebut dan menduduki dalam sistem tersebut. Disisi lain, ketika CSO dan atau aktivis CSO tersebut terlibat dalam sistem politik praktis, maka ia terjerumus dalam praktek dan prilaku politik praktis yang melakukan secara cara untuk mendapatkan tujuan (baca:teori Marchiaveli).
Perdebatan berkepanjangan diantara para aktivis sipil soal posisi dan relasi CSO dengan Parpol dan Pemerintah setidaknya ada tiga pemikiran yang berkembangan. Pertama, ada pemahaman bahwa harus ada garis tegas antara posisi CSO dengan Pemerintah. Kedua, posisi CSO adalah oposisi abadi terhadap Pemerintah sepanjang proses penyelenggaraan kehidupan bernegara. dan ketiga, bahwa garis tegas antara CSO dan Pemerintahan atau Parpol adalah harga mati, namun tidak serta merta menghambat perjuangan individu aktivis untuk mengambil langkah-langkah strategis seperti halnya masuk lebih jauh ke dalam sistem pemerintahan dan perpolitikan.
Meskipun terjadi perbedaan pandangan terhadap fungsi dan posisi CSO tersebut, namun konsep civil society dipahami dalam tiga kriteria; nilai, aktor dan ruang. Alfred Stepan (2002) mengartikan nilai civil society adalah nilai untuk kepentingan bersama (common interest), bukan kepentingan partisan. Sementara civil society secara aktor mencakup organisasi-organisasi voluntery yang menjadi dan berperan sebagai perantara antara individu, kelompok dan masyarakat secara luas dengan negara dan penyelengara pemerintahan, serta memfasilitasi kepentingan rakyat terhadap segala kebijakan publik dan mempertahankan kepentingan-kepentingan publik baik dalam hal kultural, ekonomi, politik, pembangunan dll secara publik (tranparant, akuntabel, tidak diskiriminatif/berkeadilan dan merata).